Sabtu, 21 November 2009

Muhammad Abduh

Pemikiran teologi Muhammad Abduh

A.PENDAHULUAN


Ciri pemikiran teologi modern salah satunya adalah rasional. Banyak tokoh Islam yang mencoba melakukan pemikiran rasional. Salah satu dari sekian banyak pemikir rasional itu adalah Muhammad Abduh. Dia adalah seorang tokoh salaf, tetapi tidak menghambakan diri pada teks-teks agama. Ia memegangi teks-teks agama tapi dalam hal ini ia juga menghargai akal.1 Risalah al-Tauhid adalah karya terbesarnya yang membahas tentang konsep teologinya itu.
Ia terkenal sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam karena kemauannya yang keras untuk melaksanakan pembaruan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada kemurnian Islam.2


B. PEMBAHASAN

1. Biografi Muhammad Abduh
Kapan dan di mana Muhammad Abduh lahir tidak diketahui secara pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 M / 1265 H adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.3 Ia lahir di suatu desa di Mesir Hilir, diperkirakan di Mahallat Nasr.
Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairulah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal ari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab.4
Muhammad Abduh diperintah belajar menulis dan membaca setelah mahir, ia diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal al-Qur'an. Hanya dalam masa dua tahun, ia dapat menghafal al-Qur'an secara keseluruhan. Kemudian, ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad di tahun 1862, setelah dua tahun belajar, ia merasa tidak mengerti apa-apa karena disana menggunakan metode menghafal. Ia akhirnya lari meninggalkan pelajarannya dan pulang ke kampungnya dan berniat bekerja sebagai petani. Tahun 1865 (usia 16 tahun) iapun menikah. Baru empat puluh hari menikah, ia dipaksa untuk kembali belajar ke Tanta. Iapun pergi, tapi bukan ke Tanta. Dia bersembunyi di rumah salah seorang pamannya, Syekh Darwisy Khadr. Syekh Darwisy tahu keengganan Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama. Setelah itu, Abduhpun berubah sikapnya sehingga kemudian ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.5
Selepas dari Tanta, ia melanjutkan studi di al-Azhar dari tahun 1869-1877 dan ia mendapat predikat “’alim”. Di sanalah ia bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani yang kemudian menjadi muridnya yang paling setia. Dari al-Afghani yang kemudian belajar logika. Filsafat, teologi dan tasawuf.
Pengaruh pemikiran al-Afghani terhadap Abduh begitu besar, ide-ide pembaharuan yang dibawa al-Afghani banyak mempengaruhi Abduh. Bedanya, al-Afghani lebih menekankan pembaharuan di bidang politik, sedangkan Abduh dibidang pendidikan.
Tahun 1879, Abduh dibuang keluar kota Kairo karena dituduh turut berperan dalam mengadakan gerakan Khadowi Taufik. Hanya setahun ia dibuang, tahun 1880 ia boleh kembali dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir “الوقائع المصرية”.6
Di akhir tahun 1882, Ia lagi-lagi dibuang. Tapi kali ini dibuang ke luar negeri dan ia memutuskan pergi ke Beirut. Alasan pembuangan ini adalah keterlibatan Abduh dalam pemberontakan Urabi Pasya. Baru setahun di Beirut, dia diundang al-Afghani supaya datang ke Paris guna membentuk gerakan al-Urwah al-Wasqa. Tujuan gerakan ini adalah membangkitkan semangat perjuangan umat Islam untuk menentang ekspansi Eropa di dunia Islam. Terbitlah majalah al-Uswah al-Wutsqa. Ide pemikiran berasal dari al-Afghani, sedangkan tulisan yang mengungkapkan pemikiran itu dilakukan oleh Abduh. Majalah tersebut hanya bertahan delapan bulan dengan 18 kali terbit.7 Setelah itu, ia berpisah dengan gurunya. Gurunya menuju Persia – ada juga yang mengatakan ke Rusia. Sedangkan ia sendiri kembali ke Beirut pada tahun 1885 M. di Kota ini, ia pusatkan perhatiannya pada ilmu dan pendidikan. Ia mengajar di Madrasah Sultaniah dan di rumahnya sendiri. Pelajaran tauhid yang diberikannya di Madrasah Sultaniah tersebut menjadi dasar dari Risalah al-Tauhid-nya.8
Sekembalinya dari pembuangan, di akhir tahun 1888, ia mulai aktivitasnya. Karirnya dimulai dari menjadi hakim Pengadilan Negeri kemudian menjadi penasehat Mahkamah Tinggi. Di sela-sela kesibukannya sebagai hakim ia berusaha memperbaiki pendidikan di al-Azhar. Ia ingin membawa ilmu-ilmu modern yang sedang berkembang di Eropa ke al-Azhar. Usahanya tidak berjalan mulus bahkan usahanya kandas. Banyak tantangan dari para ulama’ yang berpegang pada tradisi lama. Tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir, suatu jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syari’at untuk seluruh Mesir. Di tahun yang sama, ia juga diangkat menjadi anggota majlis syura.9
Abduh tidak bisa menjalankan ibadah haji hingga akhir hayatnya karena faktor politik. Akhirnya, pada 11 Juli 1905, Abduh dipanggil ke hadirat Allah setelah agak lama ia menderita kanker hati,10 di usia yang belum begitu tua yaitu sekitar 56 tahun.
2. Karya-karya Muhammad Abduh
Abduh mempunyai banyak karya. Seseorang akan tetap eksis jika ia mempunyai karya, begitupun Abduh. Risalah al-tauhid adalah contoh kecilnya. Buku itu merupakan kumpulan materi kuliah yang dia berikan di madrasah Sultaniah, yang berisi tentang ajaran tauhid.
Beberapa karyanya antara lain :
a. Risalah al-Waridat, 1874
b. Hasyi’ah ‘ala Syarh al-‘Aqa’id al-Adudiyah, 1876
c. Najh al-Balaghah, 1885
d. Al-Radd ‘ala al-Dahriyiyin, diterjemahkan tahun 1886
e. Syarh Kitab al-Basyair al-Nashraniyah fi al-Ilmi al-Mantiq, 1888
f. Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamdani, 1889
g. Taqrir fi Ishlah al-mahakim al-Syar’iati, 1900
h. Al-Islam wa al-Nashraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyah, 1903
i. Risalah al-Tauhid, disusun pada tahun 1897.11
j. Tafsir al-Manar.12
3. Konsep Teologi Muhammad Abduh
Menurut Muhammad Abduh, teologi adalah ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya, dan masalah kenabian. Menurut Harun Nasution, definisi yang diberikan Abduh tersebut kurang lengkap. Alam ini adalah ciptaan Tuhan, oleh karena itu, teologi disamping hal-hal di atas juga memuat hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya.13
Kata kunci dalam pembahasan teologi adalah akal dan wahyu
Bagi Muhammad Abduh, akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan adanya kehidupan dibalik kehidupan dunia ini. Dengan akal, manusia dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, kebaikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan adalah dasar kesengsaraan di akhirat.14 Akan tetapi, daya akal tiap manusia itu berbeda. Perbedaan itu, tidak hanya disebabkan oleh perbedaan pendidikan, tapi juga perbedaan pembawaan alami, suatu hal yang terletak di luar kehendak manusia. Oleh karena itu, ia membagi manusia ke dalam dua golongan : khawas dan awam.15
Keharusan manusia untuk menggunakan akalnya, bukan hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tapi juga merupakan ajaran al-Qur’an kitab suci ini, memerintahkan kita untuk berfikir dan melarang kita memakai sikap taklid.16
Abduh sangat menentang taklid. Menurutnya, taklid adalah salah satu penyebab kemunduran umat Islam abad 19 dan 20. Ia amat menyesalkan sikap taklid yang mencakup tiap aspek kehidupan. Perkembangan dalam bahasa, organisasi sosial, hukum, lembaga-lembaga pendidikan, dan sebagainya menjadi terhambat.17
Mengenai wahyu, menurut Abduh, dia mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Wahyu memberi keyakinan kepada manusia bahwa jiwanya akan terus ada setelah tubuh mati. Wahyu menolong akal untuk mengetahui akhirat dan keadaan hidup manusia di sana,
b. Wahyu menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya sebagai sumber ketenteraman hidup dalam masyarakat,
c. Wahyu menolong akal agar dapat mengetahui cara beribadah, dan berterimakasih pada Allah,
d. Wahyu mempunyai fungsi konfirmasi untuk menggunakan pendapat akal melalui sifat kesucian dan kemutlakan yang terdapat dalam wahyu yang bisa membuat orang manfaat.
Secara garis besar, sistem pemikiran teologi Abduh, wahyu mempunyai “dwi fungsi”, yaitu memberi konfirmasi dan informasi, sehingga baginya wahyu itu sangat diperlukan untuk menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh melalui akal.18
Akal dan wahyu mempunyai hubungan yang sangat erat, karena akal memerlukan wahyu, tapi wahyu itu tidak mungkin berlawanan dengan akal. Jika nampak pada lahirnya wahyu itu berlawanan dengan akal, maka Muhammad Abduh memberi kebebasan pada akal untuk memberi interpretasi agar wahyu itu sesuai dengan pendapat akal dan tidak berlawanan dengan akal. Dengan demikian, hubungan antara wahyu dan akal dapat terjalin harmonis.19

C. Kesimpulan
Muhammad Abduh memberi penghargaan yang tinggi pada kekuatan akal. Meski begitu, ia tetap memandang penting fungsi wahyu bagi akal.
Konsep teologi yang demikian itu berakibat pada keyakinannya bahwa manusia itu mempunyai kebebasan berfikir dan berbuat. Salah satu buktinya, dia menentang keras terhadap taklid.
Ia mempunyai ide-ide brilian dibidang pendidikan. Ia menginginkan adanya perubahan iklim pendidikan demi kemajuan umat Islam. Usaha kerasnya untuk merealisasikan idenya itu, tak jarang menemui tantangan dari umat Islam sendiri.
Sikap rasional yang digagas Muhammad Abduh sangat diperlukan untuk kemajuan Islam seperti di masa lampau.

DAFTAR PUSTAKA
Bakir, Yusuf Barmawi, Sistem Pemikiran Teologi Muhammad Abduh, Makalah, t.k, tp., t.th.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan teologi Rasional Mu’tazilah, cet.1, (Jakarta : UI Press) th1987.
_____________, Pembaharuan dalam Islam, cet. 5, (Jakarta : Bulan Bintang) th 1987.
Madkour, Ibrahim, Aliran dan teori Filsafat Islam, cet.1, (Jakarta : Bumi Aksara) th 1995.
Donohue, John J. dan John L. Esposito (penyunting), Islam Pembaharuan dan Ensiklopedi Masalah-Masalah, cet.3, (Jakarta : Raja Grafindo Persada) th 1993.

Selasa, 03 November 2009

Jihad Dalam Perspektif Hadits Nabi

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَا أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَتْحِ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ وَابْنُ رَافِعٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ آدَمَ حَدَّثَنَا مُفَضَّلٌ يَعْنِي ابْنَ مُهَلْهِلٍ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ إِسْرَائِيلَ كُلُّهُمْ عَنْ مَنْصُورٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ {روه: امام مسلم}

Imam Muslimmenyatakan: telah menceritakan kepadaku dengan metode sama’ Yahya bin Yahya dan Ishaq bin Ibrahim keduanya berkata telah bercerita kapadaku dengan metode sama’ Jarir dari Manshur dari Mujâhid dari Thawus dari Ibn ‘Abas‘‘Ibn ‘Abas berkata: “Rasulullah saw. Bersabda dihari penaklukan kota Mekah yaitu “tidak ada lagi hijrah akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Jadi apabila kalian semua diperintahkan berjihad maka berangkatlah berjihad”. Telah bercerita pula kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaybah dan bercerita Abu Kurayb, Abu Kurayb Berkata telah bercerita kepadaku Waki’ dari Sufyan telah bercrita kepadaku Ishaq bin Manshur dan ibn Rafi’ dari Yahya bin adam, telah bercerita kepadaku telah bercerita kepadaku dengan metode sama’ Mufadldlal yaitu ibn Muhalhil dan telah bercerita kepadaku ‘Abd bin Humayd telah bercerita kepadaku ‘Ubaydullah bin Musa dari Israil semuanya sama sanadnya dari Manshur.

A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama tauhid yang membawa kedamaian, kesejahteraaan dan keselamatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Islam dianut, tumbuh dan menjadi besar bukan dengan paksaan dan kekerasan melainkan dengan jalan dakwah dan mau’izdoh hasanah. Namun, belakangan ini citra Islam sebagai agama yang santun telah tercoreng oleh ulah segelintir kelompok yang tak sabar bahkan frustrasi dan memilih jalan kekerasan.
Akhir-akhir ini marak di berbagai media baik media cetak maupun elektronik pemberitaan terkait Islam sebagai agama yang memfasilitasi gerakan-gerakan jihad yang di sinyalir sebagai gerakan terorisme atau sebaliknya oleh pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya. Paling tidak imbas perang kepentingan tersebut berakibat pada semakin terpuruknya citra Islam di mata dunia. Sebab, diakui atau tidak sejumlah gerakan itu telah bermuara pada nas-nas agama Islam yang menjadi legitimasinya.
Ada kesalah pahaman tentang pengertian jihad. Hal ini mungkin di sebabkan oleh seringkalinya kata itu terucapkan pada saat perjuangan fisik, sehingga di identikkan dengan perlawanan bersenjata. Kesalahpahaman itu di suburkan oleh pemahaman yang keliru terhadap nas-nas Agama yang berbicara tentang jihad.
Untuk itu, di perlukan pemahan terhadap nas-nas agama secara serius dan mendalam terkait permasalahan jihad, serta implementasi yang benar akan seruan-seruan jihad yang menampilkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

