Sabtu, 21 November 2009

Muhammad Abduh

Pemikiran teologi Muhammad Abduh

A.PENDAHULUAN


Ciri pemikiran teologi modern salah satunya adalah rasional. Banyak tokoh Islam yang mencoba melakukan pemikiran rasional. Salah satu dari sekian banyak pemikir rasional itu adalah Muhammad Abduh. Dia adalah seorang tokoh salaf, tetapi tidak menghambakan diri pada teks-teks agama. Ia memegangi teks-teks agama tapi dalam hal ini ia juga menghargai akal.1 Risalah al-Tauhid adalah karya terbesarnya yang membahas tentang konsep teologinya itu.
Ia terkenal sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam karena kemauannya yang keras untuk melaksanakan pembaruan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada kemurnian Islam.2


B. PEMBAHASAN

1. Biografi Muhammad Abduh
Kapan dan di mana Muhammad Abduh lahir tidak diketahui secara pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 M / 1265 H adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.3 Ia lahir di suatu desa di Mesir Hilir, diperkirakan di Mahallat Nasr.
Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairulah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal ari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab.4
Muhammad Abduh diperintah belajar menulis dan membaca setelah mahir, ia diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal al-Qur'an. Hanya dalam masa dua tahun, ia dapat menghafal al-Qur'an secara keseluruhan. Kemudian, ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad di tahun 1862, setelah dua tahun belajar, ia merasa tidak mengerti apa-apa karena disana menggunakan metode menghafal. Ia akhirnya lari meninggalkan pelajarannya dan pulang ke kampungnya dan berniat bekerja sebagai petani. Tahun 1865 (usia 16 tahun) iapun menikah. Baru empat puluh hari menikah, ia dipaksa untuk kembali belajar ke Tanta. Iapun pergi, tapi bukan ke Tanta. Dia bersembunyi di rumah salah seorang pamannya, Syekh Darwisy Khadr. Syekh Darwisy tahu keengganan Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama. Setelah itu, Abduhpun berubah sikapnya sehingga kemudian ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.5
Selepas dari Tanta, ia melanjutkan studi di al-Azhar dari tahun 1869-1877 dan ia mendapat predikat “’alim”. Di sanalah ia bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani yang kemudian menjadi muridnya yang paling setia. Dari al-Afghani yang kemudian belajar logika. Filsafat, teologi dan tasawuf.
Pengaruh pemikiran al-Afghani terhadap Abduh begitu besar, ide-ide pembaharuan yang dibawa al-Afghani banyak mempengaruhi Abduh. Bedanya, al-Afghani lebih menekankan pembaharuan di bidang politik, sedangkan Abduh dibidang pendidikan.
Tahun 1879, Abduh dibuang keluar kota Kairo karena dituduh turut berperan dalam mengadakan gerakan Khadowi Taufik. Hanya setahun ia dibuang, tahun 1880 ia boleh kembali dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir “الوقائع المصرية”.6
Di akhir tahun 1882, Ia lagi-lagi dibuang. Tapi kali ini dibuang ke luar negeri dan ia memutuskan pergi ke Beirut. Alasan pembuangan ini adalah keterlibatan Abduh dalam pemberontakan Urabi Pasya. Baru setahun di Beirut, dia diundang al-Afghani supaya datang ke Paris guna membentuk gerakan al-Urwah al-Wasqa. Tujuan gerakan ini adalah membangkitkan semangat perjuangan umat Islam untuk menentang ekspansi Eropa di dunia Islam. Terbitlah majalah al-Uswah al-Wutsqa. Ide pemikiran berasal dari al-Afghani, sedangkan tulisan yang mengungkapkan pemikiran itu dilakukan oleh Abduh. Majalah tersebut hanya bertahan delapan bulan dengan 18 kali terbit.7 Setelah itu, ia berpisah dengan gurunya. Gurunya menuju Persia – ada juga yang mengatakan ke Rusia. Sedangkan ia sendiri kembali ke Beirut pada tahun 1885 M. di Kota ini, ia pusatkan perhatiannya pada ilmu dan pendidikan. Ia mengajar di Madrasah Sultaniah dan di rumahnya sendiri. Pelajaran tauhid yang diberikannya di Madrasah Sultaniah tersebut menjadi dasar dari Risalah al-Tauhid-nya.8
Sekembalinya dari pembuangan, di akhir tahun 1888, ia mulai aktivitasnya. Karirnya dimulai dari menjadi hakim Pengadilan Negeri kemudian menjadi penasehat Mahkamah Tinggi. Di sela-sela kesibukannya sebagai hakim ia berusaha memperbaiki pendidikan di al-Azhar. Ia ingin membawa ilmu-ilmu modern yang sedang berkembang di Eropa ke al-Azhar. Usahanya tidak berjalan mulus bahkan usahanya kandas. Banyak tantangan dari para ulama’ yang berpegang pada tradisi lama. Tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir, suatu jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syari’at untuk seluruh Mesir. Di tahun yang sama, ia juga diangkat menjadi anggota majlis syura.9
Abduh tidak bisa menjalankan ibadah haji hingga akhir hayatnya karena faktor politik. Akhirnya, pada 11 Juli 1905, Abduh dipanggil ke hadirat Allah setelah agak lama ia menderita kanker hati,10 di usia yang belum begitu tua yaitu sekitar 56 tahun.
2. Karya-karya Muhammad Abduh
Abduh mempunyai banyak karya. Seseorang akan tetap eksis jika ia mempunyai karya, begitupun Abduh. Risalah al-tauhid adalah contoh kecilnya. Buku itu merupakan kumpulan materi kuliah yang dia berikan di madrasah Sultaniah, yang berisi tentang ajaran tauhid.
Beberapa karyanya antara lain :
a. Risalah al-Waridat, 1874
b. Hasyi’ah ‘ala Syarh al-‘Aqa’id al-Adudiyah, 1876
c. Najh al-Balaghah, 1885
d. Al-Radd ‘ala al-Dahriyiyin, diterjemahkan tahun 1886
e. Syarh Kitab al-Basyair al-Nashraniyah fi al-Ilmi al-Mantiq, 1888
f. Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamdani, 1889
g. Taqrir fi Ishlah al-mahakim al-Syar’iati, 1900
h. Al-Islam wa al-Nashraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyah, 1903
i. Risalah al-Tauhid, disusun pada tahun 1897.11
j. Tafsir al-Manar.12
3. Konsep Teologi Muhammad Abduh
Menurut Muhammad Abduh, teologi adalah ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya, dan masalah kenabian. Menurut Harun Nasution, definisi yang diberikan Abduh tersebut kurang lengkap. Alam ini adalah ciptaan Tuhan, oleh karena itu, teologi disamping hal-hal di atas juga memuat hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya.13
Kata kunci dalam pembahasan teologi adalah akal dan wahyu
Bagi Muhammad Abduh, akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan adanya kehidupan dibalik kehidupan dunia ini. Dengan akal, manusia dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, kebaikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan adalah dasar kesengsaraan di akhirat.14 Akan tetapi, daya akal tiap manusia itu berbeda. Perbedaan itu, tidak hanya disebabkan oleh perbedaan pendidikan, tapi juga perbedaan pembawaan alami, suatu hal yang terletak di luar kehendak manusia. Oleh karena itu, ia membagi manusia ke dalam dua golongan : khawas dan awam.15
Keharusan manusia untuk menggunakan akalnya, bukan hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tapi juga merupakan ajaran al-Qur’an kitab suci ini, memerintahkan kita untuk berfikir dan melarang kita memakai sikap taklid.16
Abduh sangat menentang taklid. Menurutnya, taklid adalah salah satu penyebab kemunduran umat Islam abad 19 dan 20. Ia amat menyesalkan sikap taklid yang mencakup tiap aspek kehidupan. Perkembangan dalam bahasa, organisasi sosial, hukum, lembaga-lembaga pendidikan, dan sebagainya menjadi terhambat.17
Mengenai wahyu, menurut Abduh, dia mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Wahyu memberi keyakinan kepada manusia bahwa jiwanya akan terus ada setelah tubuh mati. Wahyu menolong akal untuk mengetahui akhirat dan keadaan hidup manusia di sana,
b. Wahyu menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya sebagai sumber ketenteraman hidup dalam masyarakat,
c. Wahyu menolong akal agar dapat mengetahui cara beribadah, dan berterimakasih pada Allah,
d. Wahyu mempunyai fungsi konfirmasi untuk menggunakan pendapat akal melalui sifat kesucian dan kemutlakan yang terdapat dalam wahyu yang bisa membuat orang manfaat.
Secara garis besar, sistem pemikiran teologi Abduh, wahyu mempunyai “dwi fungsi”, yaitu memberi konfirmasi dan informasi, sehingga baginya wahyu itu sangat diperlukan untuk menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh melalui akal.18
Akal dan wahyu mempunyai hubungan yang sangat erat, karena akal memerlukan wahyu, tapi wahyu itu tidak mungkin berlawanan dengan akal. Jika nampak pada lahirnya wahyu itu berlawanan dengan akal, maka Muhammad Abduh memberi kebebasan pada akal untuk memberi interpretasi agar wahyu itu sesuai dengan pendapat akal dan tidak berlawanan dengan akal. Dengan demikian, hubungan antara wahyu dan akal dapat terjalin harmonis.19

C. Kesimpulan
Muhammad Abduh memberi penghargaan yang tinggi pada kekuatan akal. Meski begitu, ia tetap memandang penting fungsi wahyu bagi akal.
Konsep teologi yang demikian itu berakibat pada keyakinannya bahwa manusia itu mempunyai kebebasan berfikir dan berbuat. Salah satu buktinya, dia menentang keras terhadap taklid.
Ia mempunyai ide-ide brilian dibidang pendidikan. Ia menginginkan adanya perubahan iklim pendidikan demi kemajuan umat Islam. Usaha kerasnya untuk merealisasikan idenya itu, tak jarang menemui tantangan dari umat Islam sendiri.
Sikap rasional yang digagas Muhammad Abduh sangat diperlukan untuk kemajuan Islam seperti di masa lampau.

DAFTAR PUSTAKA
Bakir, Yusuf Barmawi, Sistem Pemikiran Teologi Muhammad Abduh, Makalah, t.k, tp., t.th.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan teologi Rasional Mu’tazilah, cet.1, (Jakarta : UI Press) th1987.
_____________, Pembaharuan dalam Islam, cet. 5, (Jakarta : Bulan Bintang) th 1987.
Madkour, Ibrahim, Aliran dan teori Filsafat Islam, cet.1, (Jakarta : Bumi Aksara) th 1995.
Donohue, John J. dan John L. Esposito (penyunting), Islam Pembaharuan dan Ensiklopedi Masalah-Masalah, cet.3, (Jakarta : Raja Grafindo Persada) th 1993.

Selasa, 03 November 2009

Jihad Dalam Perspektif Hadits Nabi

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَا أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَتْحِ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ وَابْنُ رَافِعٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ آدَمَ حَدَّثَنَا مُفَضَّلٌ يَعْنِي ابْنَ مُهَلْهِلٍ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ إِسْرَائِيلَ كُلُّهُمْ عَنْ مَنْصُورٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ {روه: امام مسلم}

Imam Muslimmenyatakan: telah menceritakan kepadaku dengan metode sama’ Yahya bin Yahya dan Ishaq bin Ibrahim keduanya berkata telah bercerita kapadaku dengan metode sama’ Jarir dari Manshur dari Mujâhid dari Thawus dari Ibn ‘Abas‘‘Ibn ‘Abas berkata: “Rasulullah saw. Bersabda dihari penaklukan kota Mekah yaitu “tidak ada lagi hijrah akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Jadi apabila kalian semua diperintahkan berjihad maka berangkatlah berjihad”. Telah bercerita pula kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaybah dan bercerita Abu Kurayb, Abu Kurayb Berkata telah bercerita kepadaku Waki’ dari Sufyan telah bercrita kepadaku Ishaq bin Manshur dan ibn Rafi’ dari Yahya bin adam, telah bercerita kepadaku telah bercerita kepadaku dengan metode sama’ Mufadldlal yaitu ibn Muhalhil dan telah bercerita kepadaku ‘Abd bin Humayd telah bercerita kepadaku ‘Ubaydullah bin Musa dari Israil semuanya sama sanadnya dari Manshur.

A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama tauhid yang membawa kedamaian, kesejahteraaan dan keselamatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Islam dianut, tumbuh dan menjadi besar bukan dengan paksaan dan kekerasan melainkan dengan jalan dakwah dan mau’izdoh hasanah. Namun, belakangan ini citra Islam sebagai agama yang santun telah tercoreng oleh ulah segelintir kelompok yang tak sabar bahkan frustrasi dan memilih jalan kekerasan.
Akhir-akhir ini marak di berbagai media baik media cetak maupun elektronik pemberitaan terkait Islam sebagai agama yang memfasilitasi gerakan-gerakan jihad yang di sinyalir sebagai gerakan terorisme atau sebaliknya oleh pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya. Paling tidak imbas perang kepentingan tersebut berakibat pada semakin terpuruknya citra Islam di mata dunia. Sebab, diakui atau tidak sejumlah gerakan itu telah bermuara pada nas-nas agama Islam yang menjadi legitimasinya.
Ada kesalah pahaman tentang pengertian jihad. Hal ini mungkin di sebabkan oleh seringkalinya kata itu terucapkan pada saat perjuangan fisik, sehingga di identikkan dengan perlawanan bersenjata. Kesalahpahaman itu di suburkan oleh pemahaman yang keliru terhadap nas-nas Agama yang berbicara tentang jihad.
Untuk itu, di perlukan pemahan terhadap nas-nas agama secara serius dan mendalam terkait permasalahan jihad, serta implementasi yang benar akan seruan-seruan jihad yang menampilkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

B. Ma’anil Mufradat al-Hadits
Kata هِجْرَة secara bahasa merupakan bentuk mashdar dari madhi dan mudlari’ هجر يهجر yang mempunyai artian memutuskan, meninggalkan, pindah atau migrasi. Sedangkan hijrah secara Istilah adalah suatu cara yang dilakukan oleh para nabi, untuk melepaskan diri dari alam kebatilan (kondisi dimana manusia hidup dengan tanpa landasan Kitab Allah).
Secara bahasa lafazh جِهَادٌ adalah bentuk mashdar dari fi’il madhi dan mudlari’ جهد يجهدyang mempunyai makna berusaha dengan sungguh-sungguh, menguji, membebani. Sementara secara istilah adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan Din Allah atau menjaga Din tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran.
Kata niat berasal dari fi’il madhi نوى yang berarti maksud atau keinginan kuat didalam hati untuk melakukan sesuatu. Dalam terminologi syar'i berarti adalah keinginan melakukan ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.Niat termasuk perbuatan hati maka tempanya adalah didalam hati.
A. Skema Sanad
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini secara berturut-turut dari : Yahya bin Yahya dan Ishaq bin Ibrahim, dari Jarir, dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, dari Rosululloh SAW.

B. Variasi Hadits semakna
Hadis di atas juga dikeluarkan oleh al-Bukhari yang diriwayatkannya dari Usman bin Abi Syaibah, dari Jarir, dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, dari Rosululloh SAW. dengan redaksi sebagai berikut :
- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ افْتَتَحَ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا فَإِنَّ هَذَا بَلَدٌ حَرَّمَ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا وَلَا يُخْتَلَى خَلَاهَا قَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا الْإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوتِهِمْ قَالَ قَالَ إِلَّا الْإِذْخِرَ

Al-Bukhori juga mriwayatkannya dari : Adam bin Abi Iyas, dari Syaiban, dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, dari Rosululloh SAW. dengan redaksi sebagai berikut :
- حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا

Ia juga meriwayatkannya dari : Ali bin Abdillah, dari Jarir, dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, dari Rosululloh SAW. dengan redaksi sebagai berikut :
- حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا وَقَالَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا وَلَا يُخْتَلَى خَلَاهُ فَقَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا الْإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوتِهِمْ قَالَ إِلَّا الْإِذْخِرَ
Sedangkan Abi Dawud meriwayatkannya dari Usman bin Abi Syaibah, dari Jarir, dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, dari Rosululloh SAW. dengan redaksi sebagai berikut :
- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَتْحِ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا


E. Kualitas Perowi Hadits dari Kalangan Tabi’in
1. Manshur
Nama Asli : Manshur bin al-Mu’tamar bin Abdillah bin Rabi’ah
Thabaqah : Tabi’in kecil
Wafat : 132 H.
Rutbah : Tsiqah
Diantara guru-gurunya :
- Mujahid bin Jabr al-Makky
- Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri
- Abi Dhuha Muslim bin Shabih
- Al_musayyab bin Rafi’
- Al-Manhal bin ‘Amr
- Musa bin Abdillah bin Yazid al-Khathami
Diantara murid-muridnya :
- Jarir bin Abdul Hamid
- Hajjaj bin Arthat
- Hajjaj bin Dinar
- Al-Hasan bin Shalih bin Hay
- Hammad bin Zaid

2. Mujahid
Nama asli : Mujahid bin Jabr, disebut juga dengan Ibnu Jabir al-Makky
Thabaqah : Termasuk Tabi’in pertengahan
Wafat : 101 H., ada pula yang mengatakan paa tahun 102 H./103 H./104 H.
Rutbah : Tsiqah
Termasuk guru-gurunya antara lain :
- Thawus bin Kaisan
- Abdullah bin as-Sa’ib al-Makhzumi
- Abi Ma’mar Abdullah bin Sakhbarah al-Azadi
- Abdullah bin Abbas
- Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Dzubab ad-Dusi
- Abdullah bin ‘Amr bin al-Khaththab
Termasuk murid-muridnya antara lain :
- Mughirah bin Muqsim Al-Dhaby
- Manshur bin al-Mu’tamar
- Al-Manhal bin ‘Amr
- Musa bin Syaddad as-Sa’dy
- Abu Shabah Musa bin Abi Katsir
- Musa al-Jihny
F. Grand Teori
Secara garis besar, hadis di atas berbicara tentang hijrah, niat dan jihad. Tiga komponen ini telah terbukti menjadi pondasi yang kokoh atas keberhasilan dakwah islam pada masa Nabi. Ketiganya saling melengkapi antara satu sama lain.
Hadis tersebut juga menyebutkan bahwa semenjak peristiwa Fathu Makkah, maka sudah tidak ada lagi hijrah. Yang ada tinggal jihad dan niat. Hal ini karena hijrah hanya diwajibkan atas umat islam pada masa itu, dengan pertimbangan strategi dakwah. Setelah kota makkah berubah dari Daaru al-Kuffar menjadi Daaru al-Islam, disamping umat islam sudah semakin kuat, maka tidak dibutuhkan lagi ber-hijrah.
Berbeda dengan hijrah. Demi tegaknya agama islam sepanjang zaman, kebutuhan akan jihad dan niat tidak menjadi lekang oleh waktu. Tanpa usaha yang sungguh-sungguh, beribadah demi tegaknya agama islam dapat dikatakan mustahil. Usaha tanpa niat-pun menjadi sia-sia. Disamping itu, hadis di atas juga berkaitan dengan wajibnya ber-jihad dalam bentuk perang. Meski hukumnya wajib, namun jihad dalam bentuk ini baru diperbolehkan jika :
Apabila mereka dikepung oleh kaum kuffar di negeri mereka sendiri. Maka mereka wajib berperang. Setiap orang dari penduduk negeri tersebut yang mampu wajib berperang untuk mempertahankan dan membela kehormatan kaum muslimin dan membela negeri kaum muslimin yang dikepung.
Apabila imam (pemimpin tertinggi/khalifah/waliyul amri) mengajak berperang maka perang menjadi wajib atas setiap individu.
Alloh Subhannahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الأرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu ‘Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Alloh kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit” (QS. At Taubah: 38)
Jika peperangan datang, sedangkan padanya terdapat kekuatan, maka tidak boleh bagi seorang Muslim lari dari medan tempur, melainkan ia wajib berperang.
Alloh Subhannahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلا تُوَلُّوهُمُ الأدْبَارَوَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali bertolak untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Alloh dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al Anfal: 15-16)
Melarikan diri dari medan tempur adalah termasuk dosa besar. Maka siapa saja yang menghadapi peperangan, sedangkan pada dirinya terdapat kekuatan, maka ia harus berperang .
Jadi, ini adalah hujjah (dasar) bahwasannya Jihad dalam bentuk perang hanya bisa dilakukan bila ketiga point di atas (atau salah satunya) terpenuhi.

G. Subtansi Hadits
Hampir bisa dipastikan, istilah jihad merupakan salah satu konsep Islam yang paling sering disalahpahami, baik oleh kalangan Islam sendiri, lebih-lebih di kalangan para ahli dan pengamat barat. Ketika istilah ini disebut, maka citra yang muncul di kalangan barat adalah teror, segerombolan laskar muslim yang memaksa non-muslim untuk masuk Islam.
Jihad seringkali diidentikkan oleh banyak ahli, baik non-muslim maupun muslim sendiri dengan perang suci ( holy war ), yang dalam konteks Kristen eropa yakni perang melawan orang kafir. Kesalahpahaman ini antara lain karena seringnya kata ini diucapkan ketika perjuangan fisik sehingga identik dengan perlawanan bersenjata. Apalagi, dalam al-Qur’an kata ini banyak bersanding dengan kata anfus yang seringkali pula dimaknai dengan jiwa . Maka, berjihad dengan segenap jiwa dan raga identik dengan perlawanan fisik.
Selain daripada itu, dari kata ini kita mengenal tiga kata jadian yang maknanya sering dipisahkan dan seolah tidak memiliki kaitan. Tiga kata jadian tersebut adalah jihad itu sendiri, mujahadah dan ijtihad. Jihad sendiri sering dipahami dengan bersungguh-sungguh dengan otot sehingga sering diartikan dengan perang fisik, mujahadah sebagai sungguh-sungguh dengan hati sehingga sering dipakai oleh para sufi, sedangkan ijtihad diartikan dengan sungguh-sungguh dengan pikiran, maka orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid .
Dalam Al-qur’an, sekitar 40 kali kata jihad disebut. Seluruh maknanya bermuara pada; “mencurahkan seluruh kemampuan” atau “menanggung pengorbana”. Maka, seorang mujahid adalah orang yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban dengan nyawa atau tenaga, pikiran, emosi, dan apapun yang berkaitan dengan diri manusia .
Namun disadari atau tidak, kesalahpahaman tentang konsep jihad ini terlanjur dianggap sebagai kebenaran oleh sementara golongan, sehingga perlu untuk ditegakkan. Padahal, mendefinisikan jihad dengan perang fisik jelas kurang tepat. Bukan saja karena otot, hati dan pikiran adalah tiga hal yang bersama-sama membentuk kepribadian manusia sehingga sulit untuk dipisahkan, namun hal ini juga tampak jelas ketika Nabi pulang dengan kekalahan dari perang uhud. Beliau bersabda kurang lebih maksudnya : kita baru saja kembali dari perang kecil dan akan menghadapi perang besar. Yang dimaksud dengan perang kecil adalah perang uhud dimana Nabi mendapatkan kekalahan. Padahal perang ini untuk ukuran fisik pada waktu itu tergolong besar. Sedangkan yang dimaksud dengan perang besar adalah melawan hawa nafsu diri sendiri. Tentu perang ini tidak berbentuk fisik, bukan pula dengan bunuh diri yang jelas-jelas dilarang dalam islam .
Oleh karena itu, serangkaian peristiwa yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai jihad oleh para pelaku teror tidak dapat dibenarkan. Anggapan sementara kalangan yang menuduh islam sebagai agama yang mengajarkan teror melalui konsep jihad juga keliru dengan sendirinya karena Islam adalah agama yang mengajarkan kelemah lembutan. Nabi Muhammad-pun di perintahkan untuk bersikap lemah lembut, sebagaimana firman Allah :

“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” ( QS. Ali Imran : 159 ).
H. Analisis
Konsep jihad dalam Islam seringkali diidentikkan dengan perang. Begitu pula dengan hadis di atas. Rangkaian kata jihad pada sabda Nabi di atas di akhiri dengan kewajiban berperang, (وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا ). Meski pengertian jihad lebih luas daripada sekedar berperang, namun rangkaian Hadis tersebut mengindikasikan betapa jihad pada masa itu identik dengan perang.
Perlu diketahui, pada dasarnya Islam sangat membenci peperangan. Menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di tengah-tengah masyarakat, dalam islam dipandang sebagai pekerjaaan syetan. Islam justru memerintahkan untuk mengubah rasa benci dan takut menjadi rasa aman dan tenang. Allah berfirman :

“ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
( QS. An-Nur : 55 ).
Rasulullah sendiri mengajarkan pada kita agar mengendalikan nafsu bermusuhan dengan siapapun. Beliau bersabda :

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ حَرْبِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ يَعِيشَ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ مَوْلَى الزُّبَيْرِ حَدَّثَهُ أَنَّ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ….وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَفَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِمَا يُثَبِّتُ ذَاكُمْ لَكُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

Dari sini, dapat dipahami bahwa peperangan dalam islam bersifat defensive, bukan ofensif. Hal ini selaras dengan hadis di atas yang mewajibkan berperang (فَانْفِرُوا ) setelah dirasa perlu untuk melakukan peperangan, (اسْتُنْفِرْتُمْ وَإِذَا).
Imam an-Nawawi dalam dalam al-Minhaj bi Syarhi Shahih Muslim menjelaskan soal kewajiban berjihad dalam bentuk perang ini. Menurutnya, hukum berperang sebagaimana dalam hadis ini adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Selanjutnya, kewajiban tersebut menjadi fardhu ‘ain manakala musuh telah menduduki negri kaum muslimin.
I. Pesan Moral
Belakangan marak terjadi aksi-aksi teror seraya mengaku sebagai aksi jihad yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Dengan tidak mengesampingkan kesenjangan di berbagai bidang baik ekonomi, social maupun budaya sebagai imbas dari kepentingan politik global, diakui atau tidak aksi-aksi tersebut juga akibat dari lengahnya pemuka agama dalam memberikan pemahaman kepada umat.
Dalam hal ini, peran pemuka agama dalam upaya membendung aksi terror sangat penting. Bukan saja karena upaya membendung aksi tersebut dengan kekuatan militer dapat memancing aksi-aksi yang lain karena memunculkan dendam, namun usaha-usaha melalui dakwah dan mau’idzoh hasanah tentu lebih efektif, meskipun membutuhkan waktu yang lama.
Dalam kontekas ke-Indonesiaan, upaya ini tergolong mendesak melihat kenyataan bangsa ini yang majemuk, terdiri dari berbagai agama. Disamping perlunya penelitian yang lebih mendalam terkait konsep jihad dalam Islam, juga istilah-istilah sekitarnya seperti daaru al-Islam dan daaru al-Kuffar. Persoalan ini penting demi stabilitas Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.

