Selasa, 31 Maret 2009

Formula periwatan Hadits

FORMULA PERIWAYATAN HADITS

A. Pengertian Riwayat.

Hadits Nabi1 yang terhimpun dalam kitab-kitab Hadits, semisal Shahih al-Bukhari2 dan Shahih Muslim3, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayat al-Hadits atau al-riwayah4. Kata al-Riwayah adalah bentuk mashdar dari kata kerja rawa yang dapat berarti al-Khabar (Kabar, berita),5

Sedangkan menurut Syuhudi Ismail “yang dimaksud dengan al-riwayah secara istilah ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu”.6

Dalam proses periwayatan hadits perawi yang telah menerima hadits dari periwayat itu harus menyampaikan hadits tersebut kepada orang lain, jika perawi tidak menyampaikan hadits maka tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits. Dan juga harus menyebutkan rangkaian para peiwayatnya. Jadi ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits. Yakni:

a. kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits

b. kegiatan menyampaika hadits itu kepada orang lain

c. ketika hadits itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatan disebutkan.

Menurut Syuhudi Ismail “orang yang melakukan periwayatan hadits dinamai al-rawiy (periwayat), apa yang diriwayatkan dinamai al-marwiy, susunan rangkaian periwayat hadits dinamai sanad atau dapat juga disebut isnad dan kalimat yang disebutkan sesudah sanad dinamai matan. Kegiatan yang berkenaan dengan seluk-beluk penerimaan dan penyampaian hadits disebut dengan tahamul wa al-Ada’ al-Hadits7. Dengan demikian, seseorang barulah dapat dinyatakan sebagai periwayat hadits, apabila orang tersebut telah melakukan tahamul wa al-Ada’ al-Hadits dan hadits yang disampaikannya lengkap berisi sanad dan matan”.8

Sebagian ulama ada yang menghubungkan dan membandingkan persyaratan periwayatan hadits dengan kesaksian (al-Syahadah). Pendapat ini dapat dipahami karena periwayatan memiliki beberapa kesamaan dengan kesaksian, berikut juga memiliki perbedaan. kesamaan periwayatan dan kesaksian itu ada empat. Yakni: Beragama Islam, bersetatus mukalaf “baligh dan berakal”, bersifat adil9 dan bersifat dhabith10. Keempat hal ini berkaitan langsung dengan syarat sahnya pribadi periwayat dan saksi.

Sedangkan persyaratan periwayat dengan kesaksian menurut Syuhudi Ismail “mempunyai beberapa perbedaan. Umumnya berkisar enam masalah:11

  1. Periwayat boleh bersetatus merdeka atau hamba sahaya, sedang saksi haruslah hanya orang yang bersetatus merdeka saja.

  2. Periwayat, untuk berbagai macam peristiwa yang diriwayatkannya, dapat berjenis laki-laki ataupun perempuan, sedangkan saksi, untuk peristiwa-peristiwa tertentu, harus laki-laki.

  3. Periwayat boleh orang yang buta matanya, asalkan pendengarannya baik, sedang saksi tidak diperkenankan bermata buta.

  4. Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang dijelaskan dalam riwayat yang dikemukakannya, sedangkan saksi tidak sah bila memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang diberikan kesaksian perkaranya.

  5. Bilangan periwayat tidak menjadi persyaratan sahnya periwayatan, sedang saksi untuk peristiwa-peristiwa tertentu haruslah lebih dari satu orang.

  6. Periwayat dapat saja mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang disinggung dalam berita yang diriwayatkannya, sedangkan saksi dengan orang yang disebutkan dalam peristiwa yang disaksikannya tidak boleh terdapat permusuhan”.12

Dengan melihat perbedaan dan persamaan syarat bagi periwayat dan saksi, maka istilah periwayat dapat juga disebut saksi, seperti saksi atas berita yang diriwayatkannya, sebagaimana yang dikenal dalam ilmu sejarah, pengertian tersebut tidak dapat disamakan persis dengan istilah untuk kesaksian perkara. Jadi periwayatan dan kesaksian itu ada yang dapat disamakan pengertiannya ada juga yang tidak dapat disamakan.13

B. Model-model Periwayatan Hadits

Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw. Baik itu berup sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwalnya. Nabi dalam menyampaikan haditsnya itu menggunakan berbagai cara salah satunya yaitu dengan lisan atau pengajian di muka umum seperti.14

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ الْأَصْبَهَانِيِّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ ذَكْوَانَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِي قَالَتْ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ فَكَانَ فِيمَا قَالَ لَهُنَّ مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلَاثَةً مِنْ وَلَدِهَا إِلَّا كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنْ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ وَاثْنَتَيْنِ فَقَالَ وَاثْنَتَيْن (روه بخرى: كتاب العلم15(


Imam Bukhari menyatakan: telah menceritakan kepada kami dengan menggunakan metode sam’ Âdam dia berkata telah bercerita kepadaku Syu’bah berkata telah bercerita kepadaku ibn al-Ashbahani berkata aku mendengar Aba Shaliḫ Dzakwân bercerita dari Abi Sa’id al-Khudri Kaum wanita berkata kepada Nabi “kaum pria mengalah kan kami (untuk memperoleh pengajaran) dari Anda. Karena itu mohon anda meluangkan satu hari untuk kami (kaum wanita).” Maka Nabi menjanjikan satu hari untuk memberikan pengajaran kepada kaum wanita itu.( Dalam pengajian itu) Nabi bersabda kepada kaum wanita “tidaklah seseorang dari yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya, melainkan ketiga anak itu menjadi dinding baginya dari ancaman api neraka.” Seorang wanita bertanya, dan bagaimana jika yang mati dua anak saja. Nabi menjawab dan dua anak juga.”

Terkadang Nabi penyampaiankan haditsnya dengan cara taqri16. Seperti:

هَذَا التَّعْلِيق وَصَلَهُ أَبُو دَاوُدَ وَالْحَاكِم مِنْ طَرِيق يَحْيَى بْن أَيُّوب عَنْ يَزِيد بْن أَبِي حَبِيب عَنْ عِمْرَان بْن أَبِي أَنَس عَنْ عَبْد الرَّحْمَن بْن جُبَيْر عَنْ عَمْرو بْن الْعَاصِ قَالَ " اِحْتَلَمْت فِي لَيْلَة بَارِدَة فِي غَزْوَة ذَات السَّلَاسِل فَأَشْفَقْت أَنْ أَغْتَسِل فَأَهْلِك ، فَتَيَمَّمْت ، ثُمَّ صَلَّيْت بِأَصْحَابِي الصُّبْح . فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا عَمْرو صَلَّيْت بِأَصْحَابِك وَأَنْتَ جُنُبٌ ؟ فَأَخْبَرْته بِاَلَّذِي مَنَعَنِي مِنْ الِاغْتِسَال وَقُلْت : إِنِّي سَمِعْت اللَّه يَقُول : ( وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا ) فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا. (روه بخرى فى كتاب تيمم)


ketika ‘Amr bin al-’Ash menjadi panglima perang di peperangan Dzat as-Salazil, suatu malam ‘Amr bin al-’Ash bermimpi bersenggama dan keluar seperma. Ketika masuk waktu shubuh, ‘Amr lalu bertayamum dan tidak mandi jinabah karena udara terlalu dingin. Waktu itu ‘Amr. Dengan kejadian tersebut para shahabat melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi. Nabi segera meminta penjelasan kepada tentang hal tersebut. ‘Amr menjawab, bahwa pernah mendengar firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 29 yang berbunyi: وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا”.17 Mendengar penjelasan tersebut Nabi hanya tersenyum saja dan tidak memberi komentar apa-apa.18

Kediaman Nabi dalam menanggapi apa yang dilakukan oleh ‘Amr bin al-’Ash itu merupakan taqrir (ketetapan) Nabi yang menunjukkan kebolehan mandi jinabah digantikan dengan tayamum. Semestinya orang dalam kondisi mempunyai hadats besar bila inggin melaksanakan shalat, maka harus mandi dulu untuk menghilangkan hadatsnya karena ditempat itu terdapat air. Dengan keteetapan Nabi tersebut menunjukkan bahwasannya dalam kondisi cuaca dingin orang yang berhadats besar, mandi jinabah-nya boleh digantikan dengan ber-tayamum, hal tersebut dilakukan agar dapat melaksanakan shalat.

Hadits dapat juga kandungannya berisi tentang kondisi atau hal ihwal Nabi seperti hadits yang menggambarkan keadaan Beliau.19

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِيرِ (روه بخرى: فى كتاب المناقب)20

Imam Bukhari menyatakan: telah menceritakan kepada kami dengan menggunakan metode sam’ Aḫmad bin Sa’id Abu ‘Abdillah telah bercerita kepadaku dengan menggunakan metode sam’ Isĥaq bin Mansur telah bercerita kepadaku Ibrahim bin Yusuf dari bapaknya dari abi Isĥaq berkata aku mendengar al-Barâ berkata “Rasulullah saw. Adalah seorang yang elok wajahnya dan merupakan ciptaan (Tuhan) yang bagus, postur tubuhnya tidak terlalu jangkung dan juga tidak pendek



Proses memperoleh dan menyampaikan hadits Nabi pada zaman Nabi, zaman shahabat tidaklah sama. Demikian pula peroses memperoleh dan menyampaikan hadits Nabi pada zaman sesudah sahabat.

  1. Periwayatan Zaman Nabi

Sahabat dalam mendapatkan hadits Nabi sangatlah antusias. Kegigihan mendapatkan hadits Nabi terlihat seperti yang dilakukan ‘Umar ra dengan tetangga ansharnya. Ditenggah-tengah kondisi kesibukan menjalankan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti berdagang, mengembala hewan dan usaha yang lain-lainnya. Para shabat masih tetap menyempatkan diri dan bergantian menghadiri majlis pengajian Rasulullah. Dimana yang dapat menghadiri majlis tersebut menceritakan kepada shahabat yang tidak dapat menghadiri tersebut. 21 Melihat peistiwa di atas bahwasannya hadits yang diketahui oleh sahabat tidak seluruhnya didapatkan langsung dari Nabi. Tapi, ada juga yang melalui sahabat yang lain.

Menurut Syuhudi Ismail “minat sahabat dalam menerima dan meriwatkan hadits berdasrkan petunjuk Allah Qur’an menyatakan bahwasannya Nabi Muhammad adalah (uswah al-Hasanah) panutan utama yang harus harus diikuti dan ditaati bagi orang yang beriman,22 Allah juga memberikan penghargaan yang tinggi bagi yang berpengetahuan,23 Nabi memerintahkan para sahabat menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan “boleh jadi orang yang tidak hadir lebih paham daripada mereka yang hadir”, perintah nabi ini mendorong sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh”.24

  1. Periwayatan Zaman Sahabat

Penerimaan dan periwayatan hadits Nabi pada masa ini dilakukan oleh para sahabat dengan sangat selektif. Hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran shahabat bahwa orang-orang yang banyak meriwayatkan hadits mudah terglincir karena salah atau lupa, yang pada gilirannya mereka akan berdusta atas nama Rasulullah dengan tanpa disadari. Lebih-lebih pada waktu itu para shahabat sangat besar perhatiannya dalam menghapal al-Qur’an dan tidak ingin perhatiannya terganggu oleh urusan lain.25

Kehati-hatian sahabat dalam meriwayatkan sebuah hadits ditunjukkan khulafa ar-Rasyiddin dimana sesorang dilarang memperbanyak meriwayatkan hadits tujuannya adalah agar periwayat berlaku selektif dalam meriwayatkan hadits, dimana seseorang yang meriwatkan hadits haruslah menghadirkan saksi atau pengucapakan sumpah, sedangkan bagi periwayat yang dinilai memiliki kridibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban mengajukan saksi atau bersumpah.

Riwayat hadits yang diriwayatkan khalifah sebelum Aliy seluruhnya dalam bentuk lisan. Hanya masa kekhalifahan Aliy yang meriwayatkan hadits secara tulisan, disamping secara lisan. Kehati-hatian menerima dan meriwayatkan hadits ini bukan hanya khusus pada sahabat khulafa ar-Rasyiddin. Tetapi, juga sahabat yang lainnya.26

  1. Periwayatan Pasca Sahabat

Sikap hati-hati dalam periwayatan hadits dari kalangan ulama pada masa setelah shahabat terlihat tidak jauh berbeda dengan sikap hati-hati para sahabat Nabi. Disamping itu kegiatan periwayatan hadits tampak semarak di mana-mana. Seperti halnya yang dilakukan oleh Sa’id bin al-Musayyab (wafat 94 H/ 712M) tabiin besar dikota Madinah, mengaku telah mengadakan perjalanan siang-malam untuk mendapatkan sebuah hadits.

Begitu juga yang dilakukan Abu ‘Amr ‘Abd ar-Rahman bin ‘Amr al-Awzai (wafat 234 H/ 848 M) menyatakan, “apabila dia dan ulama sejawatnya menerima riwayat hadits, maka hadits itu diteliti bersama. Apabila para ulama menyimpulkan bahwa riwayat itu memang hadits Nabi, maka al-Awzai mengambilnya dan apabila para ulama tersebut mengingkarinya, maka ditinggalkannya”.27

Sikap serius dan hati-hati generasi atba’ atba’ at-Tabi’in digambarkan oleh al-Bukhari, dimana al-Bukhari telah melawat untuk mencari dan meneliti hadits Nabi ke berbagai kota dan daerah-daerah, diantaranya Mekah, Madinah, Syam, Baghdad, Wasith, Kufah, Bashrah, Mesir, Naysabur, Khurasan dan lain-lain.

Al-Bukhari pernah secara mendadak diuji di muka umum oleh ulama Baghdad, al-Bukhariy tanpa persiapan disodori seratus hadits yang ditukar-tukarkan sanad dan matannya. Lalu al-Bukhari diminta oleh hadirin yang diantaranya adalah ulama hadits, untuk mengembalikan sanad dan matannya yang telah sengaja ditukar-tukarkan itu. Pada saat itu juga tanpa dibantu oleh catatan dan orang lain, al-Bukhari mampu dengan lancar mengembalikan sanad dan matan yang telah ditukar-tukrkan tersebut ke persambungannya masing-masing secara benar. Hal ini menunjukkan betapa tinggi tingkat penguasan dan hafalan al-Bukhari tentang matan dan sanad hadits yang diriwayatkannya.28

C. Macam-macam Periwayatan Hadits

Dalam sejarah perjalanan hadits diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah saw. Periwayatan hadits itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi tetapi disandarkan kepada Nabi.29dalam periwayatan sebuah hadits dikenal dua macam cara yaitu riwayah bil lafadz dan riwayah bil makna. Cara yang pertama yaitu, perawi meriwayatkan ucapan Rosulullah SAW. sesuai dengan yang ia dengar tanpa merubah redaksi matannya. Sedangkan cara yang kedua yaitu riwayah Bil ma’na, perawi meriwayatkan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya30.

  1. Periwayatan Hadits Dengan Lafazh

Menurut Syuhudi Ismail “ada beberapa beberapa faktor yang memberi peluang bagi para perawi untuk meriwayatkan sabda Nabi dengan secara lafazh yaitu:

1) Nabi dikenal fasih dalam berbicara dan isi pembicaraannya berbobot. Dimana bahasa (dialek) Nabi menyesuaikan kemampuan intelektual dan latar belakang orang yang mendengar seperti contoh. Ketika Ashim al-Asy’ari (suku al-Asy’ari) bertanya kepada Nabi tentang hukum orang yang berpuasa dalam perjalanan, Nabi menjawab. "ليس من ام بر ام صيام في ام سفر" dalam riwayat lain Nabi menyampaikan sabda yang sama dengan dialek yang baku (fushhah)31 "ليس من البر الصيام في السفر",32

2) Orang-orang Arab sejak dahulu hingga sekarang dikenal sangat kuat hafalannya, bahkan kalangan sahabat Nabi ada yang dikenal dalam dengan sungguh-sungguh dalam menghafal hadits Nabi seperti. ‘Abd Allah bin Umar bin Khatab,

3) Untuk sabda-sabda tertentu Nabi menyampaikannya dengan diulang-ulang. Tidak jarang pula diterangkan dengan rinci masalah yang diterangkannya.

4) Tidak sedikit sabda Nabi yang disampaikan dalam bentuk jawami’ al-Kalim, yakni ungkapan pendek tetapi sarat makna33. Misalnya. "الحرب خدعه"”.34

  1. Periwayatan Hadits Dengan Makna

Faktor yang mendukung adanya hadits Nabi yang diriwayatkan secara lafazh oleh oleh para ulam ahli hadits, hanyalah hadits yang dalam bentuk sabda. Sedang hadits Nabi yang berupa perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifatnya, hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan secara makna. Hadits yang dalam bentuk sabda pun terkadanga sulit seluruhnya diriwayatkan secara lafazh. Kesulitan periwayatan secara lafazh bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin seluruh saabda itu dihapalkan secara lafazh karena kemampuan hapalan dan tingkat kecerdasan sahabat Nabi tidak sama.35


D. Sertifikasi Akademik Tentang Periwayatan Hadits

Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menyikapi riwayat bil ma’na. Sebagian dari mereka menolak periwayatan bil ma’na, sedangkan mayoritas ulama yang lain membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Mereka yang menolak periwayatan hadits bil makna beralasan bahwa, riwayat bil ma’na dapat merubah makna hadits. Sebab perawi berusaha mencari lafazh-lafazh yang semakna dengan lafazh hadits, sedangkan makna lafazh-lafazh itu dapat berbeda-beda. Mungkin saja perawi lupa akan sebagian makna yang samar serta terkadang menambah redaksi matan dan terjerumus pada kesalahan36.

Para ulama juga mengajukan dalil-dalil yang membuktikan bahwa meriwayatkan hadits haruslah bil lafd, yaitu :

  1. Sesungguhnya syari’at yang datang terhadap segala hal yang dimaksudkan adalah menyampaikan lafazh dan maknanya secara keseluruhan, seperti takbir, tasyahud, adzan, syahadat. Maka sebaiknya meriwayatkan hadits itu dengan lafazhnya.

  2. Sabda Rasulullah saw. :

نضر الله إمرأ سمع منّا حديثافبلغه كما سمع منا37

Allah memuji orang yang mendengar hadits dari saya kemudian menyampaikan seperti apa yang didengarnya”

Dalam hadits tersebut ada kata-kata “menyampaikan seperti apa yang didengarnya” sehingga berdasarkan hadits tersebut periwayatan hadits redaksinya dituntut harus sama persis.38

  1. Hadits dari Barro’ bin ‘Azib yang menceritakan bahwa ia diajari doa sebelum tidur oleh Rosulullah saw. Dalam hadits tersebut Barro’ mengganti kata Nabiyyika dengan kata Rasulika, dan Rasulullah menolaknya.39

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَتَكَلَّمُ بِهِ قَالَ فَرَدَّدْتُهَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا بَلَغْتُ اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ قُلْتُ وَرَسُولِكَ قَالَ لَا وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ


Berdasarkan hadits tersebut dapatlah dipahami, bahwasannya mengganti lafazh yanh semakna saja tidak diperbolehkan, di mana kata Nabiyyika, dan lafazh Rasulika dapatlah menunjukkan arti yang sama.

  1. Sabda Rasulullah saw. Yang menjelaskan tentang rukun islam dan sabda tersebut dirubah susunan lafazhnya:

قَالَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ فَقَالَ رَجُلٌ الْحَجُّ وَصِيَامُ رَمَضَانَ قَالَ لَا صِيَامُ رَمَضَانَ وَالْحَجُّ هَكَذَا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (روه بخرى فى كتاب ايمان)40


Ketika susunan lafazh hadits tersebut dirubah oleh seorang, dari lafazh shiyâm ramadlân yang asal susunannya didahulukan lalu diakhirkan dan lafazh al-ḫaj asalnya akhirkan lalu didahulukan, oleh Nabi hal tersebut tidak diperbolehkannya.41

Sedangkan sebagian lain dari ulama’ yang membolehkan riwayat bil makna bertendensikan pada beberapa hujjah, yaitu :

  1. Hadits dari Ya’qub bin ‘Abdillah :

قلنا لرسول الله صم بأبينا أنت وأمنا يا رسول الله إنا سمعنا الحديث فلا نقدر على تأديته كما سمعناه قال : إذا لم تحلوا حراما ولا تحرموا حلا لا فلا بأ س

Oleh as-Sakhâwi hadits ini dinilai mudltharrib42, tidak shahih. Tanpa melihat dari kualitasnya bahwasanya hadits ini sering di jadikan dasar periwayatan hadits dengan menggunakan makna oleh para ulama hadits43

  1. Diperbolehkannya memindah hadits Nabi dengan bahasa selain bahasa arab bagi orang yang menguasainya, untuk disampaikan kepada umat-umat selain bangsa Arab, dan hal itu telah disepakati. Maka mengganti lafazh hadits yang berbaha Arab dengan lafazh yang selain berbahasa Arab tentu itu lebih utama.

  2. Yang dilarang menurut syara’ adalah berdusta kepada Nabi dan membelokkan hadits. Adapun memindahkan secara makna serta menjaga makna-maknanya, maka hal ini boleh. Hal ini didukung oleh kisah-kisah para nabi dalam Al-Qur’an dengan bahasa arab dengan susunan yang berubah-ubah pada bahasa kaum para nabi yang dibicarakan.

Imam Syafi’i membolehkan riwayat bil makna berdasarkan pada hadits yaitu:44

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ )45روه بخرى)

sesungguhnya al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf , maka bacalah menurut yang kalian anggap mudah”

Dengan berdasar hadits tersebut Imam asy-Syafi’I berpendapat kebolehan membaca Al-Qur’an dengan bacaan (qiraah) yang berbeda-beda tapi sama maknanya, itu menunjukkkan bahwa selain al-Qur’an juga boleh diriwayatkan dengan menggunakan lafdz yang yang berbeda dengan makna yang sama.46

E. Syarat-syarat Perawi Matan Hadits

Disamping itu, para ulama ahli hadits juga mengajukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh perawi yang akan meriwayatkan hadits dengan makna. Syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang rawi dalam riwayat bil makna antara lain :

  1. Diperperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafadz yang telah didengarnya, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.47

  2. Memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam serta kekhususan48 dan kaidah-kaidahnya,49dan tidak dikhawatirkan akan menyimpangkan arah makna hadits.50

  3. Mengetahui tema hadits yang diriwayatkan dan mengetahui maksud sabda Rasulullah.

  4. Menguasai ilmu-ilmu syari’at, ilmu fiqh dan ushul fiqh, hal tersebut agar rawi dapat mengetahui hadits-hadits tentang masalah syar’iyah.

Ar-Ramharmazi berkata: “ Komentar as-Syafi’i tentang sifatnya ahli hadits, menunjukkan bahwa as-Syafi’I memperkenankan riwayat bil makna apabila perawi menguasai bahasa arab dan tujuan khithabnya, menguasai ilmu ma’ani dan ilmu fikih, mengetahui sesuatu yang bisa merubah makna hadits. Maka perawi yang seperti ini boleh meriwayatkan bil makna karena terjaga dari merubah makna dan menghilangkan hukum-hukumnya.51

Sedangkan kriteria matan52 hadits yang boleh diriwayatkan dengan riwiayat bil makna adalah sebagai berikut:

a. Matan menunjukkan makna yang jelas dan tidak menerima ta’wil53 sama sekali, seperti lafazh yang mufassar54 dan muhkam55. Matan ini boleh diriwayatkan dengan makna bagi setiap orang yang menguasai bahasa, karena tidak mengandung kerancuan makna pada lafazh tersebut disebabkan tidak menerima ta’wil atau takhshish56 sama sekali.

b. Matan yang mengandung ta’wil secara dlahir dilalahnya (penunjukan lafazhnya) seperti lafazh nash57 dan lafazh dlahir58, ini boleh diriwayatkan dengan makna oleh orang-orang yang ahli dalam bidang fikih.

c. Matan yang membutuhkan ta’wil untuk mengamalkannya seperti lafazh musykil59 dan lafazh musytarak. Matan yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan secara makna sama sekali.

d. Matan yang tidak dapat dimengerti dengan ta’wil akan tetapi dalam menjelaskannya butuh terhadap pendengaran, seperti lafazh mujmal60. Matan ini boleh diriwayatkan dengan makna setelah mendengarkan dan mendapatkan penjelasan dari mutakallim (yang berbicara).

e. Matan yang tidak diketahui sama sekali, seperti lafazh yang mutasyabih61 dan jawami’ulkalim (padat makna). Matan di atas tidak boleh diriwayatkan dengan makna. Adapun lafazh yang mutasyabih karena maknanya memang tidak jelas, sedangkan jawami’ulkalim karena Rasulullah telah mengkhususkannya, maka tidak mungkin menyampaikan yang seperti itu selain dari Rasulullah.62

f. Matan hadits yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya ta’abudi, misalnya dzikir, do’a, adzan, takbir.

g. Matan hadits yang diriwayatkan secara makna atau yang mengalami keraguan akan susunan matan hadits yang diriwayatkan, maka ditambahkan kata-kata اوكما قال, atau اونحو هذا atau yang semakna dengannya, setelah mengucapkan matan haditsnya.

  1. Matan yang diriwayat dengan makna harus sesuai dengan makna asal, dengan tanpa menambah atau mengurangi kandungan maknanya.

  2. Makna matan harus sama dalam jelas dan samarnya. ketika matan yang jelas maknanya diganti dengan yang samar maknanya atau sebaliknya, maka menurut pendat yang ditarjih hal tersebut akan menimbulkan konsepsi hukum baru ketika terjadi pertentangan.63

Menurut Syuhudi Ismail “boleh dan tidaknya meriwayatkan hadits secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadits-hadits Nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (tadwin) hadits, periwayatan hadits harus secara lafal”.64

E. Statmen Ulama Tentang Polemik Periwayatan Hadits

Para ulama melihat polemik boleh tidaknya meriwayatkan hadits dengan menggunakan makna ini terbagi menjadi tiga golongan:

  1. Golongan mutasyaddidin

Golongan ini bersikap sangat keras dalam urusan riwayat, tidak diperbolehkan seseorang meriwayatkan selain apa yang dihafalkan dan yang masih diingat benar.akan tetapi, hanya sebagian saja yang berada dalam klompok ini, diantaranya ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Abd Allah bin ‘Umar bin al-Khaththab, Zayd bin Arqam, abu Hanifah, Malik ibn Anas.

Walaupun demikian, para ulama yang ketat berpegang pada periwayatan secara lafazh itu tidaklah melarang secara tegas ulama yang lain meriwayatkan hadits secara makna.65

  1. Golongan Mutasâhilin

Klompok ini memperbolehkan berpegangan kepada tulisan, belum disesuaikan dengan naskah asli. Diantara orang-orang mutasâhilin yang berpendapat demikian ibn Lahi’ah. Suatu hari ada seorang laki-laki yang datang kepada ibn Lahi’ah dengan membawa buku, kemudian berkata “buku ini adalah hadits tuan” lalu laki-laki tersebut meriwayatkan hadits yang disandarkan kepadanya.

  1. Golongan Mutawasithin

Golongan ini membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna, yang hadits tersebut diterimanya dari guru atau yang dipelajari sendiri. Dengan syarat berkeyakinan tidak akan merubah makna yang terkandung dalam hadits itu. Apalagi orang tersebut tidak dikhawatirkan akan mengganti makana hadits. bahwasannya golongan ini memperbolehkan meriwayatkan hadits dengan menggunakan makna dengan apabila menetapi syarat-syarat yang telah ditentukan.66

F. Bentuk-bentuk Matan Yang Diriwayatkan Dengan Makna

Hadits yang diriwayatkan dengan makna adalah hadits yang kandungan maknanya sama akan tetapi redaksi matannya berbeda-bada. Seperti

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه{ رواه البخاري: بدء الوحي}67

Artinya:Imam Bukhari menyatakan: telah menceritakan kepada kami dengan menggunakan metode sam’ Humaydi ‘Abdullah bin al-Zubayr; Humaydi berkata telah bercerita kepadaku Sufyan, sufyan berkata telah bercerita padaku Yahya bin al-Anshari; yahya brkata telah memberi khabar kepadaku Yahya bin Sa’id al-Anshari, telah memberi khabar padaku Muhammad ibnu Ibrahim at-Taymi sebenernya dia mendengarkan ‘Alqamah bin waqash al-Laytsi berkata; aku mendengarkan ‘Umar bin al-Khathab ra, di atas mimbar berkata bahwa dia mendengar rasulallah SAW telah bersabda, “ sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal bergantung pada niat. Dan yang dianggap bagi amal tiap orang apa yang ia niatkan. Maka barang siapa berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulallah, maka hijrah itu diterima oleh Allah dan Rasulallah dan barang siapa yang hijrah karena keuntunggan dunia yang di kejarnya, atau karena perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya berhenti pada apa yang ia niat akan hijrah kepadanya.”(HR. Bukhari).

  1. Dalam riwayat al-bukhari yang lain :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ يَقُولُ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ { رواه البخاري: النية في الإيمان}



  1. Dalam riwayat al-bukhari yang lain :


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه{ رواه البخاري: ما جاء انالاعمال بالنيات}


  1. Dalam riwayat al-bukhari yang lain :


حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ هُوَ ابْنُ زَيْدٍ عَنْ يَحْيَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ { رواه البخاري: هجرة النبي}


  1. Dalam riwayat al-bukhari yang lain:


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ عَنْ سُفْيَانَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ { رواه البخاري: الخطاء والنسيان}68



Redaksi matan hadits yang pertamaa: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal bergantung pada niat. Dan yang dianggap bagi amal tiap orang apa yang ia niatkan.”

Redaksi matan hadits yang (a): إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى

sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal bergantung pada niat. Dan yang dianggap bagi amal orang apa yang ia niatkan.”

Redaksi matan hadits yang (b): الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sah atau tidaknya suatu amal bergantung pada niat. Dan yang dianggap bagi amal setap orang apa yang ia niatkan.”


Redaksi matan hadits yang (c): الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

amal itu bergantung pada niat.”

Redaksi matan hadits yang (d): الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِامْرِئٍ مَا نَوَى

Amal itu bergantung pada niat. Dan yang dianggap amal orang apa yang ia niatkan.”


Walaupun lima hadits diatas berbeda-bedanya redaksi matan, akan tetapi kandungan makna dari hadits tersebut itu sama. Bahwasannya bagus tidaknya sebuah amal seseorang, atau sah tidaknya amal itu diukur dari niat seseorang tersebut, bukan dilihat dari keadaan amal seseorang. Ketika sebuah amal itu baik tanpa dibarengi baiknya amal, maka amal tidak dapat dikatakan baik.


PENUTUP


al-riwayah yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan hadits atau periwayatan sesuatu yang diriwayatkan, sedangkan menurut Istilah ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.

dalam periwayatan sebuah hadits dikenal dua macam cara yaitu riwayah bil lafdz dan riwayah bil makna. Cara yang pertama yaitu, perawi meriwayatkan ucapan Rosulullah SAW. sesuai dengan yang ia dengar tanpa merubah redaksi matannya. Sedangkan cara yang kedua yaitu riwayah Bil ma’na, perawi meriwayatkan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya. Periwayatan yang pertama adalah periwayatan yang pokok.

Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menyikapi riwayat bil ma’na. Sebagian dari mereka menolak periwayatan bil ma’na, sedangkan mayoritas ulama yang lain membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Mereka yang menolak periwayatan hadits bil makna beralasan bahwa, riwayat bil ma’na dapat merubah makna hadits. Sebab perawi berusaha mencari lafazh-lafazh yang semakna dengan lafazh hadits, sedangkan makna lafazh-lafazh itu dapat berbeda-beda. Mungkin saja perawi lupa akan sebagian makna yang samar serta terkadang menambah redaksi matan dan terjerumus pada kesalahan.

DAFTAR PUSTAKA


ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan denagn Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: al-Ma’arif, 1974.

Abu ‘Abdilah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari Shaḫiḫ Bukhari. (CD-ROM: Maktabah Syamilah II).

Akhdlori, Imam, Ilmu Balaghoh, terj, Moch Anwar Bandung: al-Ma’arif, 1989.

ath-Thaḫân, Maḫmûd, Taysir Mushthalaḫ al-ḫadits, Surabaya: al-Hidayah, tt.

Anwar, Rosihon Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006.

al-Munawir , Ahmad Warson, kamus al-munawir, Pustaka Progressif .

Itr , Nuruddin, Ulum al-Hadits 1, terj. H. Endang Soetari dan Mujiyo, Bandung : Remaja Rosda Karya, 1995.

al-Zuhayli,Wahbah, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Bairut: Dar al-Fikr, 2003.

al-Zuhayli, Wahbah, Ushul al- Fiqh al-Islami, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001. juz 1

Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid at-Taḫdits min Funun Mushthalaḫ al-Ḫadits, tp: Dar al-hya’ al-Kutub al-Arabiyah, tt.

al-Khatib, Muhammad ‘Ajjâj, ushul al-hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Jidah: Dar al-Manar, 1994.

Zuhri, M, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya 2003.

as-Suyuthi, Abi Bakar, Tdrib ar-Rawi fi Syaraḫ Taqrib an-Nawawi, Bairut: Dar al-Fikr, 1988.

al-Jawabi, Muhammad Thahir, Juhud al-Muḫaditsin fi Naqd Matan al-Ḫadits an-Nabawi asy-Syarif, Bairut: Dar al-Fikr, 1983

http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/hadits-riwayah/, diakses 21-maret-2009.

http://library.usu.ac.id/download/fs/arab-rahimah4.pdf


1 Ḫadits menurut bahasa adalah baru, sedangkan menurut istilah yaitu segagala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Baik itu berupa ucapan, tindakan, ketetapan, atau sifat Nabi. Maḫmûd ath-Thaḫân, Taysir Mushthalaḫ al-ḫadits (Surabaya: al-Hidayah, tt) 15.

2 Kitab tersebut adalah karya Abu ‘Abdilah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzibah, merupakan tokoh ahli hadits yang sangat terkenal kelahiran Bukhara. Suatu kota di Uzbekistan, wilayah Uni Sovyet, yang merupakan simpang jalan antara Rusia, Persi, Hindia dan Tiongkok. Beliau lebih terkenal dengan nama Bukhari (putra daerah Bukhara). Lahir pada tanggal 13 bulan Syawal tahun 194 H/810 M. Meninggal tahun 252 H/870 M. Dalam kitab tersebut terkumpul hadits-hadits shaḫiḫ semuanya, yang proses pengumpulannya dipersipkannya selama enam belas tahun. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalah al-Hadits (Bandung: al-Ma’arif, 1974), 375-378.

3 Nama kitab tersebut merupakan karya Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj al-Qusyairi. Beliau disebangsakan Naysaburi karena lahir Nisabur, pada tahun 240 H/820 M. yakni kota kecil di Iran bagian Timur Laut. Beliau wafat tahun 261 H/875 M. pandangan ulama hadits dalam menggapi kitab tersebut, bahwaasannya kitab shahih ini belum pernah didapati sebelum dan sesudahnya dalam segi tertib susunannya, sistematis isinya, tidak bertukar-tukar dan tidak berlebih dan juga tidak berkurang sanadnya. Secara globalkitab ini tidak ada bandingannya di dalam ketelitian menggunakan sanad. Ibid, 378-380.

4 Kata al-Riwayah yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan hadits atau periwayatan sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga dapat disebut dengan riwayat. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan denagn Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 23.

5Ahmad Warson al-Munawir kamus al-munawir (Pustaka Progressif ), 590.

6 Ibid.,

7 Tahamul merupakan kegiatan penerimaan hadits, Sedangkan al-Ada’ al-Hadits merupakan kegiatan penyampaian hadits. Penayampaian hadits seseorang dapat diterima apabila orang tersebut Islam, baligh, adil, dhabith. Para muhadditsin berbeda pendapat dalam menentukan sah tidaknya anak yang masih kecil (belum tamyiz), orang kafir dan orang fasik untuk meriwayatkan hadits yang diterima dari Nabi saw. Tetapi, menurut kebanyakan ulama hadits berpendapat, bahwa seseorang yang menerima hadits sewaktu masih anak-anak atau masih dalam keadaan kafir atau dalam keadaan fasik dapat diterima periwayatannya, bila disampaikannya setelah masing-masing dewasa, memeluk agama Islam dan bertaubat.

Bentuk-bentuk tahamul dan al-Ada’ al-Hadits itu ada beberapa macam-macam. Pertama, as-Sima’ di mana murid mendengar langsung dari guru, baik dengan cara siguru membacakan hadits yang dihafal atau membacakan catatannya. Penyampaian hadits dengan metode sama’ itu dengan dengan menggunakan lafazh ,سمعت أخبرنى ,ذكرلنا ,قال لنا ,أخبرنا ,حدثنا,. Kedua, al-Qira’ah ala asy-Syekh atau ‘ardl di mana murid membaca dihadapan guru atau murid mendengarkan orang lain membaca dihadapan gurunya. Periwayatan hadits metode ini dengan menggunakan lafazh عليه قرأت, حدثنا قراءة عليه, قرء على فلان وانااسمع, حدثنااواخبرناقرأة عليه. Ketiga, al-Ijazah pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits yang diriwayatkannya, atau kitab-kitabnya. Model periwayata haditsnya menggunakan lafazh خبرنا, حدثناإجازة, أجازلى, أنبأنى إجازة. Keempat, al-munawalah, guru memberikan sebuah naskah hadits yang sudah dikoreksinya kepada muridnya untuk diriwayatkan, model munawalah ini ada dua: ada yang bersamaan ijazah dan ada yang tidak bersamaan ijazah, sedangkan menurut kebanyakan ulama periwayatan hadits yang dapat diterima adalah yang pertama. Lafazh penyampaian hadits model ini menggunakanاجزت ماكتبت به اليك, نولنى, نولنا. Kelima, al-Muakatabah (korespondensi) dimana guru menuliskan hadits atau menyuruh orang lain menulis hadits di hadapannya. Begitu juga munawalah, mukatabah itu ada dua: bersamaan ijazah dan tidak, menurut kebannyakan ulama kedua model mukatabah ini hukumnya sah. Penyampaian hadits model ini menggunakan lafazh كتب الي فلان, أخبرنى به مكاتبا. Keenam, I’lam asy-Syekh pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits atau kitab merupakan riwayatnya yang didapat dari seseorang, dengan tanpa menyuruh murid meriwayatkannya. Kebanyakan ulama membolehkan meriwayatkan hadits dengan cara i’lam. Lafazh periwayatan hadits dengan metode ini adalah أعلمنى فلان قال حدثنا. Ketujuh, al-Washiyyah pesan seseorang dikala akan mati atau bepergian agar supaya kitabnya diriwayatkan, menurut jumhur ulam boleh mengamalkan hadits dengan model ini asalkan bersamaan ijazah, namun sebagian ulama tindak menyaratkan ijazah dalam mengamalkan hadits yang didapat dari wasiat. Periwayatn hadits dengan metode ini lafazhnya ialah أوصى إلي. Kedelapan, al-wijadah menemukan teks hadits seseorang tanpa melalui sama’ atau ijazah. Para ulama bebeda pendapat dalam menerima hadits yang diriwayatkan dengan model wijadah. Para muhaditsin besar dan ulama Malikiyah tidak memperbolehkan, sedangkan ulama Syafiiyah membolehkan. Bentuk lafazh periwayatan hadits dengan model wijadah ialah وجدت بخط فلان حدثنا فلان. Muhammad ‘Ajjâj al-Khatib, ushul al-hadits Ulumuh wa Mushthalahuh(Jidah: Dar al-Manar, 1994), 233-258. Lihat Rahman, Mushtalah al-Hadits, 241-251. Lihat juga Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, 58-73.

8 Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, 24.

9 ‘Adil, ialah: orang yang lurus agamanya, bagus budi pakertinya, selamat dari fasik dan hal-hal yang menjatuhkan keperwiraannya. Ajjaj al-Khatib, ushul al-hadits. 320.

10 Dhabith, adalah: oarang yang benar-benar sadar ketika menerima hadits, paham ketika mendengarnya dan hafal hadits sejak menerima dan menyampaikannya. Ajjaj al-Khatib, ushul al-hadits. 320.

11 Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis. 24.

12 Ibid., 25.

13 Ibid.,

14 Ibid., 30

15Abu ‘Abdilah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari Shaḫiḫ Bukhari. (CD-ROM: Maktabah Syamilah II).

16 Apa yang telah dikatakan atau dilakukan shahabat dihadapan Nabi atau dimasa Nabi, yang tersebut mengetahuai hal tersebut dan Nabi mendiamkan, tidak melakukan sanggahan atau menyetujuinya. Rahman, Mushtalah al-Hadits, 24.

17Dan janganlah kamu membunuh dirimu[]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. Al-Qur’an In World, CD ROM.

18 Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, 33.

19 Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, 31-34.

20 al-Bukhari Shaḫiḫ Bukhari. (CD-ROM: Maktabah Syamilah II).


21 ‘Ajjaj al-Khatib, ushul al-hadits. 76

22 Lihat al-Qur’an surat al-ahzab: 21, al-Qalam: 4, Ali Imran: 132, al-Anfal:46, an-Nur: 54-56, dan al-Hasyr: 7.

23 Lihat a-Qur’an surat al-Alaq: 1-5, al-Zumar: 9.

24 Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, 39.

25 Nuruddin Itr , Ulum al-Hadits 1, terj. H. Endang Soetari dan Mujiyo.( Bandung : Remaja Rosda Karya, 1995), 37.

26Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, 49.

27 Ibid., 53.

28 Ibid., 54.

29 M.Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya 2003), 111-112.

30 Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, 50.

31Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, 77.

32Bukankah suatu kebajikan, orang berpuasa dalam perjalanan”

33Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, 78-79.

34perang itu siasat

35Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, 77.

36 Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muḫaditsin fi Naqd Matan al-Ḫadits an-Nabawi asy-Syarif (Bairut: Dar al-Fikr, 1983),216-217.

37Allah memuji orang yang mendengar hadits dari saya kemudian menyampaikan seperti apa yang didengarnya”

38 Muhammad Luqman as-Salafi, Ihtimâm al-Muḫaditsin bi Naqd al-Ḫadits Sanad wa Matan (tt, tp, 1987), 337. lihat Itr , Ulum al-hadits, 112. Lihat juga Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid at-Taḫdits min Funun Mushthalaḫ al-Ḫadits (tp: Dar al-hya’ al-Kutub al-Arabiyah, tt), 225.

39 ltr, Ulum al-hadits, 112.

40Abu ‘Abdilah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari Shaḫiḫ Bukhari. (CD-ROM: Maktabah Syamilah II).

41 al-Jawabi, al-Ḫadits an-Nabawi asy-Syarif, 210.

42 Hadits Mudltharrib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan beberapa jalan yang berbeda-beda, atau diriwayatkan oleh beberapa rawi yang antara satu dengan rawi yang lain itu berbeda-beda periwayatannya, dan tidak mungkin dapat dikumpulkan atau ditarjihkan salah satunya. Idlthirrab ini ada kalanya terjadi pada sanad dan adakalanya pada matan. Ath-Thaḫân, Mushthalaḫ al-ḫadits, ha 112-114. Lihat Rahman, Mushtalah al-Hadits, 190-191.

43 Abi Bakar as-Suyuthi, Tdrib ar-Rawi fi Syaraḫ Taqrib an-Nawawi (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), 99.

44 al-Jawabi, al-Ḫadits an-Nabawi asy-Syarif, 220-221

45 Suatu ketika’ Umar bin al-Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Ḫakim bin Ḫiẑam ketika membaca surah al-Qur’an. ‘Umar ra merasa tidak puas terhadap bacaannya Hisyam sewaktu Hisyam membaca surah al-Furqan. Menurut ‘Umar , bacaannya Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya barasal dari dari Nabi. Seusai shalat Hisyam diajak menghadap Nabi untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kemudian Nabi menyuruh Hisyyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi, setelah Hisyam membaca Nabi menyabdakan hadits tersebut. Al-Bukhari menggeluarkan hadits tersebut dalam kitab fadl al-Qur’an bab unzila al-Quran ‘Ala Sab’ati aḫruf. (CD ROM, Maktabah Syamilah II). Maksud dari tujuh huruf adalah beda-bedanya bacaan al-Qur’an yang diajarkan Nabi kebada shahabat. Hal tersebut terjadi karena sepanjang jazirah Arab mempunyai beberapa suku. Dan setiap suku mempunyai dialek (lahjah) yang berbeda-beda. Sehingga Nabi dalam mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada shahabat disesuaikan dengan dialeknya, agar supaya para shahabat tersebut mudah dalam mempelajari bacaan al-Quran. Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 145.

46 al-Jawabi, al-Ḫadits an-Nabawi asy-Syarif, 225-226.

47 http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/hadits-riwayah/, diakses 21-Maret-2009. Lihat M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits.( Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 93.

48 Menurut penulis yang dikehendaki dengan kekhususan adalah rawi tersebut dapat menguasai Ilmu Balagah. Yaitu ilmu untuk mengetahui cara mennyampaikan kata-kata yang sesuai dengan kondisi dan situasi. Seperti contoh: زيد قاءم kalimat khabar tersebut diucapkan kepada orang yang tidak ada keragu-raguan. Sedangkan ketika disampaikannya kepada orang ada keragu-raguan didalam hatinya maka ditambah taukidnya kalimat tersebut, diucapkan: إن زيدا قاءم dan ketika orang tersebut sangat ragu-ragu maka kalimat khabar tersebut tambah lagi penguatnya seperti: إن زيدا قا ءم. Imam Akhdlori, Ilmu Balaghah, terj, Moch Anwar (Bandung: al-Ma’arif, 1989), 17.

49 Yang dimaksud dengan kaidah yaitu: Ilmu Nahwu dan sharaf. Ilmu Nahwu: Ilmu pengetahuan yang membahas prihal kata-kata Arab, baik ketika sendiri (satu kata) maupun ketika terangkai dalam kalimat. Dengan kaidah-kaidah ini orang dapat mengatahui kata-kata Arab yang tetap barisnya (mabni), atau kata yang dapat berubah (mu’rab). Sedangkan Ilmu Sharaf(morfologi Arab). Ilmu pengetahuan yang menguraikan tentang bentuk asal kata, maka dengan ilmu ini dapat dikenal kata dasar dan kata bentukan, dikenal pula kata kerja yang sesuai dengan masanya. Dengan menguasai ilmu ini dapat menghindarkan kesalahan makna dalam rangka memahami AI-Quran dan Hadist, dan tulisan-tulisan ilmiah atau karangan dalam bentuk kata-kata Arab. http://library.usu.ac.id/download/fs/arab-rahimah4.pdf

50 al-Jawabi, al-Ḫadits an-Nabawi asy-Syarif, 225. Lihat Itr , Ulum al-Hadits, 215.

51 al-Jawabi, al-Ḫadits an-Nabawi asy-Syarif, 226.

52 Matan secara bahasa bermakna tiap-tiap sesuatu yang keras bagian atasnya. Bentuk jamaknya adalah: Mutun dan mitan, sedangkan menurut istilah ahli hadits ialah: Lafazh hadits yang membentuk beberapa maknanya. Ajjaj al-Khatib, Ulumuh wa Mushthalahuh, 36. Lihat Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid at-Taḫdits min Funun Mushthalaḫ al-Ḫadits (tp: Dar al-hya’ al-Kutub al-Arabiyah, tt), 202.

53Pengertian takwil: Menurut bahasa adalah tafsir. Sedangkan menurut istilah ahli usul adalah memalingkan makna lafazh yang zhâhir pada makna lain selain makna zhâhir, dan disertai dalil yang membantu menjelaskan makna tersebut. Mentakwil itu adakalanya dengan cara mengqayyid lafazh yang mutlaq (تقييد المطلق), mentakhsîs lafazh yang am, atau memalingkan dari keumuman makna. Wahbah al-Zuhayli, Ushul al- Fiqh al-Islami (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), juz 1, 314

54Pengertian Mufasar: Sesuatu yang menunjukkan pada maknanya dengan penunjukkan yang lebih jelas daripada nash dan zâhir karena tidak dimungkinkan lagi untuk ditakwil dan ditakhsîs, akan tetapi dimungkinkan untuk dinasakh pada masa Rasulullah. Wahbah al-Zuhayli, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (Bairut: Dar al-Fikr, 2003), 178.

55 Muhkam adalah lafazh yang bentuk kalimatnya menunjukkan terhadap sebuah makna dengan penunjukkan yang jelas yang tidak dimungkinkan untuk ditakwil dan ditakhsîs serta dinasakh pada masa Rasulullah dan fitrah turunnya wahyu tersebut. Ibid, 179.

56 Lafazh yang di takhshish yaitu yang dipalingkannya lafazh umum dari ke-umuman-nya. Ibid., 199.

57 Nash: lafaz yang lebih jelas maknanya dari pada makna lafaz zhâhir, dengan tanda yang bersamaan dengan pembicaraan mutakalim, dan lafaz tersebut menunjukkan pada makna yang dikehendaki baik oleh bentuk lafaz itu sendiri maupun oleh susunan kalam. al-Zuhayli, al-Wajiz, 176.

58 Zhahir: lafaz yang menunjukkan kepada makna yang dikehendaki dengan bentuk lafaz itu sendiri, tanpa membutuhkan perkara dari luar. Tetapi, bukan makna itu yang dikehendaki, oleh susunan kalam, dan lafaz tersebut menerima ditakwilkan. Ibid., 175.

59 Musykil: lafazh yang tidak dapat menunjukkan pada makna yang dikehendai dengan bentuk lafazh itu sendiri, akan tetapi olehnya menunjukkan makna yang dikehendaki ketika bersamaan dengan tanda yang lain. Ibid., 183.

60 Mujmal : lafazh yang samar maksudnya, dapat dihilangkan kesamarannya dengan penjelasan mutkalim (yang berbicara).

61 Mtasyabih: lafazh yang samar penunjukan makna yang dikehendaki dan sulit mengetahui, menemukan makna, karena syari’ tidak menjelaskannya dan juga tidak ditemukan sebuah tanda yang menunjukkan pada makna yang khusus. Seperti contoh ق, ص, الم. al-Jawabi, al-Ḫadits an-Nabawi asy-Syarif, 230

62 al-Jawabi, al-Ḫadits an-Nabawi asy-Syarif, 227.

63al-Jawabi, al-Ḫadits an-Nabawi asy-Syarif, 231.

64 Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, 80.

65 Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, 79. lihat. ash-Shiddieqi, Dirayah Hadits, 90.

66 ash-Shiddieqi, Dirayah Hadits, 90., lihat. as-Suyuthi, Taqrib an-Nawawi , 93-95

67 Abu ‘Abdilah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari Shaḫiḫ Bukhari. (CD-ROM: Maktabah Syamilah II).


68 Abu ‘Abdilah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari Shaḫiḫ Bukhari. (CD-ROM: Maktabah Syamilah 2).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"saran dan kritikan anda adalah kemajuan bagi kami"

Pengikut