B. Ma’anil Mufradat al-Hadits
Kata هِجْرَة secara bahasa merupakan bentuk mashdar dari madhi dan mudlari’ هجر يهجر yang mempunyai artian memutuskan, meninggalkan, pindah atau migrasi. Sedangkan hijrah secara Istilah adalah suatu cara yang dilakukan oleh para nabi, untuk melepaskan diri dari alam kebatilan (kondisi dimana manusia hidup dengan tanpa landasan Kitab Allah).
Secara bahasa lafazh جِهَادٌ adalah bentuk mashdar dari fi’il madhi dan mudlari’ جهد يجهدyang mempunyai makna berusaha dengan sungguh-sungguh, menguji, membebani. Sementara secara istilah adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan Din Allah atau menjaga Din tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran.
Kata niat berasal dari fi’il madhi نوى yang berarti maksud atau keinginan kuat didalam hati untuk melakukan sesuatu. Dalam terminologi syar'i berarti adalah keinginan melakukan ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.Niat termasuk perbuatan hati maka tempanya adalah didalam hati.
A. Skema Sanad
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini secara berturut-turut dari : Yahya bin Yahya dan Ishaq bin Ibrahim, dari Jarir, dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, dari Rosululloh SAW.

B. Variasi Hadits semakna
Hadis di atas juga dikeluarkan oleh al-Bukhari yang diriwayatkannya dari Usman bin Abi Syaibah, dari Jarir, dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, dari Rosululloh SAW. dengan redaksi sebagai berikut :
- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ افْتَتَحَ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا فَإِنَّ هَذَا بَلَدٌ حَرَّمَ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا وَلَا يُخْتَلَى خَلَاهَا قَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا الْإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوتِهِمْ قَالَ قَالَ إِلَّا الْإِذْخِرَ

Al-Bukhori juga mriwayatkannya dari : Adam bin Abi Iyas, dari Syaiban, dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, dari Rosululloh SAW. dengan redaksi sebagai berikut :
- حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا

Ia juga meriwayatkannya dari : Ali bin Abdillah, dari Jarir, dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, dari Rosululloh SAW. dengan redaksi sebagai berikut :
- حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا وَقَالَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا وَلَا يُخْتَلَى خَلَاهُ فَقَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا الْإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوتِهِمْ قَالَ إِلَّا الْإِذْخِرَ
Sedangkan Abi Dawud meriwayatkannya dari Usman bin Abi Syaibah, dari Jarir, dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, dari Rosululloh SAW. dengan redaksi sebagai berikut :
- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَتْحِ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا


E. Kualitas Perowi Hadits dari Kalangan Tabi’in
1. Manshur
Nama Asli : Manshur bin al-Mu’tamar bin Abdillah bin Rabi’ah
Thabaqah : Tabi’in kecil
Wafat : 132 H.
Rutbah : Tsiqah
Diantara guru-gurunya :
- Mujahid bin Jabr al-Makky
- Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri
- Abi Dhuha Muslim bin Shabih
- Al_musayyab bin Rafi’
- Al-Manhal bin ‘Amr
- Musa bin Abdillah bin Yazid al-Khathami
Diantara murid-muridnya :
- Jarir bin Abdul Hamid
- Hajjaj bin Arthat
- Hajjaj bin Dinar
- Al-Hasan bin Shalih bin Hay
- Hammad bin Zaid