DAFTAR PUSAKA


Muḫyi ad-Diyn bin Yahya bin Syarif al-Nawawi, al-Manhaj bi Syaraḫ Shaḫiḫ Muslim bin al-Ḫajaj, Bairot: Dar Ibn Ḫazm, 2002.

Abdul Ghafur, Waryono. TAFSIR SOSIAL : Mendialogkan Teks Dengan Konteks. Yogyakarta : eLSAQ press, 2005.

Shihab M., Quraish. LENTERA AL-QUR’AN : Kisah Dan Hikmah Kehidupan. Bandung : Mizan, 2008.

Al-Bukhori, Shahih Bukhari Mausu'atu al-Hadits as-Syarif, al-Baramij ad-Dauliyyah al-Islamiyyah. Global Islamic Software Company, 1991-1997.

At-Turmudzi, Sunan Tirmidzi Mausu'atu al-Hadits as-Syarif, al-Baramij ad-Dauliyyah al-Islamiyyah. Global Islamic Software Company, 1991-1997.

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud Mausu'atu al-Hadits as-Syarif, al-Baramij ad-Dauliyyah al-Islamiyyah. Global Islamic Software Company, 1991-1997.

http://www.al-ikhwan.net/namun-jihad-dan-niat-1529/

Ahmad Warson al-Munawir kamus al-munawir (Pustaka Progressif ).

http://id.wikipedia.org/wiki/Hijrah

http://id.wikipedia.org/wiki/Jihad.

http://id.wikipedia.org/wiki/Niat

Mazhab Tafsir Sufi

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit dan terikat oleh kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh suatu kosa-kata. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat maka muncul berbagai kitab atau penafsiran al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan penengetahuan, karena dalam al-Qur’an sendiri memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas.
Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan penafsiran al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak filasafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan dan yang lainnya.
Untuk itu dalam makalah ini, penulis akan mengangkat sekilas tentang masalah tafsir perspektif orang golongan ahli sufi atau aliran tasawuf

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Sufi
Kata sufi ini mempunya banyak pengertian salah satunya ialah bahwa suf (صوف) berasal dari madzi dan mudlari’ صاف يصوف yang mempunyai arti tenunan dari bulu domba (wol), merujuk pada jubah yang dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup sederhana. Namun, tidak semua orang sufi memakai jubah atau pakaian dari wol.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasala dari madzi dan mudlari’ صفا يصفو yang mempunyai arti jirnih, bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan jiwa. Dapat diambil kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme yaitu orang yang hidup sederhana, menjahui urusan dunia (zuhud) dan memurnikan hati hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Gerakan kaum sufi juga dikenal dengan tasawuf.
Penafsiran al-Qur’an, bentuk ataupun metode tafsir yang digunakan seorang tafsir akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuannya. Sehingga hasil dari penafsirannya itu sangat kental dengan bidang yang ia kuasai. Kecondongan ataupun karekteristik yang dipengaruhi oleh latar belakang mufassir dikenal dengan istilah corak (laun). Kata “laun” yang dalam arti dasarnya adalah warna, dipakai dalam bidang tafsir sebagai nuansa khusus atau karakter khusus yang yang memberikan pengaruh tersendiri dalam tafsir.
Tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.

B. Karakter Tafsir Sufi
Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik kepentingan politis semenjak ditinggal Nabi. Dismping perkatik semacam ini terus berlanjut tumbuh dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya.Itualah mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabah, ma’rifah, hulul dan wahdatul wujud.
Dengan demikian berkembanglah dua sayap sufisme dalam dunia Islam yaitu para praktisi yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah dan para teosof yang lebih memintingkan teori-teori mistis. Kedua model sufisme ini pada gilirannya membawa dampak tersendiri dalam dunia penafsiran sufistik ini yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir sufi nadhari dan tafsir sufi isyari.
1. Tafsir Sufi Nadhari
Tafsir sufi nadhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Az-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhari dalam praktiknya adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir tasawuf teoritis (nadhari) yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dalil al-Qur’an tentang paham ini diantaranya.
A. al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
Artinya:“Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku”.
Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi golongan ini adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
B. Surat al-Baqarah 115:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيم
Artinya: “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah.”
Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.

C. Surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد
Artinya: “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya dari pembuluh darah sendiri yang ada dilehernya”.
Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia.
Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas pahamnya. az-Zahabi berpendapat bahwa Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an telah keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, az-Zahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.
Sementara itu az-Zahabi juga menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nadhari yang dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhari sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Az-Zahabi memberikan contoh tafsir nadhari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al-’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam : ورفعناه مكانا عليا Menurut az-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lafazh makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang).
Kedua, di dalam tafsir nadhari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak dengan perkataan lain meng-qiyas-kan yang gaib pada nyataan.
Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir nadhari adalah hanya berdasarkan pada penafsiran takwil yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut hemat penulis tafsir nadhari pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir nadhari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara zhahir.
2. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna lahir (zhahir) dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash al-Qur’an yang hanya melihat zhahir-nya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’yi, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’yi (akal).
Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah metode isyarat (Isyarah). Isyarat di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan kata “Isyarat” adalah untuk membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka terhadap al-Qur’an tidak disebut sebagai tafsir, karena hal itu sama saja dengan membatasi makna al-Qur’an dengan cara pemaknaan dan penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya dengan “isyarah”.
Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an khusunya dan melihat dunia pada umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zhahir menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan zhahir (teks) adalah penyinar. Al-Gazali sendiri menegaskan bahwa selain yang zahir, al-Qur’an memiliki makna batin. Abdullah (Al-Muhasibi) memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zhahir adalah bacaanya sementara yang batin adalah pemahamannya.
Baik makna zhahir ataupun makna batin pada al-Qur’an adalah dari Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa umatnya, sedangkan batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena itu dulisme lahir-batin dalam wacana Al-Qur’an, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi zhahir dan batin (dan al-Qur’an termasuk makhluk). Yang zhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ruh al-Ma’nawi.
Semua tafsir isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufsir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.
1. Harus ada nas lain yang menguatkannya.
2. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
3. Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain makan zhahir.
Contoh penafsiran isy’ari yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah : فلا تجعلوا لله اندادا lafazh andadan, beliau al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr ayat 1 yang bunyinya: اذا جاء نصر الله والفتح di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan. ‘Umar ibn al-Khatab ketika mendengar ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah menyatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan ‘Umar ibn al-Khatab menangis, lantas Nabi bertanya: “apa yang kamu tangisi (‘Umar)” ? “saya menangisi bahwa sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi kecuali tambah berkurang”
Az-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :
1) Tafsir sufi nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
2) Dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.
Dalan sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin. Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat. Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat tersebut untuk menegtahui hikamah-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.
Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban, adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya. Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.


C. Kesimpulan
Penafsiran al-Qur’an, bentuk ataupun metode tafsir yang digunakan seorang tafsir akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuannya. Tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya.
Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam dengan praktik-praktik yang dilakukan oleh generasi awal Islam. Dengan demikian berkembanglah dua sayap sufisme dalam dunia Islam yaitu para praktisi yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah dan para teosof yang lebih memintingkan teori-teori mistis. Kedua model sufisme ini pada gilirannya membawa dampak tersendiri dalam dunia penafsiran sufistik ini yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir sufi nadhari dan tafsir sufi.
Tafsir sufi nadhari adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara. Sedangkan tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson al-Munawir kamus al-munawir, Pustaka Progressif .

Manna’ Khalil al-Qattan, trj. Mudzakir as, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Lintera Antara Nusa, 2007
Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.

Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Ignaz goldziher, Madzhab Tafsir jerj Alaika Salamulah et.al Yogya: eLSAQ Press, 2006.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme

http://uinsuka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=28

CD-ROM, al-Qura’an in World.

Selasa, 20 Oktober 2009

“Etika Bertaubat Dalam Islam”

جد ثنا محمد بن المنى و محمد بن بث ار. واللفظ لا بن المثنى. قا لا حد ثنمحمد بن حبعفر ح ر ثنا شعبة عن سماك بن حر ب عن علقمة بن و ائل عن ابيه وائل الحصر مى ٲن طا رق بن سو يد الجعفى سٲل النى صلى الله عله و سلم عن الحم ر غيها اوكره ٲ ن يصنعها فقال انما اصغها للد واءفقالد (( انه اليسى بد واء ولك نه د اء)) ( اخ ر يه م سلم)

Diceraikan dari Muhammad Ibnu Musannah d an Muahmmad ibnu Basyar, yang lafadznya dimiliki Ibnu Musannah, berkata “Kita diceritakan dari Muhammad Ibnu ja’ far, di ceritakan dari Sya’bah dari simakir Ibn Hard dari al Qamah Ibn wa’il dari a yahnya wa’il hadramiy, bahwasanya thariq ibn wa’il ibn suwaid bertanya kepada Rosul Saw, tentang boleh atau makruhnya Khamar yang dibuatnya, kemudian berkata, Sesungguhnya apa yang dibuatnya untuk obat, Rasul berkata “Sesungguhnya bukan obat tetapi itu adalah racun”

A.Latar Belakang
Tidak ada manusia yang sempurna didunia ini, seperti apapun kehidupan manusia tersebut, baik manusia itu kaya, miskin, tua, muda, bes ar, kecil dan sebagainya. Pasti mereka pernah mersakan atau mengalami sakit. Sakit yang dialami setiap manusia berbeda-beda dan banyak macamnya, dan banyak pula berbagai macam obat dan pengobatan. Dalam berba gai macam pengobatan pada saat ini, baik pengobatan mengguna obat-obatan dari alam ataupun pengobatan medis. Semua itu dilakukan karena mereka ingin memperoleh kesehatan dan kesembuhan. Bagi setiap muslim kesehtan harus sangat diperhatikan, sebabislam sangat mengutamakan kesehatan dan pengobatan, namun dengan ketika yang benar, karena dengan berobat dengan bena, dapat membuat manusia memperoleh kesehatan yang benar-benar baik dan yang terutama ridho dari Allah SWT.

B.Rumusan Masalah
1.Apakah pengertian obat ?
2.Obat apa yang diharamkan ?
3.Apa hokum berobat dengan Khomer ?
4.Apa metode pengobatan Nabi ?

C.Kata-Kata Sulit
Lafadz خمر merupakan islam Jamid (tidak bias ditafsir) jadi tidak punya fi’il mad dan mudhorinya yang merupakan nuqilan dari lafadz خمر yang berupa fi’il madi yang mempunyai arti menutupi.
يضعها merupakan fi’il mudhori mabni fa’il yang diandarkan pada damir Muttas hil (dirahasiakan) mahal rofa’ yang yang berkedudukan sebagai fa’il yaitu (هو) yang berarti dia (laki-laki) dan disandarkanpula pada dhomir mahal nasab yang berkedudukan sebagai maf’ul yaitu (هو) yang berarti dia (perempuan) kemudian lafadz دواء merupakan mazdar d ari lafadz yang berupa fi’il madzi yang berarti sakit.

