Jumat, 02 Juli 2010

Hadits Ahad Sebagai Hujjah dalam Masalah Akidah Maupun Hukum

A. Pendahuluan.

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia tidak mengadakan pembengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus untuk mengingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal shalih, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al Kahfi : 1-2)
Segala puji bagi Allah yang Telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;

Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,

dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang kondisi Al Qur’an ini :
(QS. Fushilat : 42)
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Pembahasan ini ada kaitannya dengan tanda-tanda hari kiamat. Hal ini karena tanda-tanda itu banyak diterangkan dalam hadits ahad . Dan sebagian ulama dari kalangan ulama theologia . Demikian pula dengan sebagian ulama ushul , yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam akidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath'i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kedudukan yang tinggi kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, seperti yang diberitakan Al Qur’an kepada kita :
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya dia mentaati Allah. (QS. An Nisa’ : 80)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)

Nash-nash yang serupa dengan ayat-ayat ini sangat banyak, tersebar di beberapa tempat di dalam Al Qur’an. Intinya memberi kedudukan yang agung kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sehingga pengarahan-pengarahan beliau memiliki nilai yang tinggi. Sunnah beliau yang suci juga mempunyai kedudukan yang tinggi yang mengharuskan ketaatan kepada beliau dan membenarkan pengabaran-pengabarannya, setaraf dengan Al Qur’an. Dari sinilah Muslimin tahu kedudukan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini yang kemudian menyusupkan rasa cinta, pengagungan, ketaatan, pembenaran, dan kepatuhan ke dalam lubuk hati mereka.
Dari titik tolak inilah mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga dan melindungi sunnah dari penyimpangan. Untuk itu mereka mendokumentasikannya dalam berbagai kitab agar nash-nashnya tetap terjaga, mereka menyusun rijalnya dan menjelaskan keadaan mereka secara mendetail, entah dari sisi ‘adalah (kelurusan) maupun jarh (kecacatan).
Sistem dokumentasi seperti ini tidak pernah didapati di bangsa manapun di dunia ini. Mereka juga mengarang berjilid-jilid kitab dalam berbagai disiplin limu dan medan yang luas yang tidak pernah ada bandingannya, bahkan mirip pun tidak sama sekali. Dengan adanya ikatan rasa orang-orang Muslim terhadap sunnah, khususnya muhadditsin (ahli hadits), dan yang tampil di barisan terdepan adalah para shahabat, merekapun bangkit menyusuri perjalanan panjang ke berbagai penjuru dunia Islam.
Tidak ada penelusuran untuk kepentingan ilmu yang lebih hebat seperti yang mereka lakukan. Bahkan adakalanya di antara mereka melakukan perjalanan sebulan atau lebih hanya untuk menelusuri satu hadits saja, agar dia benar-benar merasa puas tentang keshahihan hadits tersebut. Bukankah semua ini menunjukkan kedudukan yang spesifik bagi sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam?
Meskipun begitu, sunnah yang suci ini tidak pernah sepi dari musuh, dari dalam maupun dari luar, di tempat manapun dan kapanpun. Saat sekarang ini contohnya, serangan para orientalis terhadap Sunnah Nabawi sangat gencar. Dan serangan mereka ini masih ditopang lagi oleh sekumpulan orang yang mengenakan jubah Islam, namun sebenarnya mereka memendam hati serigala yang siap mencaplok Islam dan Sunnah yang suci. Benar-benar sangat kita sayangkan.
Alasan mereka yang menentang digunakannya hadits ahad (yang shohih/hasan) sebagai hujjah adalah dikarenakan masih mengandung dugaan (zhon) dan tidak bisa diyakini dengan pasti. Demikianlah menurut mereka. Sehingga, mereka pun menolak sekian banyak keyakinan-keyakinan yang telah sama-sama diketahui bahkan oleh Muslimin yang awwam sekalipun.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum berhujjah dengan mengunakan hadits Ahad berdasarkan kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani ?
2. Bagaimana relevansi dalil dali hadits dalam kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani bila di tinjau dari studi kritik sanad dan matan hadits?
C. Telaah Pustaka
Telaah pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah yang berguna untuk memberikan kejelasan dan batasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, terutama yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
Berkenaan dengan masalah yang sedang dikaji, sepengetahuan penulis belum ada kitab yang secara khusus membahas Kedudukan Hadits Ahad Sebagai Hujjah. Namun banyak penulis temukan dalam buku-buku hadits seputar pendapat ulama yang membahas Kedudukan Hadits Ahad Sebagai Hujjah,
Ibnul Qayyim dalam karyanya yang berjudul Ash Shawwa’iq Al Mursalah ala Al Jahmiyah wa Al Mu’aththilah dan juga karya Umar Sulaiman Al Asyqar yang berjudul Al Aqidah fii Allah, , cetakan II, 1969. Dalam kitab Tadrib Al Rawi, Qawaid At Tahdits karya Qasimi. Juga menjelaskan panjang lebar perihal hadits ahad.
Banyak penulis temukan artikel-artikel yang tersebar luas dalam dunia maya yang membahas Kedudukan Hadits Ahad Sebagai Hujjah. Namun tidak penulis temukan tulisan yang membahas Kedudukan Hadits Ahad Sebagai Hujjah yang disertai dengan penelitian kehujjahan dalil-dalil yang mereka gunakan berdasarkan metodologi keilmuan kritik matan hadits, sehingga nampak jelaslah nantinya kehujjahan pendapat-pendapat mereka.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam karyanya yang berjudul Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami telah menjelaskan Hadits ahad sebagai hujjah di dalam masalah akidah maupun hukum (fikih)
Kitab inilah yang menjadi objek penelitian oleh penulis dengan meneliti kwalitas hadits-hadits yang di gunakan sebagai dalil untuk memperkuat argument-argumen yang terdapat di dalamnya dengan metode kritik matan Hadits.
D. Kerangka Teori
Kewajiban taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang telah dipahami oleh segenap kaum muslimin. Hal ini bisa diketahui melalui bermacam bentuk ibadah yang mereka lakukan, baik yang ada tuntunannya ataupun tidak, dengan alasan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga dari berbagai bentuk shalawat yang mereka kumandangkan baik yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang tidak dituntunkan oleh beliau. Mereka pun mengatakan beriman, dan cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berbiscara tentang hadits, pasti akan sampai pada permasalahan bahwa tidak semua hadits yang kita jumpai dapat dipastikan kesahihanya. Sebelumnya telah kita ketahui bahwa hadits yang sampai pada tangan kita saat ini memeiliki beberapa kategori mulai dari kategori kelompok hadits yang paling lemah seperti contoh hadits dloif yaitu hadits yang benar-benar tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
sehingga banyak sekali perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam menghadapi berbagai bentuk hadits yang berbeda baik dalam segi periwayatan sanad atau matan. Pembahasan ini terkait pula dengan munculnya kelompok dari kaum muslimin yang menentang kebolehan berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam permasalahan aqidah,
Seperti yang dilakukan oleh ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah dan yang sefahamdengan mereka dari kalangan orang-orang sekarang ini seperti Muhammad ‘Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Salabi, Abdul Karim ‘Utsman, dan lainnya. Juga dari kalangan ulama ahli ushul, seperti yang disebutkan oleh pengarang kitab Syarh Al-Kaukab Al-Munir fi Ushul Al-Fiqh, yaitu Muhammad bin Ahmad bin Abdul ‘Aziz Al-Hambali.
Mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah aqidah. Yang menjadi hujjah adalah dalil-dali yang qath’i baik, dari ayat ataupun dari hadits. Tentu pendapat ini tertolak. Karena sebuah hadits, apabila shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui jalan orang-orang terpercaya yang menyampaikannya kepada kita, maka kita wajib mengimani dan membenarkannya, baik hadits tersebut mutawatir atau ahad, yang menghasilkan ilmu yakin. Ini merupakan madzhab ulama salafush shalih.
E. Metode Penelitian
Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan secara optimal. Berikut penulis paparkan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan, sehingga dapat diperoleh data-data yang jelas.
Sifat Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu data yang telah terkumpul diolah kemudian diuraikan secara obyektif untuk dianalisis secara konseptual dengan menggunakan metode kritik matan dan sanad al-hadis yakni penelitian terhadap kesahihan sanad dan matan hadis dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.
Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengkaji dan menelaah berbagai hadits,yang terdapat dalam kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami Bab Hadits ahad sebagai hujjah di dalam masalah akidah maupun hukum (fikih) karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, berdasarkan literature-literatur yang berhubungan dengan penelitian antara lain kitab-kitab ilmu hadis, buku, artikel dan sumber lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini, baik yang bersifat primer maupun sekunder.
Data hadits-hadits yang diperoleh dari penelitian ini adalah data yang masih mentah. Oleh karena itu, perlu diadakan analisis terhadap data-data tersebut. Dalam menganalisis data ini, langkah-langkah yang diambil penulis adalah sebagai berikut.
Dengan mengunakan metode Kritik hadits. Menurut Muhammad Mustafa Azami "Kemungkinan definisi kritik hadis adalah membedakan (al-Tamyis) antara hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da'if dan menetukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya " yang didalamnya meliputi. Kritik sanad dan matan hadits.
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini dimulai dengan Bab I yaitu Pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.
Sedangkan pada Bab II akan dibahas mengenai biografi Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Pembahasan ini mengulas, Biografi dari Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mulai di mana ia lahir, masa muda beliau, aktifitas saat muda beliau, pendidikan, bagai mana pandangan beliau terhadap hadits nabi dan lain sebagainya sampai akhir usia beliau, yang mana digunakan sebagai pegangan sebelum memasuki pembahasan berikutnya di Bab III.
Pembahasan pada Bab III berupa interpretasi hadis sehingga kandungan hadis dapat dipahami secara tepat. Pembahasan ini meliputi tinjauan redaksional hadis-hadis tentang Hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah hukum. Dilanjutkan pada analisis keotentikan hadis dari segi sanad dan matan, analisis matan hadis meliputi kajian konfirmatif, kajian tematik-komprehensif, kajian linguistik dan kajian realitas-historis.
Bab IV mengemukakan kontekstualisasi hadis terhadap realitas kekinian, yaitu berupa analisis perubahan makna hadis yang diperoleh dari generalisasi makna hadis ke dalam realitas kehidupan saat ini, sehingga memiliki makna praktis bagi problematika politik dan kemasyarakatan.
Pembahasan dalam penelitian ini diakhiri dengan Bab V yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dihasilkan merupakan jawaban atas rumusan masalah yang dikemukakan penulis pada Bab I.
BAB II
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

A. Biografi Syaikh
1. Riwayat Hidup
Nama beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani. lahir di Shkoder , Albania; 1914 / 1333 H – meninggal di Yordania; 1 Oktober 1999 / 21 Jumadil Akhir 1420 H; umur 84–85 tahun) Beliau adalah salah seorang ulama Islam di era modern yang dikenal sebagai ahli hadits. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya lantaran ketekunan dan keseriusan mereka terhadap ilmu, khususnya ilmu agama dan ahli ilmu (ulama).[1] Ayah al-Albani, yaitu al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Turki Usmani (yang kini menjadi Istanbul). Ia wafat malam Sabtu, 21 Jumada Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999.
B. Pendidikan
Ketika Raja Ahmet Zogu naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang). Ia sekeluarga pun menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari Bahasa Arab. Ia masuk madrasah yang dikelola Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah hingga kelas terakhir tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para syeikh ulama. Ia mempelajari al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, selain mempelajari pula sebagian fiqih madzhab, yakni madzhab Hanafi, dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga mempelajari ketrampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga ia menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencariannya.
Pada umur dua puluh tahun, al-Albani mulai mengonsentrasikan diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali. Kegiatan Syeikh Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya yang berkomentar, "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit."
Namun, Syeikh al-Albani justru semakin menekuni dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, ia memanfaatkan Perpustakaan azh-Zhahiriyah di sana (Damaskus), di samping juga meminjam buku dari beberapa perpustakaan khusus. Karena sibuknya, ia sampai-sampai menutup kios reparasi jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba.
Akhirnya, kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Begitu pula, ketika orang lain pulang pada waktu sholat dhuhur, ia justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.

C. Pengalaman di Penjara
Syeikh al-Albani pernah dipenjara dua kali. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya ia mendakwahkan sunnah , memurnikan ajaran agama Islam, dan memerangi bid'ah, sehingga orang-orang yang tidak menyukainya dan bahkan menebarkan fitnah.
D. Beberapa Tugas yang Pernah diemban
Syeikh al-Albani pernah mengajar di Jami'ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H, mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu, ia pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta Syeikh al-Albani menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah perguruan tinggi di kerajaan Yordania.
Tetapi, situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkannya memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H, ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Ia mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Arab Saudi berupa King Faisal Foundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H (1999 M).

E. Karya-karyanya
Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul. Beberapa Contoh Karya Beliau yang terkenal adalah :
1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
2. Al-Ajwibah an-Nafi`ah `ala as`ilah masjid al-Jami`ah
3. Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha`ifah wal maudhu`ah
5. At-Tawasul wa anwa`uhu
6. Ahkam Al-Jana`iz wabida`uha
Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.
Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami`ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj salafush Shalih (sahabat nabi radhiyallahu anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.
F. Rihlah beliau dalam Menuntut Ilmu
Saat berkuasa raja Albania yaitu Ahmad zugu, yang mengadakan perombakan total sendi-sendi kehidupan masyarakat dengan mengikuti langkah thagut Turki, yakni Kamal Ataturk, dimana mengharuskan wanita-wanita muslimah menanggalkan Jilbabnya. Maka makin marak gelombang pengungsian orang-orang yang ingin menyelamatkan agamanya, termasuk Keluarga Haji Nuh yang mengungsi dari Albania ke Syiria.
Di kota damaskus mulailah Al-Albani kecil menunutut ilmu bahasa arab di madrasah Jum’iyyah Al-Is’aaf Al-Khairi. Disana beliau menyelesaikan pendidikan dasar pertama. Kemudian beliau melanjutkan studi intensif kepada para masyaaikh. Ia menimba ilmu Al-Qur’an, tilawah, tajwid dan sekilas tentang fikih Hanafi kepada ayah beliau dan menamatkan beberapa buku sharaf. Lalu beliau mempelajari buku Maraaqi Al-falaah, beberapa buku hadits dan ilmu balaghah dari Syaikh Sa’id Al-Burhaani.
Awal mula beliau melakukan penelitian ilmiah yaitu ketika beliau menyelidiki masalah tentang larangan mengerjakan shalat di masjid yang dibangun di lingkungan kuburan para nabi dan wali. Namun hasil penelitiannya tidak diakui oleh gurunya yaitu Syaikh Al-Buurhaani sehingga beliau merasa terpukul dan malah semakin larut untuk membahas permasalahan tersebut dengan menyandarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan itulah asal-usul lahirnya kitab beliau yang diberi judul “Tahdziirus Saajid min Ittikhaadzil Qubuuril Massajid”
Al-Albani muda pada suatu hari melihat sebuah majalah Al-Manar di toko buku dan tertarik dengan tajuk tulisan yang ditulis oleh Sayyid Rasyid Ridha tentang buku Al-‘Ihya karangan Al-Ghazzali yang berisi sisi baik dan kesalahan buku tersebut. Ia mengikuti seluruh pembahasan ‘Ihyaa’ Uluumuddin hingga dari buku aslinya dan takhrij Al-Hafizh Al-Iraaqi,
Tanpa terasa dalam usaha beliau mengikuti pembahasan ini beliau harus menelaah buku-buku bahasa Arab, Balaghah dan Gharib Hadits agar dapat memahami nash-nash yang dibaca disamping melakukan takhrij. Saat itulah awalnya beliau berkonsentrasi memperdalam ilmu hadits. Walaupun ayah beliau selalu memperingatkan seraya berkata: “Ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit.”
Syaikh Al-Albani menuturkan bahwa nikmat yang terbesar dari Allah untuk dirinya ada dua: perpindahan keluarganya ke Syiria dan keahlian mereparasi jam yang diajari ayahnya. Nikmat pertama menyebabkan beliau mudah mempelajari bahasa Arab, karena untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah harus menguasai bahasa Arab. Sedangkan nikmat kedua, dengan profesi ini selain dapat menghidupi keluarganya juga memberikan waktu lebih baginya untuk menunutut ilmu. Ia hanya bekerja selama 3 jam setiap hari kecuali hari selasa dan jum’at. Baginya itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Saat mendalami ilmu ini beliau tidak sanggup membeli buku-buku yang dibutuhkan, sehingga beliau sering mengunjungi perpustakaan Azh-Zhahiriyyah sehingga disitu beliau mendapatkan buku-buku yang tidak mampu beliau beli. Ia juga menjalin hubungan dengan pemilik toko buku terbesar di Damaskus sehingga memudahkan beliau untuk meminjam buku-buku yang diperlukan. Saat ada orang yang mau membelinya baru buku tersebut dikembalikan.
Karena begitu semangatnya dalam mendalami ilmu hadits hingga beliau menutup bengkel reparasi jam, kemudian menyendiri di perpustakaan Azh-Zhahiriyyah selama 12 jam, menelaah, menta’liq (mengomentari), mentahqiq (memeriksa) kecuali saat tiba waktu shalat. Dan beliau seringkali hanya menyantap makan ringan selama di perpustakaan. Oleh karena itu, pihak perpustakaan memberi beliau ruang khusus, dengan referensi induk untuk kepentingan ilmiah yang beliau lakukan.
Beliau datang pagi hari sebelum petugas perpustakaan datang. Dan biasanya para pegawai perpustakaan sudah pulang ke rumah tengah hari dan tidak kembali lagi, namun Syaikh Al-Albani tetap berada disana hingga waktu Isya’ tiba. Hal ini beliau jalani selama bertahun-tahun.Dalam menegakkan dakwah kepada manhaj Salafus Shalih Syaikh Al-Albani mengalami beberapa cobaan. Ia sering menghadapi penentangan yang keras dari ulama-ulama madzhab yang fanatik, guru-guru sufi dan kaum khurafat ahli bid’ah yang menjuluki beliau sebagai wahabi sesat.
Namun banyak juga ulama-ulama dan kaum pelajar yang simpati terhadap dakwah beliau sehingga dalam majelisnya selalu dipenuhi oleh para penuntut ilmu yang haus akan ilmu yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena beliau termasuk pengibar panji tauhid. Seperti halnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah beliau juga pernah mengalami pencekalan dalam penjara di karenakan hasad dan fitnah orang-orang yang menentang beliau.
Syaikh Al-Albani rutin mengisi sejumlah jadwal kajian yang dihadiri para penuntut ilmu dan dosen-dosen untuk mebahas kitab-kitab. Berkat taufiq Allah kemudian kerja keras beliau muncullah karya-karya ilmiah dlam masalah hadits, fiqih, aqidah dan lainnya yang menunjukkan limpahan karunia ilmu yang dicurahkan Allah kepada beliau berupa pemahaman yang benar.
Ilmu yang banyak, penelitian yang spektakuler dalam ilmu hadits dan ilmu jarh wa ta’dil. Disamping metodologi ilmiah beliau yang lurus, yang mendudukkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai hakim standar dalam menimbang segala sesuatu, dibimbing dengan pemahamn Salafus Shalih dan metode mereka dalam tafaqqud fid dien (mendalami agama) dan dalam istimbath hukum. Semua itu membuat beliau menjadi tokoh yang memiliki reputasi yang baik dan sebagai rujukan alim ulama.
Oleh karena itu, pihak Al-jami’ah Al-Islamiyyah di Madinah Al-munawwarah memilih beliau sebagai pengajar materi hadits, ilmu dan fiqih hadits di perguruan tinggi tersebut. Beliau bertugas selama 3 tahun dari 1381 H sampai 1383 H. Pada tahun 1395 H sampai 1397 H pengurus Al-Jami’ah mengangkat beliau sebagai salah satu anggota majelis tinggi Al-Jami’ah. Saat berada disana beliau menjadi tokoh panutan dalam kesungguhan dan keikhlasan.
Ketika jam istirahat tiba dimana dosen-dosen lain menimati hidangan teh dan kurma, beliau lebih asyik duduk-duduk di pasir bersama murid-muridnya untuk member pelajaran tambahan. Hubungan beliau dengan murid adalah hubungan persahabatan, bukan hubungan guru-murid. Ia juga pernah diminta menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi untuk menangani jurusan hadits di kuliah S2 di Al-Jami’ah Makkah Al-Mukarramah pada tahun 1388 H, namun karena beberapa hal keinginan tersebut tidak tercapai.
Atas jasanya berkhidmat untuk As-Sunnah An-Nabawiyah, beliau mendapatkan sebuah penghargaan dari kerajaan Arab Saudi berupa Piagam king Faisal pada tanggal 14 Dzulqa’idah 1419 H.Berikut adalah beberpa karya ilmiah Al-Allamah Syaikh Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, yang beliau tulis selama kurang lebih enam puluh tahun meliputi tulisan-tulisan, tahqiq-tahqiq, koreksi-koreksi, takhrij-takhrij:1. Adabuz Zifaaf fis Sunnah Muthaharrah – karangan2. Ahkaamul Janaaiz – karangan3. Irwaaul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil – karangan 8 jilid4. Tamaamul Minnah fi Ta’liq ‘Alaa Fiqh Sunnah – karangan5. Silsilah Ahaadits Ash-Shahihah wa syai-un min fiqiha wa fawaa-iduha6. Silsilah Ahaadits Adh-Dhaifah wal Maudhuu’ah wa Atsaaruha As-Sayyi’ fil Ummah7. Shifat shalat Nabi shallahu’alaihi wasallam minat Takbiir ilat Taslim kaannaka taraaha 8. Shahih At-Targhib wat Tarhiib9. Dha’if At-Targhib wat Tarhiib10. Fitnatut Takfiir11. Jilbaab Al-Mar’atul muslimah12. Qishshshah Al-Masiih Ad-Dajjal wa Nuzuul Isa ‘alaihis sallam wa qatluhu iyyahu fi akhiriz Zaman
Dan masih banyak yang lainnya (Buku-buku diatas telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia). Selain itu beliau juga memiliki kaset hasil rekaman ceramah beliau, bantahan terhadap berbagai syubhat dan jawaban terhadap berbagai masalah yang bermanfaat.
G. Wafat Syaikh Al-Albani
Syaikh Al-Albani rahimahullah wafat pada waktu ashar hari sabtu tanggal 22 Jumadil Akhir, tahun 1420 H di yordania. Penyelenggaraan jenazah beliau dilakukan menurut sunnah dan dihadiri ribuan penuntut ilmu, murid-murid beliau, simpatisan beliau dan para pembela manhaj beliau. Jenazah beliau dimakamkan di perkuburan sederhana di pinggir jalan sesuai yang beliau harapkan.
Beliau juga berwasiat agar isi perpustakaan beliau, baik yang sudah dicetak, difotokopi atau masih tertulis dengan tulisan beliau atau tulisan selain beliau agar diberikan kepada perpustakaan Al-jami’ah A-Islamiyah Al-Madinah Al-Munawwarah. Karena beliau memiliki kenangan manis disana dalam berdakwah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas manhaj Salafus Shalih, saat menjadi tenaga pengajar disana.
H. Perkataan ulama tentang Syaikh Al-Albani rahimahullah:
1. Syaikh Muhammad bin Ibrahim aalisy Syaikh rahimahullah berkata: “Beliau adalah ulama ahli sunnah yang senantiasa membela Al-Haq dan menyerang ahli kebatilan.”
2. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Aku belum pernah melihat di kolong langit pada saat ini orang yang alim dalam ilmu hadits seperti Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani.” Saat ditanya tentang hadits Rasulullah shallahu’alaihi wasallam, “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan dari umat ini setiap awal seratus tahun seorang mujaddid yang akan mengembalikan kemurnian agama ini.” Beliau ditanya siapakah mujaddid abad ini, beliau menjawab, “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, beliaulah mujaddid abad ini dalam pandanganku, wallahu’alam.”
3. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Beliau adalah alim yang memilki ilmu yang sangat luas dalam bidang hadits baik dari sisi riwayat maupun dirayat, seorang ulama yang memilki penelitian yang dalam dan hujjah yang kuat.”
Demikianlah biografi ringkas Al-Imam Al-Mujaddid Al ‘Allamah Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, semoga kita senantiasa ditunjuki oleh Allah Azza wa Jalla ke jalan kebenaran.
I. Kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami
Karakteristik Kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami . Kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkamiadalah risalah yang disusun oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dengan judul al Hadits Hujjatun Binafsihi fil Aqaid wal Ahkam yang merupakan materi ceramah yang beliau sampaikan dalam acara Muktamar Mahasiswa Muslim yang berlangsung di kota Granada-Spanyol, pada bulan Rajab tahun 1392 H yaitu tahun 1972 M.
Di dalam risalah ini penulis telah berbicara tentang sikap seorang muslim yang benar terhadap sunnah, kedudukannya dana hujjahnya (keabsahannya sebagai dalil). Penulis telah membagi risalah ini menjadi empat pasal yaitu sebagai berikut:
Pertama, Penulis mengulas tentang kedudukan as-Sunnah di dalam Islam, kewajiban kaum muslimin untuk menjadikannya sumber dalam berhukum, dan peringatan bagi yang melanggarnya
Kedua, Membahas tentang pemahaman yang batil dari usaha kaum khalaf (ulama yang datang belakangan) dalam mengingkarinya. Juga menjelaskan ketidakautentikannya dalil mereka yang mendahulukan qiyas dan beberapa kaidah ushuliyyah yang mereka pakai dan usaha untuk membuang sunnah karena dengannya.
Ketiga, Pengkhususan dengan menguraikan bantahan terhadap kaidah yang dipopulerkan oleh beberapa dai pada saat ini, yang menukil perkataan beberapa ulama kalam yang terdahulu, yang disebarkan oleh para ulama sekarang ini, yaitu kaidah tentang (tidak sahnya hadits ahad yang dijadikan sumber di dalam masalah akidah). Juga menjelaskan tentang kesalahan orang yang mempunyai gagasan kaidah tersebut, sebab hal demikian itu, mereka menjadikan hadits-hadits terbagi menjadi dua bagian. Hadits tentang akidah dan hadits tentang hukum tanpa didukung oleh dalil yang benar dan jelas, hal itu hanya sangkaan dan khayalan mereka.
Hal yang harus diperhatikan dalam masalah ini, yaitu penulis tidak mengulasnya secara panjang lebar, karena telah diterangkan sebelumnya (oleh penulis secara gamblang) dengan menyebutkan banyak dalil yang mungkin dapat mematahkan kebatilan pemikiran mereka tersebut. Penulis telah mengkhususkan sebuah risalah tersendiri dengan judul Haditsul Ahad wal Aqidah.
Risalah ini merupakan materi ceramah beliau di hadapan para pemuda di Damaskus pada lima belas tahun yang lalu. Ceramah tersebut mendapatkan sambutan yang sangat positif dan berhasil melemahkan perkembangan pemikiran tersebut serta mematahkan segala dalih pendukung-pendukungnya di tengah para cendekiawan muslim di negera itu. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi kami untuk memperbanyak risalah tersebut dalam waktu dekat, Insya Allah.
Keempat, Pasal yang terakhir di dalam risalah ini, beliau menjelaskan suatu masalah yang amat berbahaya, yang akan memudarkan cahaya sunnah di kalangan umat manusia. Hal tersebut akan berakibat terhadap penghapusan sunnah di dalam tingkah laku sehari-hari mereka. Masalah yang dimaksud adalah masalah taqlid yang telah mewabah di setiap pelosok kehidupan kaum muslimin pada setiap zaman. Hal itu telah merasuk ke dalam jiwa dan pemikiran kaum muslimin yang telah mematikan semangat berfikir umat, selain itu juga mengharamkan mereka dari petunjuk Allah dan menghalangi mereka untuk mengambil manfaat yang baik dari petunjuk Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Semua itu semata-mata bersumber dari taklid yang dilakukan kepada para ulama, yang mereka pun tidak pernah ridha akan hal itu. Para ulama itu, tidak pernah mengajarkan kepada murid-muridnya untuk taklid kepada mereka tanpa didasari oleh ilmu. Bahkan, mereka itu senantiasa menasihati para muridnya untuk tidak mendahulukan suatu asas atas al-Kitab maupun Sunnah Rasul-Nya baik itu berupa perkataan, pendapat maupun ijtihad dari ulama manapun.
Mereka telah mengumumkan keterlepasan diri mereka dan kelapangan hati mereka, untuk kembali kepada kebenaran (baik di masa mereka hidup maupun setelah wafat mereka) dari segala perkataan, ijtihad maupun fatwa-fatwa mereka, yang berseberangan dengan al-Qur'an maupun as-Sunnah.
Akhir dari risalahnya, beliau menyeru kepada segenap pemuda muslim untuk senantiasa kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah dalam setiap urusan mereka supaya mereka terus berupaya untuk beramal guna membuktikan kesetiaan mereka. Dengan hal itu berarti mereka telah mengesakan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam di dalam al-ittiba (panutan), sebagaimana mereka telah mengesakan Allah di dalam beribadah.
Dengan demikian mereka telah membuktikan dengan perbuatan mereka, dan bukan sekedar dengan perkataan syahadat yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka. Mereka telah membuktikan syahadat Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah dengan amal dan bukan sekedar slogan Tauhid al-Hakimiyyah. Dengan hal ini pula, mereka telah mewujudkan generasi Qur'ani akan mewujudkan eksisnya sebuah negara Islam. Insya Allah.
Ceramah beliau ini telah mendapatkan sambutan hangat dari segenap penuntut ilmu yang mendengarkannya dengan seksama. Mereka juga mengirimkan permintaan kepada beliau agar memperbanyak naskah ceramahnya agar dapat dirasakan manfaatnya oleh segenap kaum muslimin yang berpegang teguh pada kebenaran.
Pada kesempatan ini pula, kami sampaikan bahwa Syaikh Nashiruddin al-Albani juga telah menyampaikan sebuah ceramah di Qatar tentang pentingnya sunnah dan kedudukannya di dalam memahami al-Qur'an.


BAB III
STATEMEN RASULULLOH DALAM KITAB AL HADITS HUJJATUN BI NAFSIHI FIL AQAIDU WAL AHKAMI DISERTAI DENGAN ANALISIS SANAD DAN MATAN
A. Tentang hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah hukum ( fiqh )
1. Dari Malik bin al-Huairits, dia berkata:
أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَفَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ لِرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِاشْتَهَيْنَا أَهْلَهَا أَوْ قَدِاشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَأَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْلاَ أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّي
Kami telah mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedangkan usia kami masih muda. Kami menetap bersama beliau selama 20 malam, ternyata beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam seorang penyayang lagi pengasih. Tatkala beliau telah melihat kerinduan kami kepada keluarga-kelurga kami, beliau bertanya siapa yang akan menggantikan kami, maka kami memberitahukan beliau. (setelah itu) beliau berkata, “Kembalilah kepada keluarga-keluarga kalian dan menetaplah bersama mereka, ajarilah mereka dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”
2. Hadits ke dua
أَنَّ أَهْلَ الْيَمَنِ لِمَا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا ابْعَثْ مَعَنَا رَجُلاً يُعَلِّمُنَا السَّنَةَ وَلِلإِْسْلاَمَ قَالَ فَأَخَذَ بِيَدِ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّحِ وَقَالَ هَذَا أَمِيْنُ هَذِهِ الأُمَّةِ
Sesungguhnya penduduk Yaman telah datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, “utuslah kepada kami seorang yang akan mengajarkan kepada kami as-Sunnah dan Islam”. Anas bin Malik berkata, “Maka beliau pun menggenggam tangan Abu Ubaidah dan berkata, “Ini adalah kepercayaan umat”


3. Hadits ketiga
بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ إِذْجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْأُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَهَ قُرْآنٌ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبَلُوهَا وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
Tatkala beberapa orang berada di Quba sedang melaksanakan shalat shubuh, tiba-tiba datang kepada mereka seseorang dan berkata, “Sesungguhnya telah turun ayat kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pada malam ini, beliau diperintahkan untuk menghadap Ka’bah, maka hadapkanlah wajah-wajah kalian ke arahnya”. Pada saat itu mereka lantas memutar arah menghadap kiblat sedangkan mereka sebelumnya menghadapkan wajah-wajah mereka ke arah Syam (Baitul Maqdis) (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).













BAB IV
KONTEKSTUALISASI PEMBAHASAN HADITS

A. Problematika Hadits ahad sebagai Hujjah
Pembahasan ini ada kaitannya dengan tanda-tanda hari kiamat. Hal ini karena tanda-tanda itu banyak diterangkan dalam hadits ahad . Dan sebagian ulama dari kalangan ulama theologia . Demikian pula dengan sebagian ulama ushul , yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam akidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Pendapat ini ditolak, karena hadits yang perawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36)
Dan firman-Nya :
“Taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Ali Imran : 32)
Ibnu Hajar berkata : “Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad .”

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَ رَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْحَيْرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (Q.S. al-Ahdzab (33): 36)
Dalam ayat ini, Allah berfirman (menetapkan suatu perkara) dan firman-Nya ini tidak diragukan lagi meliputi suatu yang umum, baik menyangkut masalah akidah maupun yang lainnya.
Demikian halnya, terhadap setiap perintah Allah untuk mentaati Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan larangannya untuk mendurhakai beliau, ancamannya kepada orang-orang yang menyelisihinya dan pujian terhadap orang-orang yang taat dan berkata tatkala mereka diseru untuk berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, “Kami dengar dan kami ta’at”. Seluruh dalil-dalil tersebut menunjukkan perintah yang umum untuk taat dan patuh terhadap segala ajaran beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang menyangkut masalah akidah maupun fikih.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Amalan para shahabat dan tabi’in terhadap hadits ahad telah tersebar, tanpa ada pengingkaran sedikitpun. Hal ini menunjukkan kesepakatan mereka untuk menerima hadits ahad.”
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu berkata: “Apabila umat telah sepakat menerima hadits ahad, beramal dengannya dan membenarkannya, maka akan memberikan manfaat ilmu yakin menurut mayoritas ulama. Dan ini merupakan salah satu jenis mutawatir dan tidak ada perselisihan di kalangan ulama salaf.”
Seorang bertanya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sebuah permasalahan, lalu beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan demikian dan demikian.” Seseorang lalu berkata kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Apakah kamu akan memutuskan dengannya?”
Beliau berkata: “Apakah kamu melihat aku di gereja? Apakah kamu melihat pada pinggangku ada pengikat (yang biasa dipakai oleh pendeta)? Aku katakan kepadamu: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan demikian’, lalu kamu mengatakan: ‘Apakah kamu akan memutuskannya dengannya?’.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga berkata: “Maka kapan saja aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih lalu aku tidak mengambilnya, aku persaksikan kepada kalian bahwa akalku telah hilang.” . Dalam ucapan ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, dan tidak membedakan dalam permasalahan aqidah atau amaliah lahiriah. Karena yang menjadi patokan adalah hadits tersebut shahih atau tidak.
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Segala hal yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang baik maka kita terima. Jika kita tidak menetapkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita menolaknya, niscaya kita telah menolak perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “As-Sunnah, apabila shahih, maka kaum muslimin sepakat untuk wajib mengikutinya.”
Ibnu Abil ‘Izzi berkata : “Hadits ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan hadits ahad termasuk bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini .”
Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah : “Bagaimana menurutmu?” Maka Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’
Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang .” Imam Syafi’i rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, hadits tentang akidah atau amaliyah. Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr : 7)
Dengan demikian Imam Syafi’i rahimahullah tidak mensyaratkan kecuali keshahihan hadits . Ibnu Taimiyah berkata : “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya .”
Dan jika salah satu di antara mereka meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada orang lain tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala maka mereka menerimanya. Dan sifat itu diyakini dengan pasti, sebagaimana meyakini melihat Rabb, firman-Nya, dan panggilan-Nya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat didengar dari tempat yang jauh, serta turun-Nya ke langit dunia setiap malam dan menguasai langit serta Maha Kekal.
Barangsiapa mendengar hadits ini dari orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam atau shahabat, maka dia harus yakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang adil dan benar. Dan hadits itu tidak diterbitkan, sehingga mereka menetapkan sebagaimana hadits hukum … . Mereka tidak menuntut kejelasan dalam meriwayatkan hadits tentang sifat secara pasti, tetapi mereka langsung menerima, membenarkan, dan menetapkan maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Adapun yang menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah .
Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad karena kesamaran bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah akidah. Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm : 28)
Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan .
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat (Wa maa lahum bihi min ‘ilm) maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan mereka, bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat keji. Dan mengenai ayat (wa inna adz dzanna laa yughnii mina al haqqi syai’an) maksudnya tidak dapat menempati (menggantikan) kebenaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Hati-hatilah terhadap persangkaan (yang buruk) karena persangkaan buruk itu sedusta-dusta pembicaraan .”
Adapun kelalaian seorang rawi, maka hadits ahad yang diriwayatkannya harus ditolak, sebab rawi harus terpecaya dan tsabit, maka hadits yang shahih itu tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa rawi terpecaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya.Dalil-dalil yang menetapkan keyakinan salafush shalih (pendahulu yang shalih) dari umat ini adalah:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْ لاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`:59)

B. Beberapa dalil dari As-Sunnah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan keotentikan hadits ahad dalam masalah akidah
Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat beliau yang menunjukkan keautentikan hadits ahad. Beberapa sunnah amaliyah (perbuatan) yang telah dijalani oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya (baik pada masa hidupnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam maupun setelah wafatnya) menunjukkan secara jelas akan keautentikan hadits ahad dalam masalah akidah maupun hukum, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Dalil sunnah tersebut diantaranya adalah:
Berkata imam al-BukhariRahimahullaah di dalam Shahih-nya (8: 132), “Bab dibolehkannya menjadikan hadits ahad yang dapat dipercaya sebagai hujjah di dalam masalah adzan, shalat, shaum, hukum waris dan hukum yang lainnya dan firman Allah Ta’ala “ Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Q.S. at-Taubah (9): 122).
Kata thaifah diperuntukkan pula untuk seorang laki-laki dengan dalil firman Allah Ta’ala Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya (Q.S. al-Hujaraat (49): 9)
dimana jika terdapat dua orang laki-laki berperang, maka keadaan keduanya termasuk dari arti ayat ini. Firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti “. Jika hadits ahad itu bukanlah hujjah, maka bagaimana mungkin Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutus para menterinya satu persatu? Jika salah seorang dari mereka keliru, maka persoalannya dikembalikan kepada as-Sunnah”.
a. Dari Malik bin al-Huairits, dia berkata:
أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَفَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ لِرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِاشْتَهَيْنَا أَهْلَهَا أَوْ قَدِاشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَأَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْلاَ أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّي
Kami telah mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedangkan usia kami masih muda. Kami menetap bersama beliau selama 20 malam, ternyata beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam seorang penyayang lagi pengasih. Tatkala beliau telah melihat kerinduan kami kepada keluarga-kelurga kami, beliau bertanya siapa yang akan menggantikan kami, maka kami memberitahukan beliau. (setelah itu) beliau berkata, “Kembalilah kepada keluarga-keluarga kalian dan menetaplah bersama mereka, ajarilah mereka dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”
Pada hadits ini, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyuruh kepada kedua pemuda itu untuk mengajari keluarganya masing-masing, dan pengajaran tersebut tentunya mencakup pengajaran tentang akidah karena masalah akidah adalah masalah yang utama. Kalau hadits ahad itu bukan hujjah, niscaya perintah beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak bermakna.
b. Dari Anas bin Malik, dia berkata:
أَنَّ أَهْلَ الْيَمَنِ لِمَا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا ابْعَثْ مَعَنَا رَجُلاً يُعَلِّمُنَا السَّنَةَ وَلِلإِسْلاَمَ قَالَ فَأَخَذَ بِيَدِ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّحِ وَقَالَ هَذَا أَمِيْنُ هَذِهِ الأُمَّةِ
Sesungguhnya penduduk Yaman telah datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, “utuslah kepada kami seorang yang akan mengajarkan kepada kami as-Sunnah dan Islam”. Anas bin Malik berkata, “Maka beliau pun menggenggam tangan Abu Ubaidah dan berkata, “Ini adalah kepercayaan umat” (Diriwayatkan oleh Muslim (7;129) dan al-Bukhari secara ringkas).
Saya mengatakan bahwa jika hadits ahad bukan termasuk hujjah, pasti Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengutus Abu Ubaidah seorang diri. Demikian juga yang dikatakan pada utusan-utusan beliau yang lainnya ke beberapa negeri seperti tatkala mengutus Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, Abu Musa al-Asy’ari seperti tercantum di dalam Shahihain dan yang lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa diantara ajaran mereka kepada kaumnya adalah hal-hal yang menyangkut persoalan akidah.
Kalau hadits ahad bukan termasuk ukuran dalam penetapan sebuah dalil, tentu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengutus shahabatnya orang per orang, karena yang demikian itu adalah merupakan suatu yang sia-sia. Hal ini juga telah disinyalir oleh imam asy-Syafi’i di dalam ar-Risalah (hal 412), “Sesungguhnya beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang kepada suatu kaum, dengan membawa kabar. Jika beliau menginginkan mungkin beliau langsung mendatangi kaum itu dan berbicara kepada mereka atau beliau mengutus kepada mereka beberapa orang, namun beliau hanya mengutus seorang yang diketahui kejujurannya”.
c. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu berkata:
بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ إِذْجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْأُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَهَ قُرْآنٌ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبَلُوهَا وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
Tatkala beberapa orang berada di Quba sedang melaksanakan shalat shubuh, tiba-tiba datang kepada mereka seseorang dan berkata, “Sesungguhnya telah turun ayat kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pada malam ini, beliau diperintahkan untuk menghadap Ka’bah, maka hadapkanlah wajah-wajah kalian ke arahnya”. Pada saat itu mereka lantas memutar arah menghadap kiblat sedangkan mereka sebelumnya menghadapkan wajah-wajah mereka ke arah Syam (Baitul Maqdis) (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini merupakan dalil yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa para shahabat menerima hadits ahad sebagai hujjah dalam menghapuskan suatu hukum dan menggantinya dengan hukum yang baru. Andaikan khabar itu tidak termasuk hujjah, maka mereka tidak akan menentang sesuatu yang telah terdapat hukumnya dengan khabar tersebut. Berkata imam Ibnul Qayyim Rahimahullaah, “Perbuatan mereka itu (menerima khabar ahad) tidak dipungkiri oleh beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam bahkan beliau mensyukuri mereka akan hal itu”.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memadai daripada orang yang mendengar.
C. Bahaya Menolak Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah
Tidak ada keraguan lagi bagi orang yang berakal bahwa menolak kebolehan hadits ahad menjadi hujjah dalam masalah akidah termasuk penentangan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini tentu akan berdampak negatif.
1. Menolak segala hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi.
2. Menolak adanya syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang besar (syafa’atul ‘uzhma) pada hari kiamat.
3. Menolak adanya syafaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para pelaku dosa besar.
4. Menolak adanya seluruh mukjizat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Al-Qur`an.
5. Menolak awal mula penciptaan dan sifat para malaikat, jin, sifat surga dan neraka yang tidak tersebutkan di dalam Al-Qur`an.
6. Menolak adanya pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur.
7. Menolak berita disempitkannya kuburan bagi mayit.
8. Menolak adanya Ash-Shirath (jembatan), Al-Haudh (telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan timbangan yang memiliki dua daun timbangan.
9. Menolak beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulis catatan setiap manusia: bahagia, celaka, rizki dan ajalnya, ketika dia masih dalam kandungan ibunya.
10. Menolak berbagai kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah dihimpun oleh Al-Imam As-Suyuthi rahimahullahu dalam kitab beliau Al-Khasha`is Al-Kubra. Seperti masuknya beliau ke dalam surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta apa-apa yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa. Juga masuk Islamnya qarin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan jin.
11. Menolak penetapan adanya 10 orang yang dikabarkan masuk surga.
12. Menolak tidak kekalnya pelaku dosa besar (dari kalangan muslimin yang bertauhid) di dalam neraka.
13. Menolak beriman terhadap berita yang shahih tentang hari kiamat, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur`an.
14. Menolak beriman terhadap sebagian besar tanda-tanda hari kiamat (yang sebenarnya hadits-haditsnya mutawatir, namun dianggap ahad oleh orang-orang yang tak mengerti ilmu hadits), seperti keluarnya Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, keluarnya Dajjal, keluarnya api, terbitnya matahari dari sebelah barat, munculnya binatang, dan selainnya.



Bab V
Kesimpulan dan Saran
Menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah .
Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad karena kesamaran bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah akidah. Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm : 28)
Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan .




Daftar Pustaka
abusalma.wordpress.com/2006/10/05/hadits-ahad-dalam-bukhari/ diakses tanggal 13 Juni 2010
ahmadzain.com/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=58 diakses tanggal 13 Juni 2010
Al-Fayumi, Ahmad bin Muhammad, al-Misbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabīr li ar-Rafi’I,(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,) th 1398 H / 1978 M
Al-Hafidz Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adillatil Ahkam,( Beirut: Darul Fikri). 1998.
Al-Hafizh Syihabuddin bin Alī bin Hajar Al’Asqalani, Tahdzibut Tahdzib, (Hindi: Darul Ma’arif,) 1325 H
Ali Nizar. Memahami Hadis Nabi Metode dan Pendekatan (Yogjakarta: CESad)..th 2001.
blog.re.or.id/bantahan-ilmiyah-atas-kesesatan-aqidah-hizbut-tahrir-bag1-hizbiyyah-aliran.htm diakses tanggal 13 Juni 2010
Bustamin.Metodologi Kritik hadis. (Jakarta: Raja Grafindo). Th, 2004
Fudhaili Ahmad,. Perempuan dilembaran Suci: Kritik atas Hadis-Hadis Sahih. (Yogjakarta: Pilar media.).th 2005
greetings.yahoo.com/ diakses tanggal 13 Juni 2010
Imam Muhammad bin Isma’īl Amir Yaman Ash Shan’ani, Subulus salam Syarh Bulugul Maram Min Jami’ Adillatil Ahkam Jilid 4,(Beirut: Darul Fikri,) th 1995
Ismail Syuhudi.. Metodologi Penelitian Hadis Nabi.( Jakarta: Bulan Bintang) th 1992
Jalalud-Din ‘Abdurrahman bin Abī Bakr as Suyuti, Tadrib ar Rawi fi Syarh Taqrib an Nawawi,(Beirut: Dar Ihya as-Sunnah an-Nabawiyyah) Juz I th 1979 M
konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/perbedaan-pendapat-dalam-masalah-hadits-ahad/ diakses tanggal 13 Juni 2010
M. Ajjaj al-Khatib, Op. Cit,h. 232. Lihat juga: K.H. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits,(Jakarta: Pustaka Firdaus) th 2008
Mudasir. Ilmu hadis. (Bandung :Pustaka Setia.) . Th 2005
Munzier Suparta, Ilmu Hadits,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) th2008
pentasatriya.multiply.com/reviews/item/53 diakses tanggal 13 Juni 2010
qurandansunnah.wordpress.com/2009/10/21/bahaya-menolak-hadits-ahad-sebagai-hujjah-dalam-aqidah/ diakses tanggal 13 Juni 2010
Rahman Fazlur. Dkk. Wacana Studi Hadis Kontemporer.( Yokyakarta: Tiara Wacana) th 2002.
Salahud-Din bin Ahmad al-Adlabī, Manhaj Naqil Matn,(Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H / 1983 M
Soebahar Erfan.Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah; Kritik Musthofa al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmaf Amin Mengeanai Hadits dalam( Jakarta: Fajr al-Islam. Kencana.) Th 2003
www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=325 diakses tanggal 13 Juni 2010
yaummi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=148&Itemid=169 diakses tanggal 13 Juni 2010
A. Pendahuluan.

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia tidak mengadakan pembengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus untuk mengingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal shalih, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al Kahfi : 1-2)
Segala puji bagi Allah yang Telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;

Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,

dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang kondisi Al Qur’an ini :
(QS. Fushilat : 42)
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Pembahasan ini ada kaitannya dengan tanda-tanda hari kiamat. Hal ini karena tanda-tanda itu banyak diterangkan dalam hadits ahad . Dan sebagian ulama dari kalangan ulama theologia . Demikian pula dengan sebagian ulama ushul , yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam akidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath'i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kedudukan yang tinggi kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, seperti yang diberitakan Al Qur’an kepada kita :
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya dia mentaati Allah. (QS. An Nisa’ : 80)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)

Nash-nash yang serupa dengan ayat-ayat ini sangat banyak, tersebar di beberapa tempat di dalam Al Qur’an. Intinya memberi kedudukan yang agung kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sehingga pengarahan-pengarahan beliau memiliki nilai yang tinggi. Sunnah beliau yang suci juga mempunyai kedudukan yang tinggi yang mengharuskan ketaatan kepada beliau dan membenarkan pengabaran-pengabarannya, setaraf dengan Al Qur’an. Dari sinilah Muslimin tahu kedudukan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini yang kemudian menyusupkan rasa cinta, pengagungan, ketaatan, pembenaran, dan kepatuhan ke dalam lubuk hati mereka.
Dari titik tolak inilah mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga dan melindungi sunnah dari penyimpangan. Untuk itu mereka mendokumentasikannya dalam berbagai kitab agar nash-nashnya tetap terjaga, mereka menyusun rijalnya dan menjelaskan keadaan mereka secara mendetail, entah dari sisi ‘adalah (kelurusan) maupun jarh (kecacatan).
Sistem dokumentasi seperti ini tidak pernah didapati di bangsa manapun di dunia ini. Mereka juga mengarang berjilid-jilid kitab dalam berbagai disiplin limu dan medan yang luas yang tidak pernah ada bandingannya, bahkan mirip pun tidak sama sekali. Dengan adanya ikatan rasa orang-orang Muslim terhadap sunnah, khususnya muhadditsin (ahli hadits), dan yang tampil di barisan terdepan adalah para shahabat, merekapun bangkit menyusuri perjalanan panjang ke berbagai penjuru dunia Islam.
Tidak ada penelusuran untuk kepentingan ilmu yang lebih hebat seperti yang mereka lakukan. Bahkan adakalanya di antara mereka melakukan perjalanan sebulan atau lebih hanya untuk menelusuri satu hadits saja, agar dia benar-benar merasa puas tentang keshahihan hadits tersebut. Bukankah semua ini menunjukkan kedudukan yang spesifik bagi sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam?
Meskipun begitu, sunnah yang suci ini tidak pernah sepi dari musuh, dari dalam maupun dari luar, di tempat manapun dan kapanpun. Saat sekarang ini contohnya, serangan para orientalis terhadap Sunnah Nabawi sangat gencar. Dan serangan mereka ini masih ditopang lagi oleh sekumpulan orang yang mengenakan jubah Islam, namun sebenarnya mereka memendam hati serigala yang siap mencaplok Islam dan Sunnah yang suci. Benar-benar sangat kita sayangkan.
Alasan mereka yang menentang digunakannya hadits ahad (yang shohih/hasan) sebagai hujjah adalah dikarenakan masih mengandung dugaan (zhon) dan tidak bisa diyakini dengan pasti. Demikianlah menurut mereka. Sehingga, mereka pun menolak sekian banyak keyakinan-keyakinan yang telah sama-sama diketahui bahkan oleh Muslimin yang awwam sekalipun.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum berhujjah dengan mengunakan hadits Ahad berdasarkan kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani ?
2. Bagaimana relevansi dalil dali hadits dalam kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani bila di tinjau dari studi kritik sanad dan matan hadits?
C. Telaah Pustaka
Telaah pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah yang berguna untuk memberikan kejelasan dan batasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, terutama yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
Berkenaan dengan masalah yang sedang dikaji, sepengetahuan penulis belum ada kitab yang secara khusus membahas Kedudukan Hadits Ahad Sebagai Hujjah. Namun banyak penulis temukan dalam buku-buku hadits seputar pendapat ulama yang membahas Kedudukan Hadits Ahad Sebagai Hujjah,
Ibnul Qayyim dalam karyanya yang berjudul Ash Shawwa’iq Al Mursalah ala Al Jahmiyah wa Al Mu’aththilah dan juga karya Umar Sulaiman Al Asyqar yang berjudul Al Aqidah fii Allah, , cetakan II, 1969. Dalam kitab Tadrib Al Rawi, Qawaid At Tahdits karya Qasimi. Juga menjelaskan panjang lebar perihal hadits ahad.
Banyak penulis temukan artikel-artikel yang tersebar luas dalam dunia maya yang membahas Kedudukan Hadits Ahad Sebagai Hujjah. Namun tidak penulis temukan tulisan yang membahas Kedudukan Hadits Ahad Sebagai Hujjah yang disertai dengan penelitian kehujjahan dalil-dalil yang mereka gunakan berdasarkan metodologi keilmuan kritik matan hadits, sehingga nampak jelaslah nantinya kehujjahan pendapat-pendapat mereka.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam karyanya yang berjudul Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami telah menjelaskan Hadits ahad sebagai hujjah di dalam masalah akidah maupun hukum (fikih)
Kitab inilah yang menjadi objek penelitian oleh penulis dengan meneliti kwalitas hadits-hadits yang di gunakan sebagai dalil untuk memperkuat argument-argumen yang terdapat di dalamnya dengan metode kritik matan Hadits.
D. Kerangka Teori
Kewajiban taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang telah dipahami oleh segenap kaum muslimin. Hal ini bisa diketahui melalui bermacam bentuk ibadah yang mereka lakukan, baik yang ada tuntunannya ataupun tidak, dengan alasan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga dari berbagai bentuk shalawat yang mereka kumandangkan baik yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang tidak dituntunkan oleh beliau. Mereka pun mengatakan beriman, dan cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berbiscara tentang hadits, pasti akan sampai pada permasalahan bahwa tidak semua hadits yang kita jumpai dapat dipastikan kesahihanya. Sebelumnya telah kita ketahui bahwa hadits yang sampai pada tangan kita saat ini memeiliki beberapa kategori mulai dari kategori kelompok hadits yang paling lemah seperti contoh hadits dloif yaitu hadits yang benar-benar tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
sehingga banyak sekali perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam menghadapi berbagai bentuk hadits yang berbeda baik dalam segi periwayatan sanad atau matan. Pembahasan ini terkait pula dengan munculnya kelompok dari kaum muslimin yang menentang kebolehan berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam permasalahan aqidah,
Seperti yang dilakukan oleh ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah dan yang sefahamdengan mereka dari kalangan orang-orang sekarang ini seperti Muhammad ‘Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Salabi, Abdul Karim ‘Utsman, dan lainnya. Juga dari kalangan ulama ahli ushul, seperti yang disebutkan oleh pengarang kitab Syarh Al-Kaukab Al-Munir fi Ushul Al-Fiqh, yaitu Muhammad bin Ahmad bin Abdul ‘Aziz Al-Hambali.
Mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah aqidah. Yang menjadi hujjah adalah dalil-dali yang qath’i baik, dari ayat ataupun dari hadits. Tentu pendapat ini tertolak. Karena sebuah hadits, apabila shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui jalan orang-orang terpercaya yang menyampaikannya kepada kita, maka kita wajib mengimani dan membenarkannya, baik hadits tersebut mutawatir atau ahad, yang menghasilkan ilmu yakin. Ini merupakan madzhab ulama salafush shalih.
E. Metode Penelitian
Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan secara optimal. Berikut penulis paparkan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan, sehingga dapat diperoleh data-data yang jelas.
Sifat Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu data yang telah terkumpul diolah kemudian diuraikan secara obyektif untuk dianalisis secara konseptual dengan menggunakan metode kritik matan dan sanad al-hadis yakni penelitian terhadap kesahihan sanad dan matan hadis dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.
Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengkaji dan menelaah berbagai hadits,yang terdapat dalam kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami Bab Hadits ahad sebagai hujjah di dalam masalah akidah maupun hukum (fikih) karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, berdasarkan literature-literatur yang berhubungan dengan penelitian antara lain kitab-kitab ilmu hadis, buku, artikel dan sumber lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini, baik yang bersifat primer maupun sekunder.
Data hadits-hadits yang diperoleh dari penelitian ini adalah data yang masih mentah. Oleh karena itu, perlu diadakan analisis terhadap data-data tersebut. Dalam menganalisis data ini, langkah-langkah yang diambil penulis adalah sebagai berikut.
Dengan mengunakan metode Kritik hadits. Menurut Muhammad Mustafa Azami "Kemungkinan definisi kritik hadis adalah membedakan (al-Tamyis) antara hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da'if dan menetukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya " yang didalamnya meliputi. Kritik sanad dan matan hadits.
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini dimulai dengan Bab I yaitu Pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.
Sedangkan pada Bab II akan dibahas mengenai biografi Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Pembahasan ini mengulas, Biografi dari Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mulai di mana ia lahir, masa muda beliau, aktifitas saat muda beliau, pendidikan, bagai mana pandangan beliau terhadap hadits nabi dan lain sebagainya sampai akhir usia beliau, yang mana digunakan sebagai pegangan sebelum memasuki pembahasan berikutnya di Bab III.
Pembahasan pada Bab III berupa interpretasi hadis sehingga kandungan hadis dapat dipahami secara tepat. Pembahasan ini meliputi tinjauan redaksional hadis-hadis tentang Hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah hukum. Dilanjutkan pada analisis keotentikan hadis dari segi sanad dan matan, analisis matan hadis meliputi kajian konfirmatif, kajian tematik-komprehensif, kajian linguistik dan kajian realitas-historis.
Bab IV mengemukakan kontekstualisasi hadis terhadap realitas kekinian, yaitu berupa analisis perubahan makna hadis yang diperoleh dari generalisasi makna hadis ke dalam realitas kehidupan saat ini, sehingga memiliki makna praktis bagi problematika politik dan kemasyarakatan.
Pembahasan dalam penelitian ini diakhiri dengan Bab V yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dihasilkan merupakan jawaban atas rumusan masalah yang dikemukakan penulis pada Bab I.
BAB II
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

A. Biografi Syaikh
1. Riwayat Hidup
Nama beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani. lahir di Shkoder , Albania; 1914 / 1333 H – meninggal di Yordania; 1 Oktober 1999 / 21 Jumadil Akhir 1420 H; umur 84–85 tahun) Beliau adalah salah seorang ulama Islam di era modern yang dikenal sebagai ahli hadits. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya lantaran ketekunan dan keseriusan mereka terhadap ilmu, khususnya ilmu agama dan ahli ilmu (ulama).[1] Ayah al-Albani, yaitu al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Turki Usmani (yang kini menjadi Istanbul). Ia wafat malam Sabtu, 21 Jumada Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999.
B. Pendidikan
Ketika Raja Ahmet Zogu naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang). Ia sekeluarga pun menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari Bahasa Arab. Ia masuk madrasah yang dikelola Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah hingga kelas terakhir tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para syeikh ulama. Ia mempelajari al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, selain mempelajari pula sebagian fiqih madzhab, yakni madzhab Hanafi, dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga mempelajari ketrampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga ia menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencariannya.
Pada umur dua puluh tahun, al-Albani mulai mengonsentrasikan diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali. Kegiatan Syeikh Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya yang berkomentar, "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit."
Namun, Syeikh al-Albani justru semakin menekuni dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, ia memanfaatkan Perpustakaan azh-Zhahiriyah di sana (Damaskus), di samping juga meminjam buku dari beberapa perpustakaan khusus. Karena sibuknya, ia sampai-sampai menutup kios reparasi jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba.
Akhirnya, kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Begitu pula, ketika orang lain pulang pada waktu sholat dhuhur, ia justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.

C. Pengalaman di Penjara
Syeikh al-Albani pernah dipenjara dua kali. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya ia mendakwahkan sunnah , memurnikan ajaran agama Islam, dan memerangi bid'ah, sehingga orang-orang yang tidak menyukainya dan bahkan menebarkan fitnah.
D. Beberapa Tugas yang Pernah diemban
Syeikh al-Albani pernah mengajar di Jami'ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H, mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu, ia pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta Syeikh al-Albani menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah perguruan tinggi di kerajaan Yordania.
Tetapi, situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkannya memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H, ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Ia mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Arab Saudi berupa King Faisal Foundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H (1999 M).

E. Karya-karyanya
Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul. Beberapa Contoh Karya Beliau yang terkenal adalah :
1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
2. Al-Ajwibah an-Nafi`ah `ala as`ilah masjid al-Jami`ah
3. Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha`ifah wal maudhu`ah
5. At-Tawasul wa anwa`uhu
6. Ahkam Al-Jana`iz wabida`uha
Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.
Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami`ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj salafush Shalih (sahabat nabi radhiyallahu anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.
F. Rihlah beliau dalam Menuntut Ilmu
Saat berkuasa raja Albania yaitu Ahmad zugu, yang mengadakan perombakan total sendi-sendi kehidupan masyarakat dengan mengikuti langkah thagut Turki, yakni Kamal Ataturk, dimana mengharuskan wanita-wanita muslimah menanggalkan Jilbabnya. Maka makin marak gelombang pengungsian orang-orang yang ingin menyelamatkan agamanya, termasuk Keluarga Haji Nuh yang mengungsi dari Albania ke Syiria.
Di kota damaskus mulailah Al-Albani kecil menunutut ilmu bahasa arab di madrasah Jum’iyyah Al-Is’aaf Al-Khairi. Disana beliau menyelesaikan pendidikan dasar pertama. Kemudian beliau melanjutkan studi intensif kepada para masyaaikh. Ia menimba ilmu Al-Qur’an, tilawah, tajwid dan sekilas tentang fikih Hanafi kepada ayah beliau dan menamatkan beberapa buku sharaf. Lalu beliau mempelajari buku Maraaqi Al-falaah, beberapa buku hadits dan ilmu balaghah dari Syaikh Sa’id Al-Burhaani.
Awal mula beliau melakukan penelitian ilmiah yaitu ketika beliau menyelidiki masalah tentang larangan mengerjakan shalat di masjid yang dibangun di lingkungan kuburan para nabi dan wali. Namun hasil penelitiannya tidak diakui oleh gurunya yaitu Syaikh Al-Buurhaani sehingga beliau merasa terpukul dan malah semakin larut untuk membahas permasalahan tersebut dengan menyandarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan itulah asal-usul lahirnya kitab beliau yang diberi judul “Tahdziirus Saajid min Ittikhaadzil Qubuuril Massajid”
Al-Albani muda pada suatu hari melihat sebuah majalah Al-Manar di toko buku dan tertarik dengan tajuk tulisan yang ditulis oleh Sayyid Rasyid Ridha tentang buku Al-‘Ihya karangan Al-Ghazzali yang berisi sisi baik dan kesalahan buku tersebut. Ia mengikuti seluruh pembahasan ‘Ihyaa’ Uluumuddin hingga dari buku aslinya dan takhrij Al-Hafizh Al-Iraaqi,
Tanpa terasa dalam usaha beliau mengikuti pembahasan ini beliau harus menelaah buku-buku bahasa Arab, Balaghah dan Gharib Hadits agar dapat memahami nash-nash yang dibaca disamping melakukan takhrij. Saat itulah awalnya beliau berkonsentrasi memperdalam ilmu hadits. Walaupun ayah beliau selalu memperingatkan seraya berkata: “Ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit.”
Syaikh Al-Albani menuturkan bahwa nikmat yang terbesar dari Allah untuk dirinya ada dua: perpindahan keluarganya ke Syiria dan keahlian mereparasi jam yang diajari ayahnya. Nikmat pertama menyebabkan beliau mudah mempelajari bahasa Arab, karena untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah harus menguasai bahasa Arab. Sedangkan nikmat kedua, dengan profesi ini selain dapat menghidupi keluarganya juga memberikan waktu lebih baginya untuk menunutut ilmu. Ia hanya bekerja selama 3 jam setiap hari kecuali hari selasa dan jum’at. Baginya itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Saat mendalami ilmu ini beliau tidak sanggup membeli buku-buku yang dibutuhkan, sehingga beliau sering mengunjungi perpustakaan Azh-Zhahiriyyah sehingga disitu beliau mendapatkan buku-buku yang tidak mampu beliau beli. Ia juga menjalin hubungan dengan pemilik toko buku terbesar di Damaskus sehingga memudahkan beliau untuk meminjam buku-buku yang diperlukan. Saat ada orang yang mau membelinya baru buku tersebut dikembalikan.
Karena begitu semangatnya dalam mendalami ilmu hadits hingga beliau menutup bengkel reparasi jam, kemudian menyendiri di perpustakaan Azh-Zhahiriyyah selama 12 jam, menelaah, menta’liq (mengomentari), mentahqiq (memeriksa) kecuali saat tiba waktu shalat. Dan beliau seringkali hanya menyantap makan ringan selama di perpustakaan. Oleh karena itu, pihak perpustakaan memberi beliau ruang khusus, dengan referensi induk untuk kepentingan ilmiah yang beliau lakukan.
Beliau datang pagi hari sebelum petugas perpustakaan datang. Dan biasanya para pegawai perpustakaan sudah pulang ke rumah tengah hari dan tidak kembali lagi, namun Syaikh Al-Albani tetap berada disana hingga waktu Isya’ tiba. Hal ini beliau jalani selama bertahun-tahun.Dalam menegakkan dakwah kepada manhaj Salafus Shalih Syaikh Al-Albani mengalami beberapa cobaan. Ia sering menghadapi penentangan yang keras dari ulama-ulama madzhab yang fanatik, guru-guru sufi dan kaum khurafat ahli bid’ah yang menjuluki beliau sebagai wahabi sesat.
Namun banyak juga ulama-ulama dan kaum pelajar yang simpati terhadap dakwah beliau sehingga dalam majelisnya selalu dipenuhi oleh para penuntut ilmu yang haus akan ilmu yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena beliau termasuk pengibar panji tauhid. Seperti halnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah beliau juga pernah mengalami pencekalan dalam penjara di karenakan hasad dan fitnah orang-orang yang menentang beliau.
Syaikh Al-Albani rutin mengisi sejumlah jadwal kajian yang dihadiri para penuntut ilmu dan dosen-dosen untuk mebahas kitab-kitab. Berkat taufiq Allah kemudian kerja keras beliau muncullah karya-karya ilmiah dlam masalah hadits, fiqih, aqidah dan lainnya yang menunjukkan limpahan karunia ilmu yang dicurahkan Allah kepada beliau berupa pemahaman yang benar.
Ilmu yang banyak, penelitian yang spektakuler dalam ilmu hadits dan ilmu jarh wa ta’dil. Disamping metodologi ilmiah beliau yang lurus, yang mendudukkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai hakim standar dalam menimbang segala sesuatu, dibimbing dengan pemahamn Salafus Shalih dan metode mereka dalam tafaqqud fid dien (mendalami agama) dan dalam istimbath hukum. Semua itu membuat beliau menjadi tokoh yang memiliki reputasi yang baik dan sebagai rujukan alim ulama.
Oleh karena itu, pihak Al-jami’ah Al-Islamiyyah di Madinah Al-munawwarah memilih beliau sebagai pengajar materi hadits, ilmu dan fiqih hadits di perguruan tinggi tersebut. Beliau bertugas selama 3 tahun dari 1381 H sampai 1383 H. Pada tahun 1395 H sampai 1397 H pengurus Al-Jami’ah mengangkat beliau sebagai salah satu anggota majelis tinggi Al-Jami’ah. Saat berada disana beliau menjadi tokoh panutan dalam kesungguhan dan keikhlasan.
Ketika jam istirahat tiba dimana dosen-dosen lain menimati hidangan teh dan kurma, beliau lebih asyik duduk-duduk di pasir bersama murid-muridnya untuk member pelajaran tambahan. Hubungan beliau dengan murid adalah hubungan persahabatan, bukan hubungan guru-murid. Ia juga pernah diminta menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi untuk menangani jurusan hadits di kuliah S2 di Al-Jami’ah Makkah Al-Mukarramah pada tahun 1388 H, namun karena beberapa hal keinginan tersebut tidak tercapai.
Atas jasanya berkhidmat untuk As-Sunnah An-Nabawiyah, beliau mendapatkan sebuah penghargaan dari kerajaan Arab Saudi berupa Piagam king Faisal pada tanggal 14 Dzulqa’idah 1419 H.Berikut adalah beberpa karya ilmiah Al-Allamah Syaikh Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, yang beliau tulis selama kurang lebih enam puluh tahun meliputi tulisan-tulisan, tahqiq-tahqiq, koreksi-koreksi, takhrij-takhrij:1. Adabuz Zifaaf fis Sunnah Muthaharrah – karangan2. Ahkaamul Janaaiz – karangan3. Irwaaul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil – karangan 8 jilid4. Tamaamul Minnah fi Ta’liq ‘Alaa Fiqh Sunnah – karangan5. Silsilah Ahaadits Ash-Shahihah wa syai-un min fiqiha wa fawaa-iduha6. Silsilah Ahaadits Adh-Dhaifah wal Maudhuu’ah wa Atsaaruha As-Sayyi’ fil Ummah7. Shifat shalat Nabi shallahu’alaihi wasallam minat Takbiir ilat Taslim kaannaka taraaha 8. Shahih At-Targhib wat Tarhiib9. Dha’if At-Targhib wat Tarhiib10. Fitnatut Takfiir11. Jilbaab Al-Mar’atul muslimah12. Qishshshah Al-Masiih Ad-Dajjal wa Nuzuul Isa ‘alaihis sallam wa qatluhu iyyahu fi akhiriz Zaman
Dan masih banyak yang lainnya (Buku-buku diatas telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia). Selain itu beliau juga memiliki kaset hasil rekaman ceramah beliau, bantahan terhadap berbagai syubhat dan jawaban terhadap berbagai masalah yang bermanfaat.
G. Wafat Syaikh Al-Albani
Syaikh Al-Albani rahimahullah wafat pada waktu ashar hari sabtu tanggal 22 Jumadil Akhir, tahun 1420 H di yordania. Penyelenggaraan jenazah beliau dilakukan menurut sunnah dan dihadiri ribuan penuntut ilmu, murid-murid beliau, simpatisan beliau dan para pembela manhaj beliau. Jenazah beliau dimakamkan di perkuburan sederhana di pinggir jalan sesuai yang beliau harapkan.
Beliau juga berwasiat agar isi perpustakaan beliau, baik yang sudah dicetak, difotokopi atau masih tertulis dengan tulisan beliau atau tulisan selain beliau agar diberikan kepada perpustakaan Al-jami’ah A-Islamiyah Al-Madinah Al-Munawwarah. Karena beliau memiliki kenangan manis disana dalam berdakwah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas manhaj Salafus Shalih, saat menjadi tenaga pengajar disana.
H. Perkataan ulama tentang Syaikh Al-Albani rahimahullah:
1. Syaikh Muhammad bin Ibrahim aalisy Syaikh rahimahullah berkata: “Beliau adalah ulama ahli sunnah yang senantiasa membela Al-Haq dan menyerang ahli kebatilan.”
2. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Aku belum pernah melihat di kolong langit pada saat ini orang yang alim dalam ilmu hadits seperti Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani.” Saat ditanya tentang hadits Rasulullah shallahu’alaihi wasallam, “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan dari umat ini setiap awal seratus tahun seorang mujaddid yang akan mengembalikan kemurnian agama ini.” Beliau ditanya siapakah mujaddid abad ini, beliau menjawab, “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, beliaulah mujaddid abad ini dalam pandanganku, wallahu’alam.”
3. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Beliau adalah alim yang memilki ilmu yang sangat luas dalam bidang hadits baik dari sisi riwayat maupun dirayat, seorang ulama yang memilki penelitian yang dalam dan hujjah yang kuat.”
Demikianlah biografi ringkas Al-Imam Al-Mujaddid Al ‘Allamah Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, semoga kita senantiasa ditunjuki oleh Allah Azza wa Jalla ke jalan kebenaran.
I. Kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami
Karakteristik Kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkami . Kitab Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil 'Aqaidu wal Ahkamiadalah risalah yang disusun oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dengan judul al Hadits Hujjatun Binafsihi fil Aqaid wal Ahkam yang merupakan materi ceramah yang beliau sampaikan dalam acara Muktamar Mahasiswa Muslim yang berlangsung di kota Granada-Spanyol, pada bulan Rajab tahun 1392 H yaitu tahun 1972 M.
Di dalam risalah ini penulis telah berbicara tentang sikap seorang muslim yang benar terhadap sunnah, kedudukannya dana hujjahnya (keabsahannya sebagai dalil). Penulis telah membagi risalah ini menjadi empat pasal yaitu sebagai berikut:
Pertama, Penulis mengulas tentang kedudukan as-Sunnah di dalam Islam, kewajiban kaum muslimin untuk menjadikannya sumber dalam berhukum, dan peringatan bagi yang melanggarnya
Kedua, Membahas tentang pemahaman yang batil dari usaha kaum khalaf (ulama yang datang belakangan) dalam mengingkarinya. Juga menjelaskan ketidakautentikannya dalil mereka yang mendahulukan qiyas dan beberapa kaidah ushuliyyah yang mereka pakai dan usaha untuk membuang sunnah karena dengannya.
Ketiga, Pengkhususan dengan menguraikan bantahan terhadap kaidah yang dipopulerkan oleh beberapa dai pada saat ini, yang menukil perkataan beberapa ulama kalam yang terdahulu, yang disebarkan oleh para ulama sekarang ini, yaitu kaidah tentang (tidak sahnya hadits ahad yang dijadikan sumber di dalam masalah akidah). Juga menjelaskan tentang kesalahan orang yang mempunyai gagasan kaidah tersebut, sebab hal demikian itu, mereka menjadikan hadits-hadits terbagi menjadi dua bagian. Hadits tentang akidah dan hadits tentang hukum tanpa didukung oleh dalil yang benar dan jelas, hal itu hanya sangkaan dan khayalan mereka.
Hal yang harus diperhatikan dalam masalah ini, yaitu penulis tidak mengulasnya secara panjang lebar, karena telah diterangkan sebelumnya (oleh penulis secara gamblang) dengan menyebutkan banyak dalil yang mungkin dapat mematahkan kebatilan pemikiran mereka tersebut. Penulis telah mengkhususkan sebuah risalah tersendiri dengan judul Haditsul Ahad wal Aqidah.
Risalah ini merupakan materi ceramah beliau di hadapan para pemuda di Damaskus pada lima belas tahun yang lalu. Ceramah tersebut mendapatkan sambutan yang sangat positif dan berhasil melemahkan perkembangan pemikiran tersebut serta mematahkan segala dalih pendukung-pendukungnya di tengah para cendekiawan muslim di negera itu. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi kami untuk memperbanyak risalah tersebut dalam waktu dekat, Insya Allah.
Keempat, Pasal yang terakhir di dalam risalah ini, beliau menjelaskan suatu masalah yang amat berbahaya, yang akan memudarkan cahaya sunnah di kalangan umat manusia. Hal tersebut akan berakibat terhadap penghapusan sunnah di dalam tingkah laku sehari-hari mereka. Masalah yang dimaksud adalah masalah taqlid yang telah mewabah di setiap pelosok kehidupan kaum muslimin pada setiap zaman. Hal itu telah merasuk ke dalam jiwa dan pemikiran kaum muslimin yang telah mematikan semangat berfikir umat, selain itu juga mengharamkan mereka dari petunjuk Allah dan menghalangi mereka untuk mengambil manfaat yang baik dari petunjuk Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Semua itu semata-mata bersumber dari taklid yang dilakukan kepada para ulama, yang mereka pun tidak pernah ridha akan hal itu. Para ulama itu, tidak pernah mengajarkan kepada murid-muridnya untuk taklid kepada mereka tanpa didasari oleh ilmu. Bahkan, mereka itu senantiasa menasihati para muridnya untuk tidak mendahulukan suatu asas atas al-Kitab maupun Sunnah Rasul-Nya baik itu berupa perkataan, pendapat maupun ijtihad dari ulama manapun.
Mereka telah mengumumkan keterlepasan diri mereka dan kelapangan hati mereka, untuk kembali kepada kebenaran (baik di masa mereka hidup maupun setelah wafat mereka) dari segala perkataan, ijtihad maupun fatwa-fatwa mereka, yang berseberangan dengan al-Qur'an maupun as-Sunnah.
Akhir dari risalahnya, beliau menyeru kepada segenap pemuda muslim untuk senantiasa kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah dalam setiap urusan mereka supaya mereka terus berupaya untuk beramal guna membuktikan kesetiaan mereka. Dengan hal itu berarti mereka telah mengesakan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam di dalam al-ittiba (panutan), sebagaimana mereka telah mengesakan Allah di dalam beribadah.
Dengan demikian mereka telah membuktikan dengan perbuatan mereka, dan bukan sekedar dengan perkataan syahadat yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka. Mereka telah membuktikan syahadat Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah dengan amal dan bukan sekedar slogan Tauhid al-Hakimiyyah. Dengan hal ini pula, mereka telah mewujudkan generasi Qur'ani akan mewujudkan eksisnya sebuah negara Islam. Insya Allah.
Ceramah beliau ini telah mendapatkan sambutan hangat dari segenap penuntut ilmu yang mendengarkannya dengan seksama. Mereka juga mengirimkan permintaan kepada beliau agar memperbanyak naskah ceramahnya agar dapat dirasakan manfaatnya oleh segenap kaum muslimin yang berpegang teguh pada kebenaran.
Pada kesempatan ini pula, kami sampaikan bahwa Syaikh Nashiruddin al-Albani juga telah menyampaikan sebuah ceramah di Qatar tentang pentingnya sunnah dan kedudukannya di dalam memahami al-Qur'an.


BAB III
STATEMEN RASULULLOH DALAM KITAB AL HADITS HUJJATUN BI NAFSIHI FIL AQAIDU WAL AHKAMI DISERTAI DENGAN ANALISIS SANAD DAN MATAN
A. Tentang hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah hukum ( fiqh )
1. Dari Malik bin al-Huairits, dia berkata:
أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَفَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ لِرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِاشْتَهَيْنَا أَهْلَهَا أَوْ قَدِاشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَأَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْلاَ أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّي
Kami telah mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedangkan usia kami masih muda. Kami menetap bersama beliau selama 20 malam, ternyata beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam seorang penyayang lagi pengasih. Tatkala beliau telah melihat kerinduan kami kepada keluarga-kelurga kami, beliau bertanya siapa yang akan menggantikan kami, maka kami memberitahukan beliau. (setelah itu) beliau berkata, “Kembalilah kepada keluarga-keluarga kalian dan menetaplah bersama mereka, ajarilah mereka dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”
2. Hadits ke dua
أَنَّ أَهْلَ الْيَمَنِ لِمَا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا ابْعَثْ مَعَنَا رَجُلاً يُعَلِّمُنَا السَّنَةَ وَلِلإِْسْلاَمَ قَالَ فَأَخَذَ بِيَدِ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّحِ وَقَالَ هَذَا أَمِيْنُ هَذِهِ الأُمَّةِ
Sesungguhnya penduduk Yaman telah datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, “utuslah kepada kami seorang yang akan mengajarkan kepada kami as-Sunnah dan Islam”. Anas bin Malik berkata, “Maka beliau pun menggenggam tangan Abu Ubaidah dan berkata, “Ini adalah kepercayaan umat”


3. Hadits ketiga
بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ إِذْجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْأُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَهَ قُرْآنٌ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبَلُوهَا وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
Tatkala beberapa orang berada di Quba sedang melaksanakan shalat shubuh, tiba-tiba datang kepada mereka seseorang dan berkata, “Sesungguhnya telah turun ayat kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pada malam ini, beliau diperintahkan untuk menghadap Ka’bah, maka hadapkanlah wajah-wajah kalian ke arahnya”. Pada saat itu mereka lantas memutar arah menghadap kiblat sedangkan mereka sebelumnya menghadapkan wajah-wajah mereka ke arah Syam (Baitul Maqdis) (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).













BAB IV
KONTEKSTUALISASI PEMBAHASAN HADITS

A. Problematika Hadits ahad sebagai Hujjah
Pembahasan ini ada kaitannya dengan tanda-tanda hari kiamat. Hal ini karena tanda-tanda itu banyak diterangkan dalam hadits ahad . Dan sebagian ulama dari kalangan ulama theologia . Demikian pula dengan sebagian ulama ushul , yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam akidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Pendapat ini ditolak, karena hadits yang perawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36)
Dan firman-Nya :
“Taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Ali Imran : 32)
Ibnu Hajar berkata : “Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad .”

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَ رَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْحَيْرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (Q.S. al-Ahdzab (33): 36)
Dalam ayat ini, Allah berfirman (menetapkan suatu perkara) dan firman-Nya ini tidak diragukan lagi meliputi suatu yang umum, baik menyangkut masalah akidah maupun yang lainnya.
Demikian halnya, terhadap setiap perintah Allah untuk mentaati Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan larangannya untuk mendurhakai beliau, ancamannya kepada orang-orang yang menyelisihinya dan pujian terhadap orang-orang yang taat dan berkata tatkala mereka diseru untuk berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, “Kami dengar dan kami ta’at”. Seluruh dalil-dalil tersebut menunjukkan perintah yang umum untuk taat dan patuh terhadap segala ajaran beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang menyangkut masalah akidah maupun fikih.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Amalan para shahabat dan tabi’in terhadap hadits ahad telah tersebar, tanpa ada pengingkaran sedikitpun. Hal ini menunjukkan kesepakatan mereka untuk menerima hadits ahad.”
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu berkata: “Apabila umat telah sepakat menerima hadits ahad, beramal dengannya dan membenarkannya, maka akan memberikan manfaat ilmu yakin menurut mayoritas ulama. Dan ini merupakan salah satu jenis mutawatir dan tidak ada perselisihan di kalangan ulama salaf.”
Seorang bertanya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sebuah permasalahan, lalu beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan demikian dan demikian.” Seseorang lalu berkata kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Apakah kamu akan memutuskan dengannya?”
Beliau berkata: “Apakah kamu melihat aku di gereja? Apakah kamu melihat pada pinggangku ada pengikat (yang biasa dipakai oleh pendeta)? Aku katakan kepadamu: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan demikian’, lalu kamu mengatakan: ‘Apakah kamu akan memutuskannya dengannya?’.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga berkata: “Maka kapan saja aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih lalu aku tidak mengambilnya, aku persaksikan kepada kalian bahwa akalku telah hilang.” . Dalam ucapan ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, dan tidak membedakan dalam permasalahan aqidah atau amaliah lahiriah. Karena yang menjadi patokan adalah hadits tersebut shahih atau tidak.
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Segala hal yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang baik maka kita terima. Jika kita tidak menetapkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita menolaknya, niscaya kita telah menolak perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “As-Sunnah, apabila shahih, maka kaum muslimin sepakat untuk wajib mengikutinya.”
Ibnu Abil ‘Izzi berkata : “Hadits ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan hadits ahad termasuk bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini .”
Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah : “Bagaimana menurutmu?” Maka Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’
Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang .” Imam Syafi’i rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, hadits tentang akidah atau amaliyah. Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr : 7)
Dengan demikian Imam Syafi’i rahimahullah tidak mensyaratkan kecuali keshahihan hadits . Ibnu Taimiyah berkata : “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya .”
Dan jika salah satu di antara mereka meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada orang lain tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala maka mereka menerimanya. Dan sifat itu diyakini dengan pasti, sebagaimana meyakini melihat Rabb, firman-Nya, dan panggilan-Nya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat didengar dari tempat yang jauh, serta turun-Nya ke langit dunia setiap malam dan menguasai langit serta Maha Kekal.
Barangsiapa mendengar hadits ini dari orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam atau shahabat, maka dia harus yakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang adil dan benar. Dan hadits itu tidak diterbitkan, sehingga mereka menetapkan sebagaimana hadits hukum … . Mereka tidak menuntut kejelasan dalam meriwayatkan hadits tentang sifat secara pasti, tetapi mereka langsung menerima, membenarkan, dan menetapkan maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Adapun yang menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah .
Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad karena kesamaran bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah akidah. Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm : 28)
Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan .
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat (Wa maa lahum bihi min ‘ilm) maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan mereka, bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat keji. Dan mengenai ayat (wa inna adz dzanna laa yughnii mina al haqqi syai’an) maksudnya tidak dapat menempati (menggantikan) kebenaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Hati-hatilah terhadap persangkaan (yang buruk) karena persangkaan buruk itu sedusta-dusta pembicaraan .”
Adapun kelalaian seorang rawi, maka hadits ahad yang diriwayatkannya harus ditolak, sebab rawi harus terpecaya dan tsabit, maka hadits yang shahih itu tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa rawi terpecaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya.Dalil-dalil yang menetapkan keyakinan salafush shalih (pendahulu yang shalih) dari umat ini adalah:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْ لاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`:59)

B. Beberapa dalil dari As-Sunnah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan keotentikan hadits ahad dalam masalah akidah
Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat beliau yang menunjukkan keautentikan hadits ahad. Beberapa sunnah amaliyah (perbuatan) yang telah dijalani oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya (baik pada masa hidupnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam maupun setelah wafatnya) menunjukkan secara jelas akan keautentikan hadits ahad dalam masalah akidah maupun hukum, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Dalil sunnah tersebut diantaranya adalah:
Berkata imam al-BukhariRahimahullaah di dalam Shahih-nya (8: 132), “Bab dibolehkannya menjadikan hadits ahad yang dapat dipercaya sebagai hujjah di dalam masalah adzan, shalat, shaum, hukum waris dan hukum yang lainnya dan firman Allah Ta’ala “ Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Q.S. at-Taubah (9): 122).
Kata thaifah diperuntukkan pula untuk seorang laki-laki dengan dalil firman Allah Ta’ala Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya (Q.S. al-Hujaraat (49): 9)
dimana jika terdapat dua orang laki-laki berperang, maka keadaan keduanya termasuk dari arti ayat ini. Firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti “. Jika hadits ahad itu bukanlah hujjah, maka bagaimana mungkin Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutus para menterinya satu persatu? Jika salah seorang dari mereka keliru, maka persoalannya dikembalikan kepada as-Sunnah”.
a. Dari Malik bin al-Huairits, dia berkata:
أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَفَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ لِرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِاشْتَهَيْنَا أَهْلَهَا أَوْ قَدِاشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَأَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْلاَ أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّي
Kami telah mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedangkan usia kami masih muda. Kami menetap bersama beliau selama 20 malam, ternyata beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam seorang penyayang lagi pengasih. Tatkala beliau telah melihat kerinduan kami kepada keluarga-kelurga kami, beliau bertanya siapa yang akan menggantikan kami, maka kami memberitahukan beliau. (setelah itu) beliau berkata, “Kembalilah kepada keluarga-keluarga kalian dan menetaplah bersama mereka, ajarilah mereka dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”
Pada hadits ini, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyuruh kepada kedua pemuda itu untuk mengajari keluarganya masing-masing, dan pengajaran tersebut tentunya mencakup pengajaran tentang akidah karena masalah akidah adalah masalah yang utama. Kalau hadits ahad itu bukan hujjah, niscaya perintah beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak bermakna.
b. Dari Anas bin Malik, dia berkata:
أَنَّ أَهْلَ الْيَمَنِ لِمَا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا ابْعَثْ مَعَنَا رَجُلاً يُعَلِّمُنَا السَّنَةَ وَلِلإِسْلاَمَ قَالَ فَأَخَذَ بِيَدِ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّحِ وَقَالَ هَذَا أَمِيْنُ هَذِهِ الأُمَّةِ
Sesungguhnya penduduk Yaman telah datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, “utuslah kepada kami seorang yang akan mengajarkan kepada kami as-Sunnah dan Islam”. Anas bin Malik berkata, “Maka beliau pun menggenggam tangan Abu Ubaidah dan berkata, “Ini adalah kepercayaan umat” (Diriwayatkan oleh Muslim (7;129) dan al-Bukhari secara ringkas).
Saya mengatakan bahwa jika hadits ahad bukan termasuk hujjah, pasti Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengutus Abu Ubaidah seorang diri. Demikian juga yang dikatakan pada utusan-utusan beliau yang lainnya ke beberapa negeri seperti tatkala mengutus Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, Abu Musa al-Asy’ari seperti tercantum di dalam Shahihain dan yang lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa diantara ajaran mereka kepada kaumnya adalah hal-hal yang menyangkut persoalan akidah.
Kalau hadits ahad bukan termasuk ukuran dalam penetapan sebuah dalil, tentu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengutus shahabatnya orang per orang, karena yang demikian itu adalah merupakan suatu yang sia-sia. Hal ini juga telah disinyalir oleh imam asy-Syafi’i di dalam ar-Risalah (hal 412), “Sesungguhnya beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang kepada suatu kaum, dengan membawa kabar. Jika beliau menginginkan mungkin beliau langsung mendatangi kaum itu dan berbicara kepada mereka atau beliau mengutus kepada mereka beberapa orang, namun beliau hanya mengutus seorang yang diketahui kejujurannya”.
c. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu berkata:
بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ إِذْجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْأُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَهَ قُرْآنٌ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبَلُوهَا وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
Tatkala beberapa orang berada di Quba sedang melaksanakan shalat shubuh, tiba-tiba datang kepada mereka seseorang dan berkata, “Sesungguhnya telah turun ayat kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pada malam ini, beliau diperintahkan untuk menghadap Ka’bah, maka hadapkanlah wajah-wajah kalian ke arahnya”. Pada saat itu mereka lantas memutar arah menghadap kiblat sedangkan mereka sebelumnya menghadapkan wajah-wajah mereka ke arah Syam (Baitul Maqdis) (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini merupakan dalil yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa para shahabat menerima hadits ahad sebagai hujjah dalam menghapuskan suatu hukum dan menggantinya dengan hukum yang baru. Andaikan khabar itu tidak termasuk hujjah, maka mereka tidak akan menentang sesuatu yang telah terdapat hukumnya dengan khabar tersebut. Berkata imam Ibnul Qayyim Rahimahullaah, “Perbuatan mereka itu (menerima khabar ahad) tidak dipungkiri oleh beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam bahkan beliau mensyukuri mereka akan hal itu”.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memadai daripada orang yang mendengar.
C. Bahaya Menolak Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah
Tidak ada keraguan lagi bagi orang yang berakal bahwa menolak kebolehan hadits ahad menjadi hujjah dalam masalah akidah termasuk penentangan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini tentu akan berdampak negatif.
1. Menolak segala hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi.
2. Menolak adanya syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang besar (syafa’atul ‘uzhma) pada hari kiamat.
3. Menolak adanya syafaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para pelaku dosa besar.
4. Menolak adanya seluruh mukjizat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Al-Qur`an.
5. Menolak awal mula penciptaan dan sifat para malaikat, jin, sifat surga dan neraka yang tidak tersebutkan di dalam Al-Qur`an.
6. Menolak adanya pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur.
7. Menolak berita disempitkannya kuburan bagi mayit.
8. Menolak adanya Ash-Shirath (jembatan), Al-Haudh (telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan timbangan yang memiliki dua daun timbangan.
9. Menolak beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulis catatan setiap manusia: bahagia, celaka, rizki dan ajalnya, ketika dia masih dalam kandungan ibunya.
10. Menolak berbagai kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah dihimpun oleh Al-Imam As-Suyuthi rahimahullahu dalam kitab beliau Al-Khasha`is Al-Kubra. Seperti masuknya beliau ke dalam surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta apa-apa yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa. Juga masuk Islamnya qarin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan jin.
11. Menolak penetapan adanya 10 orang yang dikabarkan masuk surga.
12. Menolak tidak kekalnya pelaku dosa besar (dari kalangan muslimin yang bertauhid) di dalam neraka.
13. Menolak beriman terhadap berita yang shahih tentang hari kiamat, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur`an.
14. Menolak beriman terhadap sebagian besar tanda-tanda hari kiamat (yang sebenarnya hadits-haditsnya mutawatir, namun dianggap ahad oleh orang-orang yang tak mengerti ilmu hadits), seperti keluarnya Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, keluarnya Dajjal, keluarnya api, terbitnya matahari dari sebelah barat, munculnya binatang, dan selainnya.



Bab V
Kesimpulan dan Saran
Menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah .
Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad karena kesamaran bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah akidah. Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm : 28)
Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan .




Daftar Pustaka
abusalma.wordpress.com/2006/10/05/hadits-ahad-dalam-bukhari/ diakses tanggal 13 Juni 2010
ahmadzain.com/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=58 diakses tanggal 13 Juni 2010
Al-Fayumi, Ahmad bin Muhammad, al-Misbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabīr li ar-Rafi’I,(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,) th 1398 H / 1978 M
Al-Hafidz Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adillatil Ahkam,( Beirut: Darul Fikri). 1998.
Al-Hafizh Syihabuddin bin Alī bin Hajar Al’Asqalani, Tahdzibut Tahdzib, (Hindi: Darul Ma’arif,) 1325 H
Ali Nizar. Memahami Hadis Nabi Metode dan Pendekatan (Yogjakarta: CESad)..th 2001.
blog.re.or.id/bantahan-ilmiyah-atas-kesesatan-aqidah-hizbut-tahrir-bag1-hizbiyyah-aliran.htm diakses tanggal 13 Juni 2010
Bustamin.Metodologi Kritik hadis. (Jakarta: Raja Grafindo). Th, 2004
Fudhaili Ahmad,. Perempuan dilembaran Suci: Kritik atas Hadis-Hadis Sahih. (Yogjakarta: Pilar media.).th 2005
greetings.yahoo.com/ diakses tanggal 13 Juni 2010
Imam Muhammad bin Isma’īl Amir Yaman Ash Shan’ani, Subulus salam Syarh Bulugul Maram Min Jami’ Adillatil Ahkam Jilid 4,(Beirut: Darul Fikri,) th 1995
Ismail Syuhudi.. Metodologi Penelitian Hadis Nabi.( Jakarta: Bulan Bintang) th 1992
Jalalud-Din ‘Abdurrahman bin Abī Bakr as Suyuti, Tadrib ar Rawi fi Syarh Taqrib an Nawawi,(Beirut: Dar Ihya as-Sunnah an-Nabawiyyah) Juz I th 1979 M
konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/perbedaan-pendapat-dalam-masalah-hadits-ahad/ diakses tanggal 13 Juni 2010
M. Ajjaj al-Khatib, Op. Cit,h. 232. Lihat juga: K.H. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits,(Jakarta: Pustaka Firdaus) th 2008
Mudasir. Ilmu hadis. (Bandung :Pustaka Setia.) . Th 2005
Munzier Suparta, Ilmu Hadits,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) th2008
pentasatriya.multiply.com/reviews/item/53 diakses tanggal 13 Juni 2010
qurandansunnah.wordpress.com/2009/10/21/bahaya-menolak-hadits-ahad-sebagai-hujjah-dalam-aqidah/ diakses tanggal 13 Juni 2010
Rahman Fazlur. Dkk. Wacana Studi Hadis Kontemporer.( Yokyakarta: Tiara Wacana) th 2002.
Salahud-Din bin Ahmad al-Adlabī, Manhaj Naqil Matn,(Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H / 1983 M
Soebahar Erfan.Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah; Kritik Musthofa al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmaf Amin Mengeanai Hadits dalam( Jakarta: Fajr al-Islam. Kencana.) Th 2003
www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=325 diakses tanggal 13 Juni 2010
yaummi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=148&Itemid=169 diakses tanggal 13 Juni 2010

Pengikut