2. Mujahid
Nama asli : Mujahid bin Jabr, disebut juga dengan Ibnu Jabir al-Makky
Thabaqah : Termasuk Tabi’in pertengahan
Wafat : 101 H., ada pula yang mengatakan paa tahun 102 H./103 H./104 H.
Rutbah : Tsiqah
Termasuk guru-gurunya antara lain :
- Thawus bin Kaisan
- Abdullah bin as-Sa’ib al-Makhzumi
- Abi Ma’mar Abdullah bin Sakhbarah al-Azadi
- Abdullah bin Abbas
- Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Dzubab ad-Dusi
- Abdullah bin ‘Amr bin al-Khaththab
Termasuk murid-muridnya antara lain :
- Mughirah bin Muqsim Al-Dhaby
- Manshur bin al-Mu’tamar
- Al-Manhal bin ‘Amr
- Musa bin Syaddad as-Sa’dy
- Abu Shabah Musa bin Abi Katsir
- Musa al-Jihny
F. Grand Teori
Secara garis besar, hadis di atas berbicara tentang hijrah, niat dan jihad. Tiga komponen ini telah terbukti menjadi pondasi yang kokoh atas keberhasilan dakwah islam pada masa Nabi. Ketiganya saling melengkapi antara satu sama lain.
Hadis tersebut juga menyebutkan bahwa semenjak peristiwa Fathu Makkah, maka sudah tidak ada lagi hijrah. Yang ada tinggal jihad dan niat. Hal ini karena hijrah hanya diwajibkan atas umat islam pada masa itu, dengan pertimbangan strategi dakwah. Setelah kota makkah berubah dari Daaru al-Kuffar menjadi Daaru al-Islam, disamping umat islam sudah semakin kuat, maka tidak dibutuhkan lagi ber-hijrah.
Berbeda dengan hijrah. Demi tegaknya agama islam sepanjang zaman, kebutuhan akan jihad dan niat tidak menjadi lekang oleh waktu. Tanpa usaha yang sungguh-sungguh, beribadah demi tegaknya agama islam dapat dikatakan mustahil. Usaha tanpa niat-pun menjadi sia-sia. Disamping itu, hadis di atas juga berkaitan dengan wajibnya ber-jihad dalam bentuk perang. Meski hukumnya wajib, namun jihad dalam bentuk ini baru diperbolehkan jika :
Apabila mereka dikepung oleh kaum kuffar di negeri mereka sendiri. Maka mereka wajib berperang. Setiap orang dari penduduk negeri tersebut yang mampu wajib berperang untuk mempertahankan dan membela kehormatan kaum muslimin dan membela negeri kaum muslimin yang dikepung.
Apabila imam (pemimpin tertinggi/khalifah/waliyul amri) mengajak berperang maka perang menjadi wajib atas setiap individu.
Alloh Subhannahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الأرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu ‘Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Alloh kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit” (QS. At Taubah: 38)
Jika peperangan datang, sedangkan padanya terdapat kekuatan, maka tidak boleh bagi seorang Muslim lari dari medan tempur, melainkan ia wajib berperang.
Alloh Subhannahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلا تُوَلُّوهُمُ الأدْبَارَوَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali bertolak untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Alloh dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al Anfal: 15-16)
Melarikan diri dari medan tempur adalah termasuk dosa besar. Maka siapa saja yang menghadapi peperangan, sedangkan pada dirinya terdapat kekuatan, maka ia harus berperang .
Jadi, ini adalah hujjah (dasar) bahwasannya Jihad dalam bentuk perang hanya bisa dilakukan bila ketiga point di atas (atau salah satunya) terpenuhi.

G. Subtansi Hadits
Hampir bisa dipastikan, istilah jihad merupakan salah satu konsep Islam yang paling sering disalahpahami, baik oleh kalangan Islam sendiri, lebih-lebih di kalangan para ahli dan pengamat barat. Ketika istilah ini disebut, maka citra yang muncul di kalangan barat adalah teror, segerombolan laskar muslim yang memaksa non-muslim untuk masuk Islam.
Jihad seringkali diidentikkan oleh banyak ahli, baik non-muslim maupun muslim sendiri dengan perang suci ( holy war ), yang dalam konteks Kristen eropa yakni perang melawan orang kafir. Kesalahpahaman ini antara lain karena seringnya kata ini diucapkan ketika perjuangan fisik sehingga identik dengan perlawanan bersenjata. Apalagi, dalam al-Qur’an kata ini banyak bersanding dengan kata anfus yang seringkali pula dimaknai dengan jiwa . Maka, berjihad dengan segenap jiwa dan raga identik dengan perlawanan fisik.
Selain daripada itu, dari kata ini kita mengenal tiga kata jadian yang maknanya sering dipisahkan dan seolah tidak memiliki kaitan. Tiga kata jadian tersebut adalah jihad itu sendiri, mujahadah dan ijtihad. Jihad sendiri sering dipahami dengan bersungguh-sungguh dengan otot sehingga sering diartikan dengan perang fisik, mujahadah sebagai sungguh-sungguh dengan hati sehingga sering dipakai oleh para sufi, sedangkan ijtihad diartikan dengan sungguh-sungguh dengan pikiran, maka orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid .
Dalam Al-qur’an, sekitar 40 kali kata jihad disebut. Seluruh maknanya bermuara pada; “mencurahkan seluruh kemampuan” atau “menanggung pengorbana”. Maka, seorang mujahid adalah orang yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban dengan nyawa atau tenaga, pikiran, emosi, dan apapun yang berkaitan dengan diri manusia .
Namun disadari atau tidak, kesalahpahaman tentang konsep jihad ini terlanjur dianggap sebagai kebenaran oleh sementara golongan, sehingga perlu untuk ditegakkan. Padahal, mendefinisikan jihad dengan perang fisik jelas kurang tepat. Bukan saja karena otot, hati dan pikiran adalah tiga hal yang bersama-sama membentuk kepribadian manusia sehingga sulit untuk dipisahkan, namun hal ini juga tampak jelas ketika Nabi pulang dengan kekalahan dari perang uhud. Beliau bersabda kurang lebih maksudnya : kita baru saja kembali dari perang kecil dan akan menghadapi perang besar. Yang dimaksud dengan perang kecil adalah perang uhud dimana Nabi mendapatkan kekalahan. Padahal perang ini untuk ukuran fisik pada waktu itu tergolong besar. Sedangkan yang dimaksud dengan perang besar adalah melawan hawa nafsu diri sendiri. Tentu perang ini tidak berbentuk fisik, bukan pula dengan bunuh diri yang jelas-jelas dilarang dalam islam .
Oleh karena itu, serangkaian peristiwa yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai jihad oleh para pelaku teror tidak dapat dibenarkan. Anggapan sementara kalangan yang menuduh islam sebagai agama yang mengajarkan teror melalui konsep jihad juga keliru dengan sendirinya karena Islam adalah agama yang mengajarkan kelemah lembutan. Nabi Muhammad-pun di perintahkan untuk bersikap lemah lembut, sebagaimana firman Allah :

“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” ( QS. Ali Imran : 159 ).
H. Analisis
Konsep jihad dalam Islam seringkali diidentikkan dengan perang. Begitu pula dengan hadis di atas. Rangkaian kata jihad pada sabda Nabi di atas di akhiri dengan kewajiban berperang, (وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا ). Meski pengertian jihad lebih luas daripada sekedar berperang, namun rangkaian Hadis tersebut mengindikasikan betapa jihad pada masa itu identik dengan perang.
Perlu diketahui, pada dasarnya Islam sangat membenci peperangan. Menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di tengah-tengah masyarakat, dalam islam dipandang sebagai pekerjaaan syetan. Islam justru memerintahkan untuk mengubah rasa benci dan takut menjadi rasa aman dan tenang. Allah berfirman :

“ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
( QS. An-Nur : 55 ).
Rasulullah sendiri mengajarkan pada kita agar mengendalikan nafsu bermusuhan dengan siapapun. Beliau bersabda :

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ حَرْبِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ يَعِيشَ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ مَوْلَى الزُّبَيْرِ حَدَّثَهُ أَنَّ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ….وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَفَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِمَا يُثَبِّتُ ذَاكُمْ لَكُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

Dari sini, dapat dipahami bahwa peperangan dalam islam bersifat defensive, bukan ofensif. Hal ini selaras dengan hadis di atas yang mewajibkan berperang (فَانْفِرُوا ) setelah dirasa perlu untuk melakukan peperangan, (اسْتُنْفِرْتُمْ وَإِذَا).
Imam an-Nawawi dalam dalam al-Minhaj bi Syarhi Shahih Muslim menjelaskan soal kewajiban berjihad dalam bentuk perang ini. Menurutnya, hukum berperang sebagaimana dalam hadis ini adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Selanjutnya, kewajiban tersebut menjadi fardhu ‘ain manakala musuh telah menduduki negri kaum muslimin.
I. Pesan Moral
Belakangan marak terjadi aksi-aksi teror seraya mengaku sebagai aksi jihad yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Dengan tidak mengesampingkan kesenjangan di berbagai bidang baik ekonomi, social maupun budaya sebagai imbas dari kepentingan politik global, diakui atau tidak aksi-aksi tersebut juga akibat dari lengahnya pemuka agama dalam memberikan pemahaman kepada umat.
Dalam hal ini, peran pemuka agama dalam upaya membendung aksi terror sangat penting. Bukan saja karena upaya membendung aksi tersebut dengan kekuatan militer dapat memancing aksi-aksi yang lain karena memunculkan dendam, namun usaha-usaha melalui dakwah dan mau’idzoh hasanah tentu lebih efektif, meskipun membutuhkan waktu yang lama.
Dalam kontekas ke-Indonesiaan, upaya ini tergolong mendesak melihat kenyataan bangsa ini yang majemuk, terdiri dari berbagai agama. Disamping perlunya penelitian yang lebih mendalam terkait konsep jihad dalam Islam, juga istilah-istilah sekitarnya seperti daaru al-Islam dan daaru al-Kuffar. Persoalan ini penting demi stabilitas Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.

DAFTAR PUSAKA


Muḫyi ad-Diyn bin Yahya bin Syarif al-Nawawi, al-Manhaj bi Syaraḫ Shaḫiḫ Muslim bin al-Ḫajaj, Bairot: Dar Ibn Ḫazm, 2002.

Abdul Ghafur, Waryono. TAFSIR SOSIAL : Mendialogkan Teks Dengan Konteks. Yogyakarta : eLSAQ press, 2005.

Shihab M., Quraish. LENTERA AL-QUR’AN : Kisah Dan Hikmah Kehidupan. Bandung : Mizan, 2008.

Al-Bukhori, Shahih Bukhari Mausu'atu al-Hadits as-Syarif, al-Baramij ad-Dauliyyah al-Islamiyyah. Global Islamic Software Company, 1991-1997.

At-Turmudzi, Sunan Tirmidzi Mausu'atu al-Hadits as-Syarif, al-Baramij ad-Dauliyyah al-Islamiyyah. Global Islamic Software Company, 1991-1997.

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud Mausu'atu al-Hadits as-Syarif, al-Baramij ad-Dauliyyah al-Islamiyyah. Global Islamic Software Company, 1991-1997.

http://www.al-ikhwan.net/namun-jihad-dan-niat-1529/

Ahmad Warson al-Munawir kamus al-munawir (Pustaka Progressif ).

http://id.wikipedia.org/wiki/Hijrah

http://id.wikipedia.org/wiki/Jihad.

http://id.wikipedia.org/wiki/Niat

Mazhab Tafsir Sufi

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit dan terikat oleh kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh suatu kosa-kata. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat maka muncul berbagai kitab atau penafsiran al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan penengetahuan, karena dalam al-Qur’an sendiri memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas.
Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan penafsiran al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak filasafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan dan yang lainnya.
Untuk itu dalam makalah ini, penulis akan mengangkat sekilas tentang masalah tafsir perspektif orang golongan ahli sufi atau aliran tasawuf

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Sufi
Kata sufi ini mempunya banyak pengertian salah satunya ialah bahwa suf (صوف) berasal dari madzi dan mudlari’ صاف يصوف yang mempunyai arti tenunan dari bulu domba (wol), merujuk pada jubah yang dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup sederhana. Namun, tidak semua orang sufi memakai jubah atau pakaian dari wol.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasala dari madzi dan mudlari’ صفا يصفو yang mempunyai arti jirnih, bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan jiwa. Dapat diambil kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme yaitu orang yang hidup sederhana, menjahui urusan dunia (zuhud) dan memurnikan hati hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Gerakan kaum sufi juga dikenal dengan tasawuf.
Penafsiran al-Qur’an, bentuk ataupun metode tafsir yang digunakan seorang tafsir akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuannya. Sehingga hasil dari penafsirannya itu sangat kental dengan bidang yang ia kuasai. Kecondongan ataupun karekteristik yang dipengaruhi oleh latar belakang mufassir dikenal dengan istilah corak (laun). Kata “laun” yang dalam arti dasarnya adalah warna, dipakai dalam bidang tafsir sebagai nuansa khusus atau karakter khusus yang yang memberikan pengaruh tersendiri dalam tafsir.
Tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.

B. Karakter Tafsir Sufi
Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik kepentingan politis semenjak ditinggal Nabi. Dismping perkatik semacam ini terus berlanjut tumbuh dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya.Itualah mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabah, ma’rifah, hulul dan wahdatul wujud.
Dengan demikian berkembanglah dua sayap sufisme dalam dunia Islam yaitu para praktisi yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah dan para teosof yang lebih memintingkan teori-teori mistis. Kedua model sufisme ini pada gilirannya membawa dampak tersendiri dalam dunia penafsiran sufistik ini yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir sufi nadhari dan tafsir sufi isyari.
1. Tafsir Sufi Nadhari
Tafsir sufi nadhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Az-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhari dalam praktiknya adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir tasawuf teoritis (nadhari) yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dalil al-Qur’an tentang paham ini diantaranya.
A. al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
Artinya:“Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku”.
Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi golongan ini adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
B. Surat al-Baqarah 115:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيم
Artinya: “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah.”
Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.

C. Surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد
Artinya: “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya dari pembuluh darah sendiri yang ada dilehernya”.
Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia.
Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas pahamnya. az-Zahabi berpendapat bahwa Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an telah keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, az-Zahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.
Sementara itu az-Zahabi juga menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nadhari yang dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhari sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Az-Zahabi memberikan contoh tafsir nadhari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al-’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam : ورفعناه مكانا عليا Menurut az-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lafazh makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang).
Kedua, di dalam tafsir nadhari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak dengan perkataan lain meng-qiyas-kan yang gaib pada nyataan.
Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir nadhari adalah hanya berdasarkan pada penafsiran takwil yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut hemat penulis tafsir nadhari pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir nadhari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara zhahir.
2. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna lahir (zhahir) dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash al-Qur’an yang hanya melihat zhahir-nya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’yi, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’yi (akal).
Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah metode isyarat (Isyarah). Isyarat di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan kata “Isyarat” adalah untuk membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka terhadap al-Qur’an tidak disebut sebagai tafsir, karena hal itu sama saja dengan membatasi makna al-Qur’an dengan cara pemaknaan dan penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya dengan “isyarah”.
Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an khusunya dan melihat dunia pada umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zhahir menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan zhahir (teks) adalah penyinar. Al-Gazali sendiri menegaskan bahwa selain yang zahir, al-Qur’an memiliki makna batin. Abdullah (Al-Muhasibi) memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zhahir adalah bacaanya sementara yang batin adalah pemahamannya.
Baik makna zhahir ataupun makna batin pada al-Qur’an adalah dari Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa umatnya, sedangkan batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena itu dulisme lahir-batin dalam wacana Al-Qur’an, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi zhahir dan batin (dan al-Qur’an termasuk makhluk). Yang zhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ruh al-Ma’nawi.
Semua tafsir isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufsir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.
1. Harus ada nas lain yang menguatkannya.
2. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
3. Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain makan zhahir.
Contoh penafsiran isy’ari yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah : فلا تجعلوا لله اندادا lafazh andadan, beliau al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr ayat 1 yang bunyinya: اذا جاء نصر الله والفتح di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan. ‘Umar ibn al-Khatab ketika mendengar ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah menyatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan ‘Umar ibn al-Khatab menangis, lantas Nabi bertanya: “apa yang kamu tangisi (‘Umar)” ? “saya menangisi bahwa sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi kecuali tambah berkurang”
Az-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :
1) Tafsir sufi nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
2) Dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.
Dalan sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin. Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat. Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat tersebut untuk menegtahui hikamah-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.
Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban, adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya. Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.


C. Kesimpulan
Penafsiran al-Qur’an, bentuk ataupun metode tafsir yang digunakan seorang tafsir akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuannya. Tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya.
Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam dengan praktik-praktik yang dilakukan oleh generasi awal Islam. Dengan demikian berkembanglah dua sayap sufisme dalam dunia Islam yaitu para praktisi yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah dan para teosof yang lebih memintingkan teori-teori mistis. Kedua model sufisme ini pada gilirannya membawa dampak tersendiri dalam dunia penafsiran sufistik ini yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir sufi nadhari dan tafsir sufi.
Tafsir sufi nadhari adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara. Sedangkan tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson al-Munawir kamus al-munawir, Pustaka Progressif .

Manna’ Khalil al-Qattan, trj. Mudzakir as, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Lintera Antara Nusa, 2007
Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.

Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Ignaz goldziher, Madzhab Tafsir jerj Alaika Salamulah et.al Yogya: eLSAQ Press, 2006.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme

http://uinsuka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=28

CD-ROM, al-Qura’an in World.

Pengikut