D.As babul Wurud Hadits
Hadits diatas bermula ketika Thoriq bin siled melihat Nabi dan bertanya pada beliau tentang Khomer dan Nabi mencegah dan membenci membuat khomer, kemudian sued berkata” Saya membuatnya untuk obat”, Nabi menjawab, “Sesungguhnya Khomer bukanlah obat akan tetapi penyakit”1


E.Pembahasan
1.Pengertian Obat
Obat adalah bahan atau zat yanbg berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, maupun zat kimia tentu yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit, memperlambat proses penyakit dan menyembuhkan penyakit.2

2.Obat yang Diharamkan
Para fuqaha’ terdahulu, terutama Imam Mazhab yang empat, baik Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hanbali sepakat bahwa berobat dengan khamar,s esuatu yang memabukkan dan segala yang didharamkan agama pada dasarnya adalah haram.. Penggunaan benda-benda haramn tersebut diperbolehkan apabila diyakini untuk kesembuhan suatu penyakitanku dalam keadaan terpaksa yangd apat mengancam keselamatan jiwa.
Adapun obat-obat yangd iharamkan adalah obat-obat yang mengandung najis, kotor dan alkoho. Antara lain :
a.Bir
b.Arak
c.Air kencing
d.Narkotika
e.Khamr

3. Hukum Berobat dengan Khomer
Khamr dalam pengertian bahasa arab (makna Lughowiyah) “ menutup”. Disebut Khamr karena sifatnya bisa menutupi akal. Sedangkan dalam pengertian syara’ Khamr dalah setiap minuman yang memabukkan. Jadi Khamkr tidak terbatas dari bahan anggur saja, tetapi minuman yang memabukkan, dari bahan anggur ataupun lainnya.3
Diriwayatkan dari Thariq bin Suwaid al-ju’afi r.a, ia bertanya kepada Nabi SAW.tentang hokum Khamr, beliau melarang Khamr / benci membuatnya, lalu Thariq berkata, “ Aku membuatnya obat”, beliau menjawab “Khamr itu bukan obat penyakit”, (HR. Muslim)

Haram menjadikan khamr, induk segala kotoran sebagai obat, sebab kamr itu penyakit bukan penawar penyakit dan tidak boleh dikatakan hukumnya dharurat, sebab Allah SWT telah mengharamkan kamr dan sehjenisnya adanya hokum dharurat, berbeda dengan bangkai dan sejenisnya yang dihalalkan ketika dharurat. Sebab manusia punya alternative obat lain dan dan dia tdiak dapat mema stikan khamr sebagai obat.
Ibnu Qoyyim berkata dalam zaadul Ma’aad (IV / 157) “Seandainya kita mengatakan bahwa induk segala kotoran yang Allah tidak menjadikan kesembuhan sama sekali didalamnya itu, sesungguhnya khamr sendiri itu sangat membahayakan otak yang merupakan pusat akal fikiran minat para dokter , Fuqoha, dan kaum mutakallimin.4
Adapun sa ggid sa diq berpendapat bahwa khamr diperbolehkan manakala tidak ada obat lain yang halal. Manfaat khamr untuk keseha tan hendaknya diniyatkan pengobatan semata, bukan untuk berse nang-senang mengikuti hawa nafsu.5
Pada prinsipnya para fuqoha menetapkan keharaman menggunakan benda-benda aram sebagai obat, seperti khamr , arak, bir, dll, karena memang tidak di benarkan oleh syara’. Namun demikian, tidak selamanya seseorang dapat berobat sesuai dengan ketentuan syara’ tersebut. Hukum ekadaan turut seseorang boleh menggunakan benda terse but sebagai obat . Hukum haram tersebut adalah untuk keadaan normal, yang memungkinkan seseorang untuk berikhtiyar.6
Sementara dalam keadaan darurat, Islam memiliki kebijakan yang lain. Hukum ‘azimah dan rukhisah dalam fiqih islam bagaikan dua sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam sitaussi normal, hokum ‘azimah mutlak diberlakukan, sedang dalam keadaan darurat , maka hokum rukhsah yang mutlak diberikan. Pengguna an khamr sebagai obat minat ulama’ Hanafiyah tidak boleh, sebab Nabi SAW secara tegas melarang.
Namun, jika diyakini untuk kesembuhan suatu penyakit maka diperbolehkan mereka berpendapat, jika seseorang tersumbat tenggorokannya dan tidak menemukan air maka ia boleh minum khamr. Demikian juga jika ia lapar dan dahaya, sedangkan ia tidak menjumpai air maka ia boleh minum khamr / makan barang haram demi menyelamatkan jiwanya.7
Ulama’ malikiyah, Hanabillah dan sebagian syafi’iyah berpendapat bahwa jika dalam keadaan terpaksa yang dapat mengancam keselamatan jiwa seperti tidak adanya air dan yang ada hanya khamr maka minum khamr adalah wajib. Manfaat khamr dan benda lainnya sebagai obat, Mahmud saltut menyatakan bahwa para ulama sepakat membolehkan hal tersebut dengan dua syarat, yaitu harus berdasarkan keterangan dari dokter muslimim yang dipercaya , dan karena memang tidak ada obat lain, cara memperolehnya tidak melanggar syara’ dan tidak melebihi kpeerluan.8
Berobatnya dengan khamr / benda haram lainnya yang pada asalnya dilarang kemudian diperbolehkan karena ada illah yang konkret yaitu dharurat, mahmas ani menjelaskan bahwa keadaan dharurat adalah yang berkenan dengan keharusan dan kepentingan seseorang untuk menjaga agama, jiwa, hak milik ataupun keluarganya dari kerusakan. Sedangkan yang dimaksud kelayakan hidup.
Pend apat para ulama’ diatas sangat sesuai dengan syari’ah Islam. Islam senantiasa tanggap dalam setiap kondisi. Islam memberikan jalan keluar yang dapat diterima manusia sehingga ruh Islam senantiasa berorientasi kepada kebahagiaan, kemudian dan keselamatan bagi umatnya, sebagaimana hal ini dalam surat a-Baqarah 185 d an al Hajj 78.9

4.Pengobatan dengan menggunakan cara Nabi
Nabi Muhammad SAW telah men gajarkan keapda umatnya c ara menjaga kesehatan dan mengobati penyakit, cara pengobatan nabi pun mudah, murah dan lebih efektif dibandingkan pengobat an-pengobatan yang lain. Ibnu Qoyyim berkata, “ Pengobatan /ala nabi dapat diyakini dan bersifat pasti, ber nuansa illahi, berasal dari Wahyu dan misykat nubawah serta kesempurnaan akal. Sementara pengobatan yang lainnya lebih banyak bersifat praduga, kira-kira dan berdasarkan eksperimen, yang ketidak efektifan / keakuratannya sering kali tidak dapat dipungkiri.10
Diantara pengoabtan yang disunna hkan (dipraktekkan nabi dan dianjurkan untuk diaalkan umatnya adalah) pemanfaatn Habbatasaeda, madudan bekam.
Habbatussauda
Rasulullah SAW bersabda, Gunakanlah habbatussauda karena sesungguhnya: didalamnya terdapat obat untuk segala penyakit, kecuali maut , (HR. Bukhori, Muslim)
Banyak studi yang dilaksanakan untuk meneliti kanduangan habbatussauda / jinten hitam / black seed, diantaranya adalah :
1.Dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh
2.Dapat mens timulasi sumsum di tulang dan imunitas sel, serta produksi interferon, melindungi sel-sel normal melawan virus perusak sel, melawan sel tumor dan dan meningkatkan jumlah anti bodi yang memproduksi sel B.
3.Terbukti memiliki efek anti histamine, anti Oxidant, antibiotic mycotic dan penghambat bronchitis.
4. Hasil uji black seed membuktikan dapat dipakai untuk menyembuhkan banyak penyakit.
Dalam kitab At-Thib An-Nabawi (pengobatan cara nabi) yang ditulis Ibnu Qoyyim Al- Jau ziyah, habbatussa uda dikenal juga sebagai al- Habbah al-Barokah. Disebut dalam kitab tersebut bahwa habbatusdauda dapat mengobati sekitar 50 penyakit efek samping.
Madu
Allah berfirman dalam surat An-nahl : 69 yaitu “ Dari perut lebah keluar minuman (modul ) yang bermacam –macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kebes aran Allah) bagi orang-orag yang memikirkan.
Rosulullah bersabd a, “ Penyembuhan terdapat dalam tiga hal, yakni meminum madu, sayatan alat bekam, d an sundutan dengan api. Dan aku melarang umatku berobat dengan sendutan api (HR. bukhori).
Penelitian kamaruddin (1997) peneliti dari department of Bioc hestry, facul ty of me dicine, Universiti of Malaya, di Kuala Lumpur , paling tidak 4 faktor terahdap aktivitas anti bakteri pada madu :
1.Kadar gula yang tinggi akan menghambat pertumbuhan bakteri sehingga bakteri tersebut tidak dapat hidup dan berkembang
2. Tingkat keasaman madu yang tinggi (pH. 3.65) akan mengurangi pertumbuhan dan daya hidupnya sehingga bakteri tersebut akan merana dan mati.
3.Adanya senyawa radikal hydrogen peroksida yang bersifaty dapat membunuh mikroorganisme pathogen
4.Adanya senyawa organic yang bersifat anti bakteri, senyawa organic tersebut tipenya bermacam-macam, yang telah teridentifikasi antara lain, seperti polyphenol, fla vo noid, dan glikosida.
ان ابا هر بره ٲ خبر انه سمع ر سول الله صلى الله عليه و سلم بقول : ان ى الحبة السوداء سثفاء من كل داء. الا لساماوالسام : المة ث والحبه السوداء : الشو نير
Diceritakan oleh Abu Hurairah, beliau mendengar Rosulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya pada jinten hitam itu terdapat obat disegala macam penyakit .’ kecuali kematian.”

ان عاضم بن عمر بن قتادة حدث : ان حا بربن عب ر الله عاد المقنع م قال : الا ابرح حتى تجتبم فا ش سمعت لر سول الله صلى الله عليه و سلم يقول : ان فيه يثفاعء
Diceritakan oleh Ashim bin Umar bin Qatodoh, bahwa Jabir bin Abdullah menjenguk seseorang yang sakit kepala, kemudian berkata, “ Aku tidak akan pulang sebelum engkau berbekam, sebab aku pernah mendengar rosulullah SAW, bersabda: “ Sesungguhnya di dalam berbekam itu terhadap pengobatan”.
Bekam
Bekam adalah mengeluarkan darah kotor dari dalam tubuh. Darah yang berda dibawah permukaan kulit dan bukan darah Vena. Bangat hadits tentang anjuran Rosulullah tentang hijamah / bekam ; diantaranya
1. “Sesungguhnya cara pengobatan terbaik yang kalian pergunakan adalah hijamah / bekam (Shahih bukhori dan shahih muslim)
2. “Pada waktu malam aku disisra’kan, aku tidak melewati sekumpulan malaikat melainkan mereka berkata : “Wahai Muhammad Suru hlah Umatmu melakukan bekam (HR. Sunan Abu Daud)
“Penyembuhan ter hadap dalam 3 hal , yakni meminum madu, sayatan alat bekam dan sundutan dengan api. Dan aku melarang umat ku berobat denagn sundutan api” (HR. Bukhori)
Beberapa diantara manfaat bekam yaitu :
1.Mengeluarkan darah kotor, bekam berfungsi sebagai detoksifikasi (proses pengeluaran toksin daya tahan tubuh
2.Meningkatkan data tahan tubuh, berdasarkan penemuan Prof. Cantell (Perancis). Ia menemukan Faktya bahwa kemampuan darah putih untuk memproduksi interferon bertambah sepuluh kali lipat setelah dibekam, dibanding kemampuan untuk memproduksi interferon dalam adarah individu-individu yang tidak dibekam, (inter feron merupakan zat protein yang diproduksi sel-sel darah putih . ia memiliki reaksi yang sangat kuat terhadap virus-virus yang menyerang tubuh. Bertambahnya interferon berarti bertambahnya kekebalan tubuh. Bertambah keke balan tubuh terhadap penyakit dan infeksi).
3.Menyembuhkan penyakit . Rasulullah SAW bersabda “Hendaklah kalian semua melakukan pengobatan dengan bekam ditengah tengku, karena sesungguhnya hal itu merupakan obat dari 72 penyakit. (HR. Imam At-Thabrani)

Dalam buku “ At- Thi bbun nawwai, “Ibnu Qoyyim al- Jauziyah menyebutkan penyakit –penyakit yangd apat disembuhkan d engan bekam, diantaranya : “Migraen, Gastritis Chronis, Hypertensi, Stroke, Gangguan Hormon, ganguan mata, alergi, gangguan pencernaan, Reumatic , Asam urat, Ambelen, Inso mnia, gangguan pernafasan, dan masih banyak lagi.



KESIMPULAN

Berobat dengan menggunakan obat-obatan yang haram sangat dilarang dalam ajaran Islam, seperti menggunakan obat-obatan yang menggunakan alcohol, seperti arak, bir, khamr, narkotika dsb. Karena selain berdosa, juga membuat manusia berpenyakit. Nabi mengajarkan, bila hendak berobah sebaiknya menggunakan obat-obatan yang khalal, seperti yang dicontoh Nabi, yaitu dengan berbeakm, madu dan habbatussaudah. Jadi cara berobat atau pengobatan yang khalal akan banyak memberikan kebaikan dalam setiap diri manusia.

Hadits Mudhtharib

A.Definisi Hadits Mudhtharib
Secara etimologi kata Mudhtharib adalah isim fail dari fi’il madhi ‘idtharaba’, kata dasarnya adalah “dharaba” yang artinya “memukul” bisa juga diartikan sebagai “ombak” atau “goncang”. Kegoncangan suatu hadits karena terjadi kontra antara sati hadits dengan hadits yang lain, brekualitas sama dan tidak dapat dipecahkan secara ilmiah.
Sedangkan hadits Mudhtharib secara terminology memiliki banyak pengertian, yaitu :
1. هو ماو قعت المخا لفة فيه با الا بد ال على و جه يحصل فيه التدا فع مع عد م تصر المرجح
“Hadits yang mukhalafahnya (menyalahinya hadits lain), terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang daoat ditarjihkan.
2. ما ر و ى على ﺃو جه مجه مجتلفة متدا فعة على التساوى فى الا حتلا ف بحيث لم يتر جح احدا هما على اﻷ حرى ولم يمكن الجمع بينهما من راو واحدبا ن رواه مرة على وجه احر على و جه مخالف له او رواه اكثر بان يضطرب فيه اويان فاكثر
“ Hadits yang diriwayatkan atas beberapa cara yang berlainan yangs atu menolak yang lain, sednag dia sederajat dalam perbedaannya dalam satu tidak kuat salah satunya atas yang lain dan mungkin dikumpulkan antara perawi yangs atu dengan lain, karena sekali ia meriwayatkan begini dan sekali ia meriwayatkan oleh lebih dari seorang dan terjadi perbuatan-perbuatan antara orang perawi itu ataupun lebih.”
3. ما حتلفت و جوهروايته سواء كان راوى هذه الوجوه وحدااو اكثر بشر ط ان لا يتر جح
“Hadits Mudhtharib ialah hadits yang berlawanan cara periawayatannya, baik perowi-perowi cara itu., seorang ataupun banyak dengan syarat sebagainya tidak lebih kuat dari yang sebagian.1
4. الحد يث الضطر ب هو الحد يث الذ ى ير و ى من قبل راو واجد اواكثر على اوجه مختلفة متساوية ولا مر جح بينهما و لا يمكن الجمع
“hadist mudhtharib adalah hadist yang diriwayatkan dari seorang rowi atau lebih dengan beberapa redaksi yang berbeda dan dengan kualitas yang sama, sehingga tidak ada yang dapat ditinggalkan dan tidak dapat dikompromikan.

Dari berbagai definisi diatas dapat diambil kesoimpulan bahwa hadits mudhtharin adalah hadits yang memiliki pe rbeda an riwayatnya dengan 2 catatan , yaitu :
a.Anatara hadits tersebut seimbang kualitasnya sehingga tidak dapat ditinggalkan alah satunya. Karena bila ada yang dapat ditinggalkan, maka hukumnya pada hadits yang unggul itu, yang disebut dengan mahfudz atau ma’ruf, lawan dari syadz atau munkar.
b. Antara hadits tersebut tidak d apdat dikompromikan karena bila perbeda an dapat dihilangkan dengan cara yang benar, maka status kemudhtharibannya hilang.

B. Pembagian Haidts mudhtharib
Dilihat dari statusnya haidts mudh tharib dapat dibagi menjadi 2 , yaitu :
1.Mudhtharib pada matan
2.Mudhtahrin pada sanad
Pada umumnya yang banyak terjadi adalah mudhtharib pada sanad , adapun untuk mudhtahrib pada matan itu jarang sekali terjadi.

C.Contoh Hadits Mudhtharib
1.Contoh Hadits Mudhat harib pada sanad
Adapun ciontoh Mudhatharib pada sanad a dalah s eperti hadits Abu Bakar
يا ر سو ل الله ار يك شبت ؟ شيبتنى هو د وا خوا تها
“Ya Rosulullah saya lihat anda telah berubah. Nabi SAW menjawab Surah Hud dan saudara – saudaranya telah menyebutkan saya beruban.
Ad – Daruquthi mengatakan bahwa hadits ini mudhtharib, karena hanya diriwayatkan melalui Abu Ishlaq dan perselisihan terhadapnya lebih dari 10 macam perselisihan.
Ada yang meriwayatkan secara mursal. Ada yang secara manshul, ada yang menjadikannya dari musnad Abu Bakar, ada yang menjadikannya usnad Sa’ad dan adapun yang dari musnad Aisyah. Begitu juga para ulama ada yag mempertengkarkan saadnya, sebagian mengtaakan, Ibnu Haidts itu bersumber da ri ikrimah, dari Abu Bakar, sebagian mengatakan d arii Ibnu Jahaifan dari Abu bakar , sebagian menda’wahkan dari Al Barra da ri Abu bakar , sebagian lagi mengtakan dari Alamah dari Abu Bakar. Roqi nya itu meurut Ibnu Hajar adalah orang-orang yang tsiqah yang tidak mungkin ditarjihkan salah satunya kurang lengkap.

2. Contoh Hadits Mudhtharib paa matan
Seperti hadits yang diriwaytkan oleh At-Tirmid zi
سنلت او سنل النبى ص م عن ال ز كاة فقارل : ان فى المال لحقا سو ى الز كا ة
“Aku telah mennanyakan atau alda orang yang menanyakan kepada Nabi SAW tentang zakat, maka Nabi SAW menjawab : Sesungguhnya paa harta itu aa hak orang selain d ari zakat.
Sementara pada ayat Ibnu Maja mellaui jalan ini Rasulullah bersabda :
ليس فى المال حق سو ى الز كا ة
Tidak ada sesuatu hak pada harta itu, selian dari zakat.
Al – Iraqi berkata : Hadits diatas tejadi mudhtharib tidak mungkin dita’wilkan . hadits pertama menyatakan adanya hak bagi harta selain zakat. SEmentara hadits kedua menyatakan sebaliknya yakni tidak adanya hak selian zakat atau hanya menyatakan sebaliknya yakni tidak adanya hak selain zakat atau hanya zakat saja sebagai hak harta.

D.Kehijjahan Hadits Mudh tharib
Hadits Mudh tharib termausk adits dhaif yang cacat perowinya, akan tetapi perlu diketahui bahwa diantara Hadits Mudhtharib itu ada juga yang shahihu, wqalaupun dia dinmai mudhtharib yang shahih, yaitu yang mereka perselisi hkabn tentang nama dari perowinya yang kepercayaan sebagai yang ditegaskan Az _Zarkasyi dalam m,ukh thas harnya.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari beber bagai uraian diatas, dapat diambil kesimpulan s ebagai berikut :
1. Hadist Mudhtharib hadits dhaif yangc acat rowinya
2. Haditys Mudhtharib adalah suatu hadits yang sanad atau matanya diperselisihkan karena satu dengan yang lainnya berbeda dan tidak dapat dicocokkan atau diputuskan mana diataa sanadnya atau matanya yang lebih kuat
3. Meskipun Hadit Mudhtharib teramsuk hadis daif namun adakalanya hadits Mudhatharib itu ada shahih.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khan. Ulumul Hadits, Jakarta : Amza h , 2008. 194
Father Rahma, Ikhtisar Usthalahul Hadits, Bandung : PT. Al- Ma’arif, 1974
http :// alimiah.multiply.com/journal/item/5
http://www.s crib.com/doc/6064054/kitab-iklas-shahih-attargib –war-tahrrhib
M. Hasby Ash Shiddiqy, Pokok-pokok Ilmu Diniyah Hadits, Jakarta.

JARH WA TA’DIL

A.Latar Belakang Masalah
Hadits sebagai pernyataan, pengamalan, ketetapan, dan hal-ihwal Nabi Muhammad saw, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Sebelum hadits Nabi dihimpun dalam kitab-kitab hadits secara resmi dan masal, hadits Nabi pada umumnya diajarkan dan diriwayatkan secara lisan dan hafalan. Hal ini memang sesuai dengan keadaan masyarakat Arab yang terkenal sangat kuat di bidang hafalannya.1
Ulama ahli hadits dalam melakukan penelitian berita yang berkenaan dengan agama berpegang pada penelitian terhadap pembawa berita. Apabila para pembawa berita tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya,maka berita tersebut dinyatakan berkualitas sahih. Sebaliknya, apabila para pembawa beritanya bukanlah orang-orang yang dapat dipercaya, maka berita yang bersangkutan tidak dapat dijadikan hujah (dalil) agama.2
Untuk itu dalam makalah akan membahas tentang kaedah yang berhubungan dengan kesahihan sanad hadits yang digunakan untuk mengkritisi dan mengetahui keaadaan perawi hadits yaitu ilmu jarh wa ta’dil.

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Jarh
Secara etimologis al-Jarh adalah merupakan bentuk mashdar dari kata "جرح يجرح" yang berarti “melukai” dimana seseorang membuat luka pada tubuh orang lain (fisik) yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu,3 yang luka tersebut dikarenakan terkena senjata tajam seperti pedang atau lainnya. Atau melukai selain pada tubuh (non fisik) seperti sakit hati lantaran perkatan kasar yang dilontarkan seseorang.4
Sementara jarh secara terminologis yaitu munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.5 Sedangkan men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau terlolaknya apa yang diriwayatkan.6
1.Hukum Jarh
Mencacat para perawi masuk golongan celaan yang dibolehkan apabila ada kemaslahatan. Al-Ghazali dalam Ihya al-‘Ulumuddin dan Imam An Nawawi dalam Riyad ash-Shalihin dan lain-lain berpendapat, mencela keadaan seseorang baik dia masih hidup ataupun sesudah meninggal dibolehkan karena ada sesuatu kepentingan agama. Seperti:
a.Kerena teraniaya. Boleh bagi yang teraniaya mengatakan kepada hakim bahwa dia telah dizalimi si Fulan.
b.Meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran.7
c.Untuk meminta fatwa. Seorang mustafti boleh mengatakan kepada mufti bahwa dia telah di-dzalimi oleh seseorang, maka jalan apakah yang harus ditempuh agar terlepas dari aniaya tersebut.8
d.Untuk menghindarkan diri dari kejahatan. Masuk kedalam bidang ini, mencela diri saksi (menyebut cacatan-cacatan pada diri saksi) dihadapan hakim dan mencela para para perawi hadits yang memang harus dicela. Tindakan ini, boleh hukumnya dengan ijma’ segala ulama, bahkan wajib.
e.Orang yang dicacat itu orang yang terang-terang membuat bid’ah. Maka boleh disebut secara terang-terang bid’ah yang dianut dan maksiat yang dianut.
f.Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya. Apabila seseorang terkenal dengan sesuatu sifat yang menunjuk kepada suatu keaiban seperti si tuli, si pincang maka boleh mengatakan si A yang pincang dengan maksud menerangkan orang yang sebenarnya yang dikehendaki, bukan dengan maksud menjelekkannya.9
Dalil yang menunjukkan bolehnya menjarh yaitu firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِي (الحجرات: 6)10
Artiny: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Dalam ayat ini Allah memerintahkan tabayyun (klarifikasi) terhadap kabar yang dibawa oleh orang fasik.11
Oleh karena mencela seseorang merupakan suatu perbuatan yang sukar dan terkadang-kadang menimbulkan kerenggangan batin antar manusia dan dibolehkan karena sesuatu yang darurat yang diperbolehkan syara’, maka para ulama menetapkan bahwa mencela lebih dari kadar keperluan tidak diperbolehkan.12
B.Pengertian Ta’dil
Secara etimologis Ta’dil berasal dari kata dasar al-A’dil berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, itu merupakan lawan dari lacur. Orang adil berarti yang diterima kesaksiannya.
Al-Adil secara terminologis adalah orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif. Sehingga berita dan kesaksiannya dapat diterima, bila dipenuhi pula syarat-syarat dalam kelayakan menyampaikan hadits.13
Mayoritas ulama hadits, ulama ushul, ulama fiqh sependapat bahwa orang yang riwayatnya dapat dijadikan hujah baik laki-laki maupun wanita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.Islam (riwayat orang kafir tidak diterima)14
b.Baligh (usia di mana kuat dugaan adanya kemampuan menangkap pembicaraan dan memahami hukum-hukum syariat Islam).
c.Adil (sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa, menjaga harga diri, menjauhi dosa kecil maupun dosa besar)
d.Dhabith (seseorang dapat memahami, mendengar, dan menghafal hadits sejak menerima sampai menyampaikannya hadits tersebut).15
Al-Ta’dil merupakan sifat rawi yang dibersihkan sehingga tampak sifat adilnya dan dapat diterima khabarnya. Dengan demikian ilmu jarh wa ta’dil berarti:

العلم الذي يبخث فى احوال الرواة من حيث قبول رواياتهم اوردها
“Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka”16

C.Kegunaan Jarh wa Ta’dil
Kegunaan mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil adalah untuk dapat menetapkan sebuah periwayatan seorang perawi tersebut layak diterima ataukah harus ditolak. Ketika seorang perawi dihukumi cacat (di-jarh) oleh para ulama, maka periwayatannya harus ditolak.
Sedangkan apabila seorang perawi dipuji sebagai orang yang adil, maka periwayatannya dapatlah diterima, hal tersebut selama syarat-syarat yang lain untuk dapat menerima hadits terpenuhi.17
Tidaklah diterima suatu pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang benar-benar cacat. Ibnu Hajar dalam muqadimah Fathu al-Bari berkata, “Tidaklah diterima suatu pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang terang mencacatkan”. Karena sebab-sebab mencacatkan seseorang berbeda-beda. Dan semuanya berkisar disekitar lima hal, yaitu:18
1.Bid’ah ( bid’ah golongan orang rafidhah dan golongan orang fasik)
2.Mukhalafah (tidak sama periwayatannya dengan periwayat yang lebih tsiqah)
3.Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan)
4.Jahalatu al-Hal (tidak dikenal identitasnya)
5.Da’wa’ al-Inqitha (diduga keras sanadnya tidak bersambung)19

D.Sejarah Jarh wa Ta’dil Sebagai Salah Satu Bidang Ilmu
Sesuai dengan fakta sejarah, pemalsuan hadits telah terjadi semenjak dini, dan menonjol pada masa perebutan kekuatan politik islam. Fakta itu menunjukan bahwa teryata tidak semua pembawa hadits itu dapat dipercaya. Menunujuka cacat perawi hadits bukan bermaksud untuk menjatuhkan matabat individu, apalagi ulama, tetapi untuk melindungi informasi Nabi dari pemalsuan.20
Ilmu jarh wa ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. Karena itu para ulama menanyakan tentang keadaan perawi meneliti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui segala keadaan para perawi, sehingga dapat diketahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatannya, lebih lama menyertai gurunya.21
Tak seorangpun diantara para kritikus hadits dan tokoh-tokohnya yang membela ayah, sudara, ataupun anaknya. Semua dimaksudkan untuk mengabdi kepada syariat Islam dan memelihara sumber-sumbernya. Sehingga para kritikus hadits dapat mengatakan sesuatu sejujur-jujurnya dan menata niat sebaik mungkin. Sebagai contoh Ali Ibn al-Madiniy (161-234 H) pernah ditanya beberapa orang tentang ayahnya, lalu menjawab: “Tanyakakan tentang beliau kepada selain diriku”. Namun mereka tetap kembali bertanya kepada beliau. Lalu beliau menundukkan kepala, kemudian mengangkat kepala, lalu berkata: “itu pertanyaan tentang Agama. Beliau dhaif”.22

E.Latar Belakang Pentingnya Ilmu Jarh wa Ta’dil
Para ulama sadar sepenuhya bahwa menunjukan aib (cacat) orang lain itu dilarang oleh agama. Akan tetapi jika al-Jarh (kritik) tidak dilakukan maka bahaya yang timbul akan lebih besar, dan hadits nabi tidak dapat diselamatkan. Al-Baghdadi mengutip penilaian Ibnul Mubarak atas kebohongan al-ma’la ibn Hilal. Kemudian seorang sufi menegurnya, “Hai Abu Abdir Rahman, mengapa engkau berbuat ghibah (memperlihatkan aib orang lain). Ibnul Mubarak menjawab, “kalau saya tidak menjelaskan, bagaimana mungkin dapat dipilah antara yang hak-dengan yang batil”.23

a.Metode Menjelaskan Hal Ihwal Para Perawi
Telah disinggung di atas tujuan jarh wa ta’dil sebenarnya adalah mengetahui yang shahih dari yang cacat, maka kritik ulama terhadap perawi tentu merupakan sarana bukan tujuan. Oleh karena itu, diterapkan sikap moderat (luwes) dalam menjelaskan hal ihwal perawi. Ada beberapa patokan yang mencirikan metode ulama dalam menjelaskan hal ihwal para perawi yang terpenting:
1.Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian. Di mana yang disebutkan para ulama adalah sifat positif dan negatif perawi. Sebagai contoh perkataan Muhammad Ibn Sirin: “sungguh engkau berbuat zalim kepada saudaramu, bila engkau hanya menyebutkan keburukan-keburukannya tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikannya”.
2.Kecermatan dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-pernyataan ulama tentang jarh wa ta’dil akan dapat diketahui kecermatan ulama dalam meneliti dan kedalaman pengetahuannya tentang seluk-beluk perawi yang dikritiknya.
3.Mematauhi etika jarh. ulama jarh wa ta’dil dalam menyatakan penilaiannya tidak akan keluar dari etika penilaian ilmiah. Ungkapannya yang paling keras adalah “fulan wadhdha’” (fulan tukang palsu), “fulan kadzdzab” (fulan tukang dusta). Atau ungkapan-ungkapan lain yang pasti tidak keluar dari kenyataan yang ada.24
4.Secara global men-ta’dil dan secara rinci dalam men-tarjih. Para imam-imam jarh wa ta’dil dalm men-ta’dil perawi ini tanpa menyebutkan sebab-sebab ta’dil. Karena sebab-sebab ta’dil sangat banyak, sehingga sulit bagi seseorang untuk menyebut seluruhnya.25Sifat-sifat tercela periwayat yang dikemukakan secara rinci tidak dinyatakan secara berlebih-lebihan, sehingga dapat diketahui apakah ketercelaan itu berkaitan dengan keadilan atau ke-dhabitan.26
Dapat di ambil pemahaman bahwa seorang kritikus hadits (kritius perawi hadits) dalam melakukan kritiknya harus bersifat obyektif, lugas, sopan dan santun semata-mata didorong oleh kepentingan keagamaan, sehingga membuat obyektifitas penilaiannya dapat dipertanggung jawabkan di depan publik27
b.Syarat-syarat pen-ta’dil dan pen-tajrih
Imam-imam yang terjun dalam bidang penjelasan hal-ihwal perawi dan berusaha menjaga sunnah dengan membedakan antara yang sahih dan yang cacat. Disamping menggunakan hidupnya secara maksimal dan penuh kejujuran, juga menggunakan hidupnya secara maksimal dalam bidang tersebut. Para ulama sependapat atas kewajiban terpenuhinya syarat-syarat bagi pen-ta’dil dan pen-tajrih:28
1)Adil, Islam, baligh, berakal, dan selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk.
2)Mengetahui sebab-sebab jarh dan sebab-sebab tazkiah (ta’dil).29dan juga memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, khususnya yang berkenaan dengan a) ajaran Islam, b) bahasa Arab, c) hadits dan ilmu hadits dan d) pribadi periwayat yang dikritiknya.30
3)Bertakwa, orang yang selalu menjalankan perintah Allah dan menjahui larangan Allah.
4)Wira’I, orang yang selalu menjahui perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat.
5)Jujur.
6)Tidak ta'ashub (fanatik) terhadap orang yang di-ta'dil-nya, sehingga ketika akan men-ta'dil (menganggap adil rawi) dan men-jarh (menganggap cacat rawi) tidak dikarenakan ashabiyah madzhab atau negara.31
Dan ketika tidak dapat memenuhi syarat-syarat tersebut, maka kritikannya terhadap perawi tidak dapat diterima.32

F.Sasaran Jarh wa Ta’dil
Karena sebagian besar hukum-hukum syariat yang hanya dapat diketahui melalui pengutipan dan periwayatan, maka ulama menempuh cara meneliti keadaan para periwayat dan mencermati mereka yang bersetatus tsiqah lagi hafidz. Keadilan seorang perawi dapat diketahui melalui satu diantara dua hal:
Pertama, dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa perawi tersebut terkenal sebagai orang yang adil, seperti Malik Ibn Anas, Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah Ibn al-Hajjaj, asy-Syafi’I, Imam Ahmad dan yang lainnya. Sehingga tidak absah mempertanyakan tentang keadilannya.33
Kedua, dengan tazkiah (penilaian positif), yaitu pen-ta’dil-an orang yang terbukti adil terhadap orang yang belum dikenal keadilannya. Menurut imam-imam hadits tazkiyah sudah dianggap cukup bila dilakukan oleh satu orang yang bersetatus adil. Karena jumlah tidak disyaratkan dalam peneriman kabar, sehingga tidak disyaratkan pula dalam jarh wa ta’dil. 34
Jarh juga dapat ditetapkan berdasarkan keterpopuleran. Orang yang dikenal kefasikanya, kedustaannya, atau sifat sejenis dan hal itu telah dikenal luas, maka tak perlu dipertanya lagi statusnya. Sudah cukup menentukan jarh-nya berdasarkan informasi yang telah populeritu. Jarh dapat juga ditetapkan berdasarkan tajrih yang diberikan oleh seorang yang adil yang mengetahui betul sebab-sebab jarh. Inilah yang dipegangi oleh imam-imam hadits. Sebagian ulama mengatakan, bahwa jarh hanya dapat ditetapkan berdasarkan tajrih dari dua orang yang adil, dimana keduanya dapat mengetahui betul sebab-sebab jarh.35

G.Ulama Dan Kitab-kitab Dalam Bidang Ilmu Jarh wa Ta’dil
Para penulis kitab jarh wa ta’dil berbeda-beda dalam menyusu buku-bukunya. Sebagian ada yang ringkas, hanya terdiri satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang perawi. Sebagian ada yang menyusunnya menjadi beberapa jilid besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu perawi.
Di samping itu mereka juga berbeda-beda dalam mensistematiskan pembahasannya. Ada sebagian yang hanya menulis tentang rawi yang tsiqah saja dan ada pula yang mengumpulkan kedua-duanya. Diantara kitabnya ialah:
1.Ma’rifat al-Rijal karaya Yahya Ibn Main kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita. Juz pertamnya masih berupa manusskrip (tulisan tangan) berada di darul kutub adl-Dlahiriyah.
2.Adl-Dluafa’ karya Imam Muhammad bin Ismail al-Buakhari (194-252 H). kitab tersebut dicetak di India 320 H.
3.At-Tsiqah, karya Abu Hatim bin Hiban al-Busti (wafat 304 H). perlu diketahui bahwa Ibn Hiban ini sangat mudah untuk mengadilkan seorang perawi, karena itu hendaklah hati-hati terhadap pen-ta’dil-annya. Naskah aslinya diketemukan di Dar al-Kutub al-Mishriyah, dengan tidak lengkap.
4.Al-jarhu wa Ta’dil, karya ‘Abdurrahman bin Abi Hatim ar-Razy (240-325 H). ini merupakan kitab jarh wa ta’dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Ketab tersebut terdiri dari empat jilid besar-besar yang memuat 18,050 orang rawi. Pada tahun 1325 H. kitab itu dicetak di India menjadi Sembilan jilid. Satu jilid sebagai mukadimah, sedangkan tiap-tiap jilid yangasli dijadikan dua jilid.
5. Mizan al-I’tidal, karya Imam Syamsudin Muhammad adz-Dzahabi (637-748 H). kitab tersebut terdiri dari tiga jilid. Setiap rawi walaupun rawi tsiqah diterangkan dan dikemukakan haditsnya, sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib. Kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan yang terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1325 H. dan terdiri dari tiga jilid, mencakup 10,907 orang rijal sanad.
6.Lisan al-Mizan, karya al-Hafidh Ibnu Hajar al-‘Asqalany (773-852 H). Sudah mencakup isi kitab Mizan al-‘Itidal dengan beberapa tahapan yang penting. Kitab ini memuat 14.343 orang rijal sanad. Kitab ini dicetak di India pada tahun1329-1331 H. dalam enam jilid.36
H.Sebab Terjadinya Kritik Rijal Hadits
Sebab terjadinya kritik terhadap perawi hadits dikarenakan perawi yang memindahkan hadits tidak semuanya berada pada tingkatan yang sama dalam hal hafalan, ada yang kuat hafalannya dan ada yang kurang kuat hafalannya. Ada juga yang sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan salah, meski memiliki sifat adil dan jujur.37 Ada enam tingkatan dalam menjarh dan men-ta’dil. Dan masing-masing tingkatan mempunyai patokan global sebagai berikut:
a)Tingkatan-tingkatan Ta’dil
1.Kata-kata yang menunjukkan mubalaghah (intensitas maksimal) dalam hal ta’dil dengan bentuk af’al at-Tafdil38atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis. Misalnya: "اوثق الناس"(yang paling teguh), "اضبط الناس"(yang paling dhabith)39, "ثقة فوق ثقة" (orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah).
2.Memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan ke-dlabit-an­nya, baik sifat yang dibubuhkan itu selafat dengan mengulang maupun semakna. Misalnya: " ثقة ثقة" orang yang tsiqah lagi tsiqah, "ثبت ثقة" Tsiqah lagi teguh.40
3.Menunjukkan keadilan dengan sesuatu lafat yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya: "ثبت" orang yang teguh (hati dan lidahnya), "ثقة" orang yang tsiqah, "متقن" orang yang meyakinkan (ilmunya), "حافض" orang yang kuat hafalannya.
4.Menunjukkan keadilan dan ke-dlabit-an, tetapi dengan lafat yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya: "صدوق" orang yang sangat jujur, "مأمون" orang yang dapat memegang amanat, "لابأس به"orang yang tidak cacat.
5.Menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dlabit-an. Misalnya: "محله الصدق" orang yang bersetatus jujur, "حسن الحدث" yang bagus haditsnya, "جيد الحديث" baik haditsnya.
6.Kata-kata yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafat "ان شاءالله" atau lafat tersebut di tashghir-kan (pengecilan arti) atau lafat tersebut dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:"صدوق إن شاءالله" orang yang jujur insya Allah, "فلان ارجو بأن لابأس به" orang yang dianggap tsiqah, "فلان صويلح" orang sedikit kesalehan, "فلان مقبول حديثه" orang yang diterima haditsnya.
Dari tingkatan ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam ta’dil. Kekuatan hafalan, ketelitian serta kecermatan disatu sisi, dan kejujuran pada sisi yang lain.
Pertama, pada tingkatan yang tertinggi (tingkatan satu dan dua ) yang ditonjolkan adalah bahwa periwayat mempunyai kecerdasan, ketelitian, kecermatan dan kekuatan hafalan yang amat bagus. Orang diberi predikat semacam ini dipastikan memiliki kesetian yang amat tinggi terhadap agama, sekaligus kejujuranya tidak diragukan lagi. Begitu ketahuan bahwa periwayat itu tidak jujur kendati kecerdasanya luar biasa, maka ia akan jatuh dan tidak dapat masuk kedalam kelompok orang adil di tingkat manapun.
Kedua, pada tingakatan Ta’dil yang paling ringan kadarnya ( tingkat empat dan lima ) terlihat bahwa periwayat diberi predikat sebagai orang jujur, setia terhadap agama tetapi disana tidak dilaporkan kecerdasanya dan kekuatan hafalanya. Artinya, periwayat pada tingkat ini memang tidak menonjol kecerdasan, ketelitian dan kekuatan hafalan. Kalau demikian ada dua hal yang di tekankan dalam al-Ta’dil, kecerdasan dan kejujuran.41
Para ahli hadits mengunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujah, sedangkan hadits-hadits para perawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain.42
b)Tingkatan-tingkatan Tajrih
1.Kata-kata yang menunjukkan kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafat-lafat yang mubalaghah (intensitas maksimal) dalam hal Tajrih dengan bentuk af’al at-Tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya. Misalnya: "اوضع الناس" orang yang paling dusta, "اكذب الناس" orang yang paling bohong.
2.Menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafat berbentuk mubalaghah, tetapi masih di bawah tngkatan pertama. Misalnya: "كذاب" orang yang pembohong, "دجال" orang yang penipu.43
3.Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagai pendusta, pemalsu atau yang sejenis. Misalnya: "فلان متهن بالكذب" orang yang dituduh dusta, "متهن بالوضع" orang yang dituduh dusta. Disamakan dengan tingkatan ini adalah kata-kata yang menunjukkan ditinggalkan haditsnya. Misalnya: "فلان متروك الحديث" orang yang ditinggal haditsnya.
4.Dengan kata-kata yang menunjukkan ke-dla’ifa-n yang sangat. "ضعيف جدا" sangat lemah, "رد حديثه" haditsnya ditolak, "طرح حديثه" haditsnya dilempar.
5.Kata-kata yang menunjukkan penilaian dla’if atas perawi atau kerancuan hafalannya. Misalny: " ضعيف" orang yang lemah, "له مناكير" ia memiliki hadits yang munkar, "مضطرب الحديث" kacau haditsnya, "لايحتج به" haditsnya tidak dapat dibuat hujah.44
6.Menyifati perawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, akan tetapi sifat tersebut dekat dengan ta’dil. Misalnya: "ضعف حديثه" dilemahkan haditsnya, " فلان مقال فيه" orang yang diperbincangkan, " فلان ليس بالحجه" orang yang haditsnya tidak dapat digunakan hujjah.45
Dalam hal jarh, terdapat juga dua hal yang penting. Diman kadar jarh yang terberat (peringkat satu dan dua), menonjolkan kedustaan bahkan yang berlebihan. Tampak di sini bahwa ukuran utama akurasi berita adalah kejujuran atau kedustaan. Orang yang tidak menonjol dustanya dihukumi jarh dengan kadar agak ringan. Orang yang tidak kelihatan pendusta tetapi lemah hafalannya dan kurang teliti dijatuhi hukum jarh dengan kadar lebih ringan lagi, mendekati ta’dil dengan kadar yang rigan juga.
Dengan demikian, sebenarnya ta’di dengan kadar yang ringan (tingkat lima) itu berhimpitan dengan jarh dengan kadar ringan pula (tingkat lima). Dalam kasus yang seperti ini sebuah hadits naik derajatnya apabila menurut hasil penelitian, hadits tersebut dikuatkan oleh hadits yang sama melalui jalur yang berbeda. Kalau tadinya hadits hasan, maka dapat naik menjadi shahih li ghairihi, kalu tadinya dha’if menjadi hasan li ghairihi.46
Orang-orang yang yang di-tajrih menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Sedangkan orang-orang yang di-tajrih menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya dapat dipakai sebagai i’tibar.47

I.Pertentangan Antara Jarh dan Ta’dil
Kadang-kadang pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama kadang saling bertentangan. Sebagaiman men-tajriha-nya, sedang sebagian yang lain men-ta’dil-kan. Bila demikian, maka diperlukan penelitian yang lebih lanjut. Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan ulama.
Pertama, mendahulukan jarh daripada ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak daripada yang mentajrih. Karena yang mentajrih mengetahui apa yang tidak dapat diketahui oleh yang menta’dil. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama.
Kedua, tajrih didahulukan daripada jarh, bila yang men-ta’dil lebih banyak. Karena banyaknyanya yang men-ta’dil dapat mengukuhkan keadaan perawi-perawi yang bersangkutan. Pendapat ini tidak dapat diterima, sebab yang men-ta’dil meski lebih banyak jumlahnya tidak memberitahukan apa yang dapat menyanggah pernyataan yang men-tajrih.
Ketiga, bila jarh dan ta’dil bertentangan, maka salah satunya tidak dapat didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya. Yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.
Pendapat yang pertamalah yang digunakan oleh ahli-ahli hadits, baik mutaqadimin maupun mutaakhirin.48

J.Kritik ( al-Jarh wa at-ta'dil) Terhadap Shahabat
Persoalan pokok dalam bahasan ini adalah, apakah penilaian cacat (al-jarh) seperti diatas apakah dapat di terapkan kepada para sahabat rasulullah menginggat banyaknya ayat-ayat dan hadits nabi yang memuji mereka. Ternyata ada berbagai pendapat yang menarik untuk di perhatikan.
Pertama, menurut Jumhur ulama hadits, para sahabat itu semuanya adil. Itu artinya mereka tidak perlu di kritik. Sia-sia dan kualat mengkritik sahabat Nabi.
Kedua,Qaum mu'tazilah berpendapat bahwa semua sahabat itu adil kecuali mereka yang terlibat perang sifin. Pendapat ini di yakini oleh Wasil ibn Atha', Abu al-Huszail, al-Jahizh, dan lain-lain. Kaum khowarij juga mengaku bahwa tidak semua sahabat itu adil. Hanya sahabat yang sejalan dengan sikap politik mereka yang dipandang adil. Begitu juga kaum syi'ah, mereka hanya mengakui keadilan sahabat yang secara politis mereka pandang tidak mengangu keberadaan Sayyidina Ali ra. Sebagai penganti nabi (al-wshi)
Ketiga,sebagian kecil ulama berpendapat bahwa semua sahabat boleh diuji keadilanya. Kebanyakan mereka ulam muta'ahir, seperti Muhammad Abduh, Sayyid Ridha, mahmud Abu Rayyah, dan lainya. Menurut mereka sahabat itu masih manusia biasa, yang boleh jadi alpa.49

KESIMPULAN

Ilmu jarh wa ta’dil yaitu Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka. Sedangakan hukum mencela keadaan perawi baik dia masih hidup ataupun sesudah meninggal dibolehkan karena ada sesuatu kepentingan agama.
Para ulama sependapat atas kewajiban terpenuhinya syarat-syarat bagi pen-ta’dil dan pen-tajrih adalah Adil, Islam, baligh, berakal, dan selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk, mengetahui sebab-sebab jarh dan sebab-sebab tazkiah (ta’dil), bertakwa, wira’I, jujur. tidak ta'ashub (fanatik).
Keadilan seorang perawi dapat diketahui melalui satu diantara dua hal: Pertama, dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu seperti Sufyan ats-Tsauri, asy-Syafi’I, Imam Ahmad dan yang lainnya. Kedua, dengan tazkiah (penilaian positif), yaitu pen-ta’dil-an orang yang terbukti adil terhadap orang yang belum dikenal keadilannya. Jarh juga dapat ditetapkan berdasarkan keterpopuleran. Orang yang dikenal kefasikanya, kedustaannya, atau sifat sejenis dan hal itu telah dikenal luas. Jarh dapat juga ditetapkan berdasarkan tajrih yang diberikan oleh seorang yang adil yang mengetahui betul sebab-sebab jarh.


DAFTAR PUSTAKA

ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Hasim, Ahmad Umar. Qawaid al-Usul al-Hadits. Kairo: Dar al-Fikr, t.t..
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis TelaahKritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. Ushul Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama,1998.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: al-Ma’arif, 1974.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis Dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003
Zein, Muhammad Ma’sum. Ulum Hadits Wa Musthalah Hadits. Jombang: Darul Hikmah, 2008.
Tafsyir ath-Thabari. (CD-ROM: Maktabah Syamilah 2).

Senin, 12 Oktober 2009

Telaah Hadits Pemimpin yang Egois

Sikap Seorng Muslim Pada Penguasa


باب الأمر بالصبر عند ظلم الولاة واستئثارهم

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ خَلَا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلَانًا فَقَالَ إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ و حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ يَعْنِي ابْنَ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ بْنُ الْحَجَّاجِ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يُحَدِّثُ عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ خَلَا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ و حَدَّثَنِيهِ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَلَمْ يَقُلْ خَلَا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Imam Muslim menyatakan: telah menceritakan kepada kami dengan metode sama' Muhammad bin Mutsanna bin Basyar berkata telah menceritakan kepada kami dengan metode sama' Muhammad binJa'far telah menceritakan kepada kami dengan metode sama' Syu'bah berkata telah mendengar Qotadhah bercerita dari anas bin Malik dari Usaidh bin Hadzir Bahwa seorang lelaki Ansar menemui Rasulullah saw. dan bertanya: Apakah engkau tidak ingin mengangkatku sebagaimana engkau telah mengangkat si fulan? Rasulullah saw. menjawab: Sesungguhnya kamu sekalian akan menemui sepeninggalku para pemimpin yang egois, maka bersabarlah sampai kamu menjumpaiku di telaga kelak.

A.Latar Belakang Masalah.
Suasana demokrasi telah mengilhami banyak terjadi demonstrasi di mana-mana. Aparat pemerintahanpun dicela, dihina bahkan diturunkan dari jabatanya. Atas nama demokrasi hal itu diperbolehkan. bahkan ironisnya, pencelaan terhadap penguasa terdengar sampai di atas mimbar-mimbar masjid.
Demikiankah Islam mengajari kita didalam menghadapi penguasa yang dhalim dan berbuat KKN ? Dari Islamkah demokrasi dan demonstrasi itu ?
Sesungguhnya sebaik-baik kalam adalah Kalam Allah, dan sebaik baik petunjuk adalah adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
Alhamdulillah, Rasulullah SAW telah meninggalkan kepada kita Agama Islam yang sempurna. Tidak ada suatu perkara yang penting pun yang terlewati dari agama ini.
Barangsiapa tetap berpegang teguh kepada agama ini setelah sampai hujjah kepadanya maka dia adalah termasuk orang yang selamat, Insyaa Allah. Dan barangsiapa yang berpaling setelah sampai keterangan dari perkara agama ini maka dia akan binasa.
Semoga Allah SWT menggolongkan kita kepada orang yang tetap mendengar dan taat dari setiap perintah-perintah yang telah disampaikan oleh-Nya lewat lisan Rasul-Nya SAW. Aamiin.

B.Ma'anil Mufrodat Hadits.
lafadz تستعمل berasal dari Fi'il madi استعمل- يستعمل- استعمالا , sedangkan lafadz تستعمل yang berarti menggunakan adalah Fi'il Mudhori' yang memiliki kedudukan sebagai Mufrod Mudakar Mukhotob. Dalam konteks hadis ini lafadz tersebut di maknai dengan makna menjadikan, sehingga lafadz تستعمل dalam hadits tersebut di tafsirkan dengan lafadz
تجعلني عاملا على الصدقة أو متوليا على بلد
Menjadikanku sebagai amil atas sodakoh atau penguasa atas suatu Negara.

Lafadz أثرة merupakan kalimat isim Jamid (Bentuk asli dari kalimat isim, bukan berasal dari kalimat Fi'il. Dalam hadits ini Lafadz أثرة diartikan sebagai pemimpin yang tidak memenuhi hak rakyat.
Dalam dalam bahasa Indonesia biasa di sebut dengan kata egois, sehingga dalam sebuah terjemahan hadits di atas terkadang lafadz أثرة di jumpai dengan arti Egois, sehingga bisa di simpulkan bahwa lafadz ini memiliki makna yang serupa dengan kata Dholim.
Kata zalim berasal dari bahasa Arab, dengan huruf “dho la ma” (ظ ل م ) yang bermaksud gelap, yang artinya juga sama dengan zalim yaitu melanggar haq orang lain.
Kalimat zalim bisa juga digunakan untuk melambangkan sifat kejam, bengis, tidak berperikemanusiaan, suka melihat orang dalam penderitaan dan kesengsaraan, melakukan kemungkaran, penganiayaan, kemusnahan harta benda, ketidak adilan dan banyak lagi pengertian yang dapat diambil dari sifat zalim tersebut, yang mana pada dasarnya sifat ini merupakan sifat yang keji dan hina, dan sangat bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia, yang seharusnya menggunakan akal untuk melakukan kebaikan.
Lafadz الحوض merupakan isim Jamid yang bermakna Telaga, berdasarkan syarah dari Kitab Shahih Bukhari, Bab Qoul Nabi Saw, Juz 2, halaman 1381. yang memberikan keterangan makna dengan contoh:
حوض النبي صلى الله عليه و سلم في الجنة

A.Hadits yang Semakna dan Skema Sanadnya.

Dalam kitab Shahih Muslim Bab باب قول النبي صلى الله عليه و سلم للأنصار di temukan hadits yang semakna, dengan redaksi sebagai berikut:

حدثنا محمد بن بشار حدثنا غندر حدثنا شعبة قال سمعت قتادة عن أنس بن مالك عن أسيد بن حضير رضي الله عنهم
: أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلَانًا قَالَ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ)


Dalam shahih Bukhori bab باب غَزْوَةُ الطَّائِفِ فِى شَوَّالٍ سَنَةَ ثَمَانٍ juga di jumpai hadis yang semakna, dengan redaksi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ
لَمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَسَمَ فِي النَّاسِ فِي الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَلَمْ يُعْطِ الْأَنْصَارَ شَيْئًا فَكَأَنَّهُمْ وَجَدُوا إِذْ لَمْ يُصِبْهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسَ فَخَطَبَهُمْ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَلَمْ أَجِدْكُمْ ضُلَّالًا فَهَدَاكُمْ اللَّهُ بِي وَكُنْتُمْ مُتَفَرِّقِينَ فَأَلَّفَكُمْ اللَّهُ بِي وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمْ اللَّهُ بِي كُلَّمَا قَالَ شَيْئًا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ قَالَ مَا يَمْنَعُكُمْ أَنْ تُجِيبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلَّمَا قَالَ شَيْئًا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ قَالَ لَوْ شِئْتُمْ قُلْتُمْ جِئْتَنَا كَذَا وَكَذَا أَتَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ وَتَذْهَبُونَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رِحَالِكُمْ لَوْلَا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنْ الْأَنْصَارِ وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ وَادِيًا وَشِعْبًا لَسَلَكْتُ وَادِيَ الْأَنْصَارِ وَشِعْبَهَا الْأَنْصَارُ شِعَارٌ وَالنَّاسُ دِثَارٌ إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ


Dalam kitab مسند أحمد dalam bab حديث عبد الله بن زيد بن عاصم المازني رضي الله تعالى No hadits 15874 ditemukan hadits yang semakna, dengan redaksi sebagai berikut

قَالَ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏عَفَّانُ ‏ ‏قَالَ حَدَّثَنَا ‏ ‏وُهَيْبٌ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏عَمْرُو بْنُ يَحْيَى ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ ‏ ‏قَالَ ‏لَمَّا ‏ ‏أَفَاءَ ‏ ‏اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ يَوْمَ ‏ ‏حُنَيْنٍ ‏ ‏مَا ‏ ‏أَفَاءَ ‏ ‏قَالَ قَسَمَ فِي النَّاسِ فِي ‏ ‏الْمُؤَلَّفَةِ ‏ ‏قُلُوبُهُمْ وَلَمْ يَقْسِمْ وَلَمْ يُعْطِ ‏ ‏الْأَنْصَارَ ‏ ‏شَيْئًا فَكَأَنَّهُمْ ‏ ‏وَجَدُوا ‏ ‏إِذْ لَمْ يُصِبْهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسَ فَخَطَبَهُمْ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ ‏ ‏الْأَنْصَارِ ‏ ‏أَلَمْ أَجِدْكُمْ ضُلَّالًا فَهَدَاكُمْ اللَّهُ بِي وَكُنْتُمْ مُتَفَرِّقِينَ فَجَمَعَكُمْ اللَّهُ بِي ‏ ‏وَعَالَةً ‏ ‏فَأَغْنَاكُمْ اللَّهُ بِي قَالَ كُلَّمَا قَالَ شَيْئًا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ ‏ ‏أَمَنُّ ‏ ‏قَالَ مَا يَمْنَعُكُمْ أَنْ تُجِيبُونِي قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ ‏ ‏أَمَنُّ ‏ ‏قَالَ لَوْ شِئْتُمْ لَقُلْتُمْ جِئْتَنَا كَذَا وَكَذَا أَمَا تَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ وَتَذْهَبُونَ بِرَسُولِ اللَّهِ إِلَى ‏ ‏رِحَالِكُمْ ‏ ‏لَوْلَا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنْ ‏ ‏الْأَنْصَارِ ‏ ‏لَوْ سَلَكَ النَّاسُ وَادِيًا ‏ ‏وَشِعْبًا ‏ ‏لَسَلَكْتُ وَادِيَ ‏ ‏الْأَنْصَارِ ‏ ‏وَشِعْبَهُمْ ‏ ‏الْأَنْصَارُ ‏ ‏شِعَارٌ ‏ ‏وَالنَّاسُ ‏ ‏دِثَارٌ ‏ ‏ وَإِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي ‏ ‏ أَثَرَةً ‏ ‏ فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ

B.Kualitas Perawi dari Kalangan Tabi'in (Biografi).

C.Grand Theory.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin sedangkan di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat berjamaah hanya bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan.
Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar. Untuk tujuan memperbaiki kehidupan yang lebih baik, seorang muslim tidak boleh mengelak dari tugas kepemimpinan,
Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat
(HR Ahmad).
Dari pengantar di atas, terasa dan terbayang sekali betapa dalam pandangan Islam, pemimpin memiliki kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar.
Hadits riwayat Imam Bhukori urutan ke 3581 menyatakan bahwa Nabi Muhammad memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi pemimpin yang dholim (Egois).
Seorang muslim tetap harus ta'at terhadap pemimpin / penguasa yang dhalim dimana ia menjalankan pemerintahannya tidak sesuai dengan tuntunan Islam dan menyia-nyiakan hak rakyat
Hakekat kepemimpinan adalah amanat yang harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ta’ala. Allah ta’ala telah memerintahkan siapa saja yang dipasrahi amanah (termasuk kepemimpinan) agar menunaikannya serta tidak menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرّسُولَ وَتَخُونُوَاْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”
[QS. Al-Anfaal : 27].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan telah memberikan peringatan yang sangat keras bagi para pemimpin yang menyia-nyiakan amanah Allah dalam mengurus rakyatnya, sebagaimana sabdanya :
حدثنا شيبان بن فروخ حدثنا أبو الأشهب عن الحسن قال عاد عبيدالله بن زياد معقل بن يسار المزني في مرضه الذي مات فيه قال معقل إني محدثك حديثا سمعته من رسول الله صلى الله عليه و سلم لو علمت أن لي حياة ما حدثتك إني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidak ada seorang hamba pun yang mendapat amanah dari Allah untuk memimpin rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dimana keadaan mengkhianati rakyatnya kecuali Allah telah mengharamkan atasnya surga” [HR. Al-Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142].

D.Substansi Hadits.

Selanjutnya bagaimana sikap kita jika kita menemui pemimpin yang dhalim lagi menyia-nyiakan amanat Allah kepada rakyatnya ? Untuk menjawab hal ini, sudah barang tentu harus kita kembalikan kepada Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah, serta pengamalan para shahabat dan para ulama setelahnya. Fenomena tentang munculnya para pemimpin dhalim ini sebenarnya telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam semenjak empat belas abad silam.
Hal ini bukan baru terjadi di abad 19 atau 20 saja, melainkan telah ada dalam sejarah perjalanan Daulah Islam. Sikap pertama yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menghadapi penguasa-penguasa seperti itu adalah bersabar dengan tetap mendengar dan taat.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat’). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl” 
[HR. Al-Bukhari no. 7057 dan Muslim no. 1845].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Kita di haruskan untuk memberikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, supaya Allah menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” 1
عن علقمة بن وائل الحضرمي عن أبيه قال سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يَا نَبِيَّ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهمْ وَيَمْنَعُوْنَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَه اْلأَشْعَثُ بْنِ قَيْسِ وَقَالَ اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهمْ مَا حَمَلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حَمَلْتُمْ
Dari ‘Alqamah bin Wail Al-Hadlrami dari ayahnya ia berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju’fiy pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Nabiyullah, bagaimana pendapatmu jika kami punya pemimpin yang menuntut pemenuhan atas hak mereka dan menahan (tidak menunaikan) hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami ?”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya, dan Salamah kembali mengulangi pertanyaannya. Dan hal itu berulang hingga dua atau tiga kali. Kemudian Al-Asy’ats bin Qais menariknya (Salamah). Dan akhirnya beliau menjawab : “(Hendaklah kalian) mendengar dan taat kepada mereka. Karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat dan atas kalian apa yang kalian perbuat” [HR. Muslim no. 1846].
Hadits di atas merupakan jawaban yang sangat gamblang bagi para pecinta Sunnah (Ahlus-Sunnah), yaitu tetap sabar atas kedhaliman penguasa serta tetap mendengar dan taat kepada mereka dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat”2
Al-‘Allamah Al-Mubarakfury berkata :
وفيه : أن الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب . قال المطهر على هذا الحديث : (( يعني :سمع كلام الحاكم وطاعته واجب على كل مسلم، سواء أمره بما يوافق طبعه أو لم يوافقه، بشرط أن لا يأمره بمعصية فإن أمره بها فلا تجوز طاعته لكن لا يجوز له محاربة الإمام ))
Dalam hadits ini (yaitu Sunan At-Tirmidzi no. 1707) terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya.
Al-Muthahhar mengomentari hadits ini : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa tersebut” 3.
Al-Harb berkata dalam kitabnya Al-‘Aqidah dengan menukil perkataan dari sejumlah ulama salaf :
وإن أمرك السلطان بأمر فيه لله معصية فليس لك أن تطعه البتة وليس لك أن تخرج عليه ولا تمنعه حقه
Jika sulthan (penguasa) memerintahkanmu tentang satu perkara kemaksiatan di sisi Allah, maka tidak ada ketaatan bagimu kepadanya. Akan tetapi, engkau juga tidak boleh keluar dari ketaatannya dan menahan haknya”4
Islam sebagai agama yang hanif telah memberikan kaifiyah (cara) menasihati dan beramar-ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

“Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat). Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya”
HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi.
Realisasi petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas tercermin dari apa yang dilakukan Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ketika banyak kaum muslimin terpengaruh hembusan fitnah kaum munafikin pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu, dimana beliau dan para pejabat yang mendampinginya dituduh telah banyak melakukan penyelewengan (dan sungguh jauh sangkaan mereka itu – Abu Al-Jauzaa’).
عن أسامة بن زيد قال قيل له ألا تدخل على عثمان فتكلمه فقال أترون أني لا أكلمه إلا أسمعكم والله لقد كلمته فيما بيني وبينه ما دون أن أفتتح أمرا لا أحب أن أكون أول من فتحه
Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Seseorang berkata kepadanya : “Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”. Maka Usamah menjawab : “Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu ? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya”
HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 2989]
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :
ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله وقد قدمنا في أول كتاب السير هذا أنه لا يجوز الخروج على الأئمة وإن بغوا في الظلم أي مبلغ ما أقاموا الصلاة ولم يظهر منهم الكفر البواح والأحاديث الواردة في هذا المعنى متواترة ولكن على المأموم أن يطيع الإمام في طاعة الله ويعصيه في معصية الله فإنه لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق.
“Akan tetapi, barangsiapa yang mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian permasalahan, sudah selayaknya menasihati tanpa mempermalukannya di hadapan khalayak umum. Namun caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits : “Hendaklah ia mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”. Telah kami paparkan diawal buku As-Siyar bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam (pemerintah) kaum muslimin walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun selama mereka menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah mutawatir. Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk mentaati imam dalam ketaatan kepada Allah dan mendurhakainya bila ia mengajak bermaksiat kepada Allah. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq” [As-Sailul-Jarar, hal. 965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].

E.Analisa.
Bersabar dan tidak keluar dari ketaatan bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Kita tetap diwajibkan untuk beramar ma’ruf nahi munkar kepada siapapun – termasuk kepada penguasa/pemimpin – sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Namun, tidak boleh bagi kita dengan mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar untuk menjelek-jelekkan penguasa di muka umum, seperti mengatakan kalimat-kalimat provokatif : “Penguasa kita ini adalah penguasa yang korup; Penguasa kita dan kabinetnya telah terpengaruh pada ide-ide kafir; Kebijakan penguasa kita telah membuat rakyat sengsara; Para pemimpin kita telah menyia-nyiakan amanat ; dan yang semisalnya.  Pernyataan-pernyataan seperti itu (walau dengan alasan nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar) akan menimbulkan fitnah yang besar. Antara pemimpin dan rakyat semakin terbuka jurang pemisah. Tuntutan syari’at untuk mendengar dan taat pada perkara yang mubah dan ma’ruf pun akhirnya ditinggalkan karena kebencian mereka terhadap para pemimpin. Apabila itu berlanjut, api fitnah semakin menyala-nyala, diangkatlah senjata, dan akhirnya tumpahlah darah. Imbasnya pula, muncullah kelompok-kelompok sempalan yang mengkafirkan negeri-negeri Islam, para penguasa muslim, dan bahkan kaum muslimin secara umum. Ini bukanlah prediksi fiktif tanpa bukti.

F.Pesan Moral.
Bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan – baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya – maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma’ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mencela penguasa/pemimpin secara khusus dalam haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin/penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa yang dhalim/jahat bukan berarti ridla dengan kemaksiatan yang ia lakukan. Apabila seseorang ingin menasihati seorang pemimpin/penguasa terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara pribadi (empat mata). Itulah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang banyak ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Hendaknya kita senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada para pemimpin kita untuk selalu kembali pada kebenaran dan istiqamah di atasnya. Penguasa pada hakekatnya merupakan perwujudan kondisi umat. Bila umat masih bergelimang dalam kesyirikan, bid’ah, dan maksiat ; maka terangkatlah seorang pemimpin yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan mereka. Sangat sulit membayangkan terwujudnya kepemimpinan ala Abu Bakar Ash-Shiddiq jika umat masih dalam keadaan seperti ini. Ini merupakan bagian dari ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti petunjuk Nabi, maka ia akan selamat ; dan siapa yang menyimpang darinya, maka ia akan binasa. Wallaahu a’lam.

Pengikut