Sabtu, 30 Mei 2009

Ijaroh

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak lepas dari yang namanya hubungan sesama manusia (hablun min al-nass). Yang dibahas dalam makalah ini adalah hubungan antara manusia yang berkaitan dengan harta, itupun akan bernilai apabila sesuai dengan aturan yang berada dalam Al-Qur’an yang sudah diterangkan dalam Fiqih yaitu Muamalah.
Muamalah dalam arti luas adalah hubungan antara manusia yang berkaitan dengan harta, lebih spesifik dalam makalah ini akan di bahas tentang sewa menyewa (ijaroh), pinjam - meminjam (ariyah/ I’anah), penggadaian (rahn), dan barang temuan (luqotoh).
Oleh sebab itu, agar tidak terjadi persengketaan dalam masalah ini, maka perlu kajian lebih lanjut dalam membahas tentang sewa menyewa (ijaroh), pinjam - meminjam (ariyah/ I’anah), penggadaian (rahn), dan barang temuan (luqotoh) yang akan dibahas lebih lanjut.


A. Ijarah (Sewa Menyewa dan Upah)
1. Pengertian
Menurut etimologi ijaroh ialah nama untuk upah. Sedangkan menurut istilah, ijaroh diartikan sebagai:

عقد على منفعة معلومة مقصوده و قابل للبذل والاباحة بعوض معلوم

“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah. Serta menerima pengganti atau kebetulan dengan pengganti tertentu”

2. Dasar Hukum Ijarah
Jumhur ulama berpendapat bahwa dasar-dasar hukum ijarah atau rujukan ijarah adalah Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma.
a. Al-Quran
Artinya : kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya.(Qs. At Thalaq: 6)

b. As-Sunnah atau Hadits
عن ابن عباس أمية رضي الله عنه قال : احتحم رسول الله صلى الله عليه وسلم و اعطى الذي حجمه أجره (روه البخاري)
Artinya: Dari Ibnu Abbas RA. berkata “Rasulullah SAW pernah berbekam kepada seseorang dan beliau memberi upah tukang bekam itu.”(HR. Bukhari).

c. Ijma’
Landasan ijma’ adalah semua ulama’ sepakat dan tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ini, bahwa ijarah diperbolehkan sebab manfaat bagi manusia.



3. Rukun dan Syarat Ijarah
a. Adanya akad
b. Yang menyewa dan yang mempersewakan. Syarat keduanya: berakal, dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa), keadaan keduanya tidak bersifat mubadzir, dan baligh.
c. Barang yang disewa diketahui jenisnya, kadarnya, sifatnya dan keadaannya tidak berubah.
d. Manfaat, syarat manfaat:
 Manfaat yang berharga (manfaat yang tidak berharga, ada kalanya karena sedikit seperti menyewa mangga untuk scium baunya; atau karena ada larangan dari agama, seperti menyewa orang untuk membinasakan orang lain),
 Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan,
 Diketahui kadarnya.

B. Ariyah (Pinjam Meminjam)
1. Definisi
Secara bahasa, ariyah berasal dari kata عار yaitu pergi. Ariyah bisa dibaca dengan tasydidnya huruf ya’ (ariyyah) maupun tanpa tasydid (ariyah). Sedangkan menurut istilah berarti nama dari suatau akad peminjaman barang yang mengandung kewenangan untuk memanfaatkannya sesuai dengan fungsinya serta tetapnya barang tersebut sehingga dapat dikembalikan kepada pemiliknya.

2. Hukum Meminjamkan
Hukum ariyah pada asalnya sunat, sebab ia sangat diperlukan, tetapi ariyah itu adakalanya wajib, seperti meminjamkan pakaian yang berkaitan erat dengan sahnya salat peminjam, meminjamkan sarana untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau meminjamkan alat untuk menyembelih hewan yang dihormati karena dikhawatirkan akan mati (jika tidak disembelih). Qaidah: “jalan menuju sesuatu, hukumnya sama dengan hukum yang dituju”.
Adapun landasan hukum dari nash Al-Quran adalah:

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.(Qs. Al – Maidah :2)

Sedangkan landasan hukum dari al-Hadits adalah:
عن يعلى بن أمية رضي الله عنه قال: قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم: أد الأمانة الى من ائتمنك ولا تخن من خانك (رواه أبو داود)
Artinya: Dari Ya’la bin Umayyah RA. berkata : Rosullah SAW berkata kepadaku “Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah kamu khianat sekalipun ia khianatke padamu (HR. Abu Dawud).
3. Rukun dan Syarat Ariyah
a. Mu’ir (peminjam) dengan syarat orangnya (berhak) menerima kebaikan anak kecil dan orang gila tidak sah meminjamkan sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan, dengan kata lain mu’jir berakal sehat.
b. Manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan menyewa, karena memimjam hanya bersngkutan dengan manfaat bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya.
c. Barang yang dipinjam syaratnya:
1) Barangnya bermanfaat
2) Sewaktu-waktu manfaatnya, zatnya (tidak rusak) misalnya: makanan dengan sifat makanan untuk dimakan, maka tidak sah dipinjamkan.
d. Sighat yaitu sesuatu uang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat baik dengan ucapan maupun perbuatan.

4. Tanggung Jawab Peminjaman
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang-barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.
Sementara para pengikut Maliki dan Hanafi, berpendapat bahwa peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang berlebihan.

C. Rahn (Penggadaian/Pinjaman dengan Jaminan)
1. Pengertian
Ar-Rahn menurut bahasa berarti ats-tsubut wa ad-dawam. Tetap dan abadi. Sedangkan secara syar’I adalah penjaminan hutang dengan barang yang biasa digunakan untuk membayarnya atau membayar dengan harganya. Atau menjadikan materi harta sebagai jaminan hutang.
Gadai adalah boleh menurut kitabullah, As-sunnah dan Ijma’. Allah SWT berfirman dalam kitabNya.

“Jika kamu dalam (bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)” (Al-Baqarah:283)

Rasulullah SAW wafat ketika baju besinya masih digadaikan. Para ulama’ bersepakat diperbolehkannya melakukan gadai dalam perjalanan. Jumhur juga memperbolehkan ketika mukim atau dalam perjalanan.
Hikmah dari diperbolehkannya gadai untuk menjaga harta dan mengamankannya dari hilang.

2. Rukun dan syarat gadai
Gadai/ pinjaman dengan jaminan sesuatu benda memiliki beberapa rukun yaitu:
 Akad ijab dan Kabul
 Aqid yaitu yang menggadaikan dan yang menerima gadai
 Barang yang dijadikan jaminan
 Ada hutang disyaratkan keadaan hutang telah tetap

3. Pengambilan manfaat barang gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama berbeda pendapat dalam menanggapinya:
Jumrul fuqaha’ berpendapat bahwa penerimaan gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai.
Menurut fuqaha’ lain berpendapat apabila barang gadai itu berupa hewan maka penerima gadai diperbolehkan mengambil air susu dan menungganginya dalam kadar seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikannya.

4. Penyelesaian gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, maka dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan “apabila rahin tidak mampu melunasi hutangnya hingga batas waktu yang telah ditentukan, makah mahrun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran hutang”.
Sebab ada kemungkinan bahwa pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar hutang harga mahrun akan lebih kecil daripada hutang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin, sebaliknya ada kemungkinan juga bahwa harga mahrun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya dari pada hutang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
Apabila waktu pembayaran telah ditentukan rahin belum membayar hutangnya. Hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut, hak murtahin hanyalah sebesar piutang, dengan akibat apabila harga penjualannya marhun lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin, apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah hutang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.

D. Luqothoh (Barang temuan)
1. Pengertian
Barang temuan dalam bahasa Arab (bahasa fuqaha) disebut al-luqathah, menurut bahasa (etimologi) artinya:


“Sesuatu yang ditemukan atau didapat”

Sedangkan menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan al-luqathah sebagaimana yang dita’rifkan oleh syaikh Muhammad Bin Qasim adalah:

مال ضاع عن مالكه بسقوط أو غفلة أو نحوهما

“Sesuatu yang disia-siakan pemiliknya, baik karena jatuh, lupa atau yang lainnya”.

Secara umum dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan al-Luqathah ialah memperoleh sesuatu yang tersia-sia dan tidak diketahui pemiliknya.

2. Hukum Pengambilan Barang Temuan
Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya, antara lain sebagai berikut:
a. Wajib, apabila seseorang percaya pada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu dan terdapat sangkaan akan diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
b. Sunnat, apabila penemu percaya akan mampu memelihara benda-benda temuan itu. Tetapi bila tidak diambilpun barang-barang tersebut tidak boleh dikhawatirkan akan hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
c. Makruh, bagi seseorang yang ragu-ragu mampu memelihara atau tidak dan bila tidak diambil benda tersebut tidak dkhawatirkan akan terbengkalai.
d. Haram, bagi orang yang terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara harta tersebut.

3. Rukun al-Luqathah
Rukun-rukun dalam al-luqathah ada dua, yaitu orang yang mengambil (yang menemukan) dan benda-benda atau barang yang diambil.

4. Macam-macam benda yang diperoleh
a. Benda tahan lama, yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama, umpamanya mas, perak, pisau, gergaji, meja dan lainnya.
b. Benda yang tidak tahan lama, umpamanya makanan, tepung, buah-buahan dan sebagainya. Benda-benda seperti ini boleh dimakan atau dijual supaya tidak tersia-siakan, bila kemudian baru datang pemiliknya, maka wajib mengembalikannya atau uang seharga benda yang dijual atau dimakan.
c. Benda yang memerlukan perawatan, seperti padi harus dikeringkan datau kulit hewan perlu disamak.
d. Benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang ternak unta, sapi. Pada hakikatnya binatang-binatang itu tidak dinamakan al-luqathah tetapi disebut ad-dhalalah, yakni binatang yang tersesat atau kesasar.

5. Mengenalkan Benda Temuan
Wajib bagi orang yang menemukan sesuatu dan mengambilnya untuk mengamati tanda-tanda yang membedakannya dengan benda-benda lainnya.
Penemu berkewajiban pula memelihara benda-benda temuannya sebagai memelihara bendanya sendiri. Dia juga berkewajiban mengumumkannya kepada masyarakat degnan berbagai cara, baik dengan pengeras suara, radio, televisi, surat kabar atau media massa lainnya.
Waktu-waktu untuk mengumumkan berbeda-beda. Jika benda yang ditemukan harganya 10 (sepuluh) dirham ke atas, hendaknya masa pemberitahuannya selama satu tahun, bila harga benda yang ditemukan kurang dari harga tersebut, boleh diberitahukan selama tiga atau enam hari

Mengenai barang temuan yang berbentuk makanan tidak perlu diperkenalkan selama satu tahun, cukup diperkenalkan selama diduga kkuat adanya kemungkinan bahwa pemiliknya tidak lagi menuntutnya, penemu boleh memanfaatkan barang itu bila tidak diketahui pemiliknya.


KESIMPULAN

Dari berbagai pembahasan yang ada di atas kami dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan:
1. Ijaroh ialah (menjual manfaat). Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, Serta menerima pengganti atau kebetulan dengan pengganti tertentu.
2. Ariyah adalah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar dapat dikembalikan barang itu.
3. Pengertian Rahn secara syar’I adalah penjaminan hutang dengan barang yang biasa digunakan untuk membayarnya atau membayar dengan harganya, atau menjadikan materi harta sebagai jaminan hutang. Gadai adalah boleh menurut kitabullah, As-sunnah dan Ijma’. Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai, sedangkan menurut fuqaha’ lain berpendapat apabila barang gadai itu berupa hewan maka penerima gadai diperbolehkan mengambil air susu dan menungganginya dalam kadar seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikannya.
4. Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya, bisa menjadi wajib, sunnah, makruh, dan haram.




DAFTAR PUSTAKA

Al-malyabari, Zainuddin.Fathul Mu’in .Surabaya: Haramain, 2006.

Muhammad, Sistem & Prosedur Operasional Bank Syari’ah, UII Press: Yogyakarta.2005

Muhammad al-Syarbini al-Katib, Al-Iqna fi Hal al-Alfadz Abi syuja’. Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah: Jakarta, t.t.

Muhammad bin Qasim. Fathul Qarib.Semarang: Pustaka Alawiyyah, tt.

Rusdy Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pusaka Ammi, 2000.

Shalih. Ringkasan Fiqih Lengkap. Jakarta: Darul Falah, 2005.
Suhendi Hedi. Fiqih Muamalah. Jakarta: Grafindo Persada, 2002.

Pengikut