Selasa, 20 Oktober 2009

JARH WA TA’DIL

A.Latar Belakang Masalah
Hadits sebagai pernyataan, pengamalan, ketetapan, dan hal-ihwal Nabi Muhammad saw, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Sebelum hadits Nabi dihimpun dalam kitab-kitab hadits secara resmi dan masal, hadits Nabi pada umumnya diajarkan dan diriwayatkan secara lisan dan hafalan. Hal ini memang sesuai dengan keadaan masyarakat Arab yang terkenal sangat kuat di bidang hafalannya.1
Ulama ahli hadits dalam melakukan penelitian berita yang berkenaan dengan agama berpegang pada penelitian terhadap pembawa berita. Apabila para pembawa berita tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya,maka berita tersebut dinyatakan berkualitas sahih. Sebaliknya, apabila para pembawa beritanya bukanlah orang-orang yang dapat dipercaya, maka berita yang bersangkutan tidak dapat dijadikan hujah (dalil) agama.2
Untuk itu dalam makalah akan membahas tentang kaedah yang berhubungan dengan kesahihan sanad hadits yang digunakan untuk mengkritisi dan mengetahui keaadaan perawi hadits yaitu ilmu jarh wa ta’dil.

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Jarh
Secara etimologis al-Jarh adalah merupakan bentuk mashdar dari kata "جرح يجرح" yang berarti “melukai” dimana seseorang membuat luka pada tubuh orang lain (fisik) yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu,3 yang luka tersebut dikarenakan terkena senjata tajam seperti pedang atau lainnya. Atau melukai selain pada tubuh (non fisik) seperti sakit hati lantaran perkatan kasar yang dilontarkan seseorang.4
Sementara jarh secara terminologis yaitu munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.5 Sedangkan men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau terlolaknya apa yang diriwayatkan.6
1.Hukum Jarh
Mencacat para perawi masuk golongan celaan yang dibolehkan apabila ada kemaslahatan. Al-Ghazali dalam Ihya al-‘Ulumuddin dan Imam An Nawawi dalam Riyad ash-Shalihin dan lain-lain berpendapat, mencela keadaan seseorang baik dia masih hidup ataupun sesudah meninggal dibolehkan karena ada sesuatu kepentingan agama. Seperti:
a.Kerena teraniaya. Boleh bagi yang teraniaya mengatakan kepada hakim bahwa dia telah dizalimi si Fulan.
b.Meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran.7
c.Untuk meminta fatwa. Seorang mustafti boleh mengatakan kepada mufti bahwa dia telah di-dzalimi oleh seseorang, maka jalan apakah yang harus ditempuh agar terlepas dari aniaya tersebut.8
d.Untuk menghindarkan diri dari kejahatan. Masuk kedalam bidang ini, mencela diri saksi (menyebut cacatan-cacatan pada diri saksi) dihadapan hakim dan mencela para para perawi hadits yang memang harus dicela. Tindakan ini, boleh hukumnya dengan ijma’ segala ulama, bahkan wajib.
e.Orang yang dicacat itu orang yang terang-terang membuat bid’ah. Maka boleh disebut secara terang-terang bid’ah yang dianut dan maksiat yang dianut.
f.Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya. Apabila seseorang terkenal dengan sesuatu sifat yang menunjuk kepada suatu keaiban seperti si tuli, si pincang maka boleh mengatakan si A yang pincang dengan maksud menerangkan orang yang sebenarnya yang dikehendaki, bukan dengan maksud menjelekkannya.9
Dalil yang menunjukkan bolehnya menjarh yaitu firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِي (الحجرات: 6)10
Artiny: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Dalam ayat ini Allah memerintahkan tabayyun (klarifikasi) terhadap kabar yang dibawa oleh orang fasik.11
Oleh karena mencela seseorang merupakan suatu perbuatan yang sukar dan terkadang-kadang menimbulkan kerenggangan batin antar manusia dan dibolehkan karena sesuatu yang darurat yang diperbolehkan syara’, maka para ulama menetapkan bahwa mencela lebih dari kadar keperluan tidak diperbolehkan.12
B.Pengertian Ta’dil
Secara etimologis Ta’dil berasal dari kata dasar al-A’dil berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, itu merupakan lawan dari lacur. Orang adil berarti yang diterima kesaksiannya.
Al-Adil secara terminologis adalah orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif. Sehingga berita dan kesaksiannya dapat diterima, bila dipenuhi pula syarat-syarat dalam kelayakan menyampaikan hadits.13
Mayoritas ulama hadits, ulama ushul, ulama fiqh sependapat bahwa orang yang riwayatnya dapat dijadikan hujah baik laki-laki maupun wanita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.Islam (riwayat orang kafir tidak diterima)14
b.Baligh (usia di mana kuat dugaan adanya kemampuan menangkap pembicaraan dan memahami hukum-hukum syariat Islam).
c.Adil (sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa, menjaga harga diri, menjauhi dosa kecil maupun dosa besar)
d.Dhabith (seseorang dapat memahami, mendengar, dan menghafal hadits sejak menerima sampai menyampaikannya hadits tersebut).15
Al-Ta’dil merupakan sifat rawi yang dibersihkan sehingga tampak sifat adilnya dan dapat diterima khabarnya. Dengan demikian ilmu jarh wa ta’dil berarti:

العلم الذي يبخث فى احوال الرواة من حيث قبول رواياتهم اوردها
“Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka”16

C.Kegunaan Jarh wa Ta’dil
Kegunaan mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil adalah untuk dapat menetapkan sebuah periwayatan seorang perawi tersebut layak diterima ataukah harus ditolak. Ketika seorang perawi dihukumi cacat (di-jarh) oleh para ulama, maka periwayatannya harus ditolak.
Sedangkan apabila seorang perawi dipuji sebagai orang yang adil, maka periwayatannya dapatlah diterima, hal tersebut selama syarat-syarat yang lain untuk dapat menerima hadits terpenuhi.17
Tidaklah diterima suatu pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang benar-benar cacat. Ibnu Hajar dalam muqadimah Fathu al-Bari berkata, “Tidaklah diterima suatu pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang terang mencacatkan”. Karena sebab-sebab mencacatkan seseorang berbeda-beda. Dan semuanya berkisar disekitar lima hal, yaitu:18
1.Bid’ah ( bid’ah golongan orang rafidhah dan golongan orang fasik)
2.Mukhalafah (tidak sama periwayatannya dengan periwayat yang lebih tsiqah)
3.Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan)
4.Jahalatu al-Hal (tidak dikenal identitasnya)
5.Da’wa’ al-Inqitha (diduga keras sanadnya tidak bersambung)19

D.Sejarah Jarh wa Ta’dil Sebagai Salah Satu Bidang Ilmu
Sesuai dengan fakta sejarah, pemalsuan hadits telah terjadi semenjak dini, dan menonjol pada masa perebutan kekuatan politik islam. Fakta itu menunjukan bahwa teryata tidak semua pembawa hadits itu dapat dipercaya. Menunujuka cacat perawi hadits bukan bermaksud untuk menjatuhkan matabat individu, apalagi ulama, tetapi untuk melindungi informasi Nabi dari pemalsuan.20
Ilmu jarh wa ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. Karena itu para ulama menanyakan tentang keadaan perawi meneliti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui segala keadaan para perawi, sehingga dapat diketahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatannya, lebih lama menyertai gurunya.21
Tak seorangpun diantara para kritikus hadits dan tokoh-tokohnya yang membela ayah, sudara, ataupun anaknya. Semua dimaksudkan untuk mengabdi kepada syariat Islam dan memelihara sumber-sumbernya. Sehingga para kritikus hadits dapat mengatakan sesuatu sejujur-jujurnya dan menata niat sebaik mungkin. Sebagai contoh Ali Ibn al-Madiniy (161-234 H) pernah ditanya beberapa orang tentang ayahnya, lalu menjawab: “Tanyakakan tentang beliau kepada selain diriku”. Namun mereka tetap kembali bertanya kepada beliau. Lalu beliau menundukkan kepala, kemudian mengangkat kepala, lalu berkata: “itu pertanyaan tentang Agama. Beliau dhaif”.22

E.Latar Belakang Pentingnya Ilmu Jarh wa Ta’dil
Para ulama sadar sepenuhya bahwa menunjukan aib (cacat) orang lain itu dilarang oleh agama. Akan tetapi jika al-Jarh (kritik) tidak dilakukan maka bahaya yang timbul akan lebih besar, dan hadits nabi tidak dapat diselamatkan. Al-Baghdadi mengutip penilaian Ibnul Mubarak atas kebohongan al-ma’la ibn Hilal. Kemudian seorang sufi menegurnya, “Hai Abu Abdir Rahman, mengapa engkau berbuat ghibah (memperlihatkan aib orang lain). Ibnul Mubarak menjawab, “kalau saya tidak menjelaskan, bagaimana mungkin dapat dipilah antara yang hak-dengan yang batil”.23

a.Metode Menjelaskan Hal Ihwal Para Perawi
Telah disinggung di atas tujuan jarh wa ta’dil sebenarnya adalah mengetahui yang shahih dari yang cacat, maka kritik ulama terhadap perawi tentu merupakan sarana bukan tujuan. Oleh karena itu, diterapkan sikap moderat (luwes) dalam menjelaskan hal ihwal perawi. Ada beberapa patokan yang mencirikan metode ulama dalam menjelaskan hal ihwal para perawi yang terpenting:
1.Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian. Di mana yang disebutkan para ulama adalah sifat positif dan negatif perawi. Sebagai contoh perkataan Muhammad Ibn Sirin: “sungguh engkau berbuat zalim kepada saudaramu, bila engkau hanya menyebutkan keburukan-keburukannya tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikannya”.
2.Kecermatan dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-pernyataan ulama tentang jarh wa ta’dil akan dapat diketahui kecermatan ulama dalam meneliti dan kedalaman pengetahuannya tentang seluk-beluk perawi yang dikritiknya.
3.Mematauhi etika jarh. ulama jarh wa ta’dil dalam menyatakan penilaiannya tidak akan keluar dari etika penilaian ilmiah. Ungkapannya yang paling keras adalah “fulan wadhdha’” (fulan tukang palsu), “fulan kadzdzab” (fulan tukang dusta). Atau ungkapan-ungkapan lain yang pasti tidak keluar dari kenyataan yang ada.24
4.Secara global men-ta’dil dan secara rinci dalam men-tarjih. Para imam-imam jarh wa ta’dil dalm men-ta’dil perawi ini tanpa menyebutkan sebab-sebab ta’dil. Karena sebab-sebab ta’dil sangat banyak, sehingga sulit bagi seseorang untuk menyebut seluruhnya.25Sifat-sifat tercela periwayat yang dikemukakan secara rinci tidak dinyatakan secara berlebih-lebihan, sehingga dapat diketahui apakah ketercelaan itu berkaitan dengan keadilan atau ke-dhabitan.26
Dapat di ambil pemahaman bahwa seorang kritikus hadits (kritius perawi hadits) dalam melakukan kritiknya harus bersifat obyektif, lugas, sopan dan santun semata-mata didorong oleh kepentingan keagamaan, sehingga membuat obyektifitas penilaiannya dapat dipertanggung jawabkan di depan publik27
b.Syarat-syarat pen-ta’dil dan pen-tajrih
Imam-imam yang terjun dalam bidang penjelasan hal-ihwal perawi dan berusaha menjaga sunnah dengan membedakan antara yang sahih dan yang cacat. Disamping menggunakan hidupnya secara maksimal dan penuh kejujuran, juga menggunakan hidupnya secara maksimal dalam bidang tersebut. Para ulama sependapat atas kewajiban terpenuhinya syarat-syarat bagi pen-ta’dil dan pen-tajrih:28
1)Adil, Islam, baligh, berakal, dan selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk.
2)Mengetahui sebab-sebab jarh dan sebab-sebab tazkiah (ta’dil).29dan juga memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, khususnya yang berkenaan dengan a) ajaran Islam, b) bahasa Arab, c) hadits dan ilmu hadits dan d) pribadi periwayat yang dikritiknya.30
3)Bertakwa, orang yang selalu menjalankan perintah Allah dan menjahui larangan Allah.
4)Wira’I, orang yang selalu menjahui perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat.
5)Jujur.
6)Tidak ta'ashub (fanatik) terhadap orang yang di-ta'dil-nya, sehingga ketika akan men-ta'dil (menganggap adil rawi) dan men-jarh (menganggap cacat rawi) tidak dikarenakan ashabiyah madzhab atau negara.31
Dan ketika tidak dapat memenuhi syarat-syarat tersebut, maka kritikannya terhadap perawi tidak dapat diterima.32

F.Sasaran Jarh wa Ta’dil
Karena sebagian besar hukum-hukum syariat yang hanya dapat diketahui melalui pengutipan dan periwayatan, maka ulama menempuh cara meneliti keadaan para periwayat dan mencermati mereka yang bersetatus tsiqah lagi hafidz. Keadilan seorang perawi dapat diketahui melalui satu diantara dua hal:
Pertama, dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa perawi tersebut terkenal sebagai orang yang adil, seperti Malik Ibn Anas, Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah Ibn al-Hajjaj, asy-Syafi’I, Imam Ahmad dan yang lainnya. Sehingga tidak absah mempertanyakan tentang keadilannya.33
Kedua, dengan tazkiah (penilaian positif), yaitu pen-ta’dil-an orang yang terbukti adil terhadap orang yang belum dikenal keadilannya. Menurut imam-imam hadits tazkiyah sudah dianggap cukup bila dilakukan oleh satu orang yang bersetatus adil. Karena jumlah tidak disyaratkan dalam peneriman kabar, sehingga tidak disyaratkan pula dalam jarh wa ta’dil. 34
Jarh juga dapat ditetapkan berdasarkan keterpopuleran. Orang yang dikenal kefasikanya, kedustaannya, atau sifat sejenis dan hal itu telah dikenal luas, maka tak perlu dipertanya lagi statusnya. Sudah cukup menentukan jarh-nya berdasarkan informasi yang telah populeritu. Jarh dapat juga ditetapkan berdasarkan tajrih yang diberikan oleh seorang yang adil yang mengetahui betul sebab-sebab jarh. Inilah yang dipegangi oleh imam-imam hadits. Sebagian ulama mengatakan, bahwa jarh hanya dapat ditetapkan berdasarkan tajrih dari dua orang yang adil, dimana keduanya dapat mengetahui betul sebab-sebab jarh.35

G.Ulama Dan Kitab-kitab Dalam Bidang Ilmu Jarh wa Ta’dil
Para penulis kitab jarh wa ta’dil berbeda-beda dalam menyusu buku-bukunya. Sebagian ada yang ringkas, hanya terdiri satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang perawi. Sebagian ada yang menyusunnya menjadi beberapa jilid besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu perawi.
Di samping itu mereka juga berbeda-beda dalam mensistematiskan pembahasannya. Ada sebagian yang hanya menulis tentang rawi yang tsiqah saja dan ada pula yang mengumpulkan kedua-duanya. Diantara kitabnya ialah:
1.Ma’rifat al-Rijal karaya Yahya Ibn Main kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita. Juz pertamnya masih berupa manusskrip (tulisan tangan) berada di darul kutub adl-Dlahiriyah.
2.Adl-Dluafa’ karya Imam Muhammad bin Ismail al-Buakhari (194-252 H). kitab tersebut dicetak di India 320 H.
3.At-Tsiqah, karya Abu Hatim bin Hiban al-Busti (wafat 304 H). perlu diketahui bahwa Ibn Hiban ini sangat mudah untuk mengadilkan seorang perawi, karena itu hendaklah hati-hati terhadap pen-ta’dil-annya. Naskah aslinya diketemukan di Dar al-Kutub al-Mishriyah, dengan tidak lengkap.
4.Al-jarhu wa Ta’dil, karya ‘Abdurrahman bin Abi Hatim ar-Razy (240-325 H). ini merupakan kitab jarh wa ta’dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Ketab tersebut terdiri dari empat jilid besar-besar yang memuat 18,050 orang rawi. Pada tahun 1325 H. kitab itu dicetak di India menjadi Sembilan jilid. Satu jilid sebagai mukadimah, sedangkan tiap-tiap jilid yangasli dijadikan dua jilid.
5. Mizan al-I’tidal, karya Imam Syamsudin Muhammad adz-Dzahabi (637-748 H). kitab tersebut terdiri dari tiga jilid. Setiap rawi walaupun rawi tsiqah diterangkan dan dikemukakan haditsnya, sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib. Kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan yang terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1325 H. dan terdiri dari tiga jilid, mencakup 10,907 orang rijal sanad.
6.Lisan al-Mizan, karya al-Hafidh Ibnu Hajar al-‘Asqalany (773-852 H). Sudah mencakup isi kitab Mizan al-‘Itidal dengan beberapa tahapan yang penting. Kitab ini memuat 14.343 orang rijal sanad. Kitab ini dicetak di India pada tahun1329-1331 H. dalam enam jilid.36
H.Sebab Terjadinya Kritik Rijal Hadits
Sebab terjadinya kritik terhadap perawi hadits dikarenakan perawi yang memindahkan hadits tidak semuanya berada pada tingkatan yang sama dalam hal hafalan, ada yang kuat hafalannya dan ada yang kurang kuat hafalannya. Ada juga yang sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan salah, meski memiliki sifat adil dan jujur.37 Ada enam tingkatan dalam menjarh dan men-ta’dil. Dan masing-masing tingkatan mempunyai patokan global sebagai berikut:
a)Tingkatan-tingkatan Ta’dil
1.Kata-kata yang menunjukkan mubalaghah (intensitas maksimal) dalam hal ta’dil dengan bentuk af’al at-Tafdil38atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis. Misalnya: "اوثق الناس"(yang paling teguh), "اضبط الناس"(yang paling dhabith)39, "ثقة فوق ثقة" (orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah).
2.Memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan ke-dlabit-an­nya, baik sifat yang dibubuhkan itu selafat dengan mengulang maupun semakna. Misalnya: " ثقة ثقة" orang yang tsiqah lagi tsiqah, "ثبت ثقة" Tsiqah lagi teguh.40
3.Menunjukkan keadilan dengan sesuatu lafat yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya: "ثبت" orang yang teguh (hati dan lidahnya), "ثقة" orang yang tsiqah, "متقن" orang yang meyakinkan (ilmunya), "حافض" orang yang kuat hafalannya.
4.Menunjukkan keadilan dan ke-dlabit-an, tetapi dengan lafat yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya: "صدوق" orang yang sangat jujur, "مأمون" orang yang dapat memegang amanat, "لابأس به"orang yang tidak cacat.
5.Menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dlabit-an. Misalnya: "محله الصدق" orang yang bersetatus jujur, "حسن الحدث" yang bagus haditsnya, "جيد الحديث" baik haditsnya.
6.Kata-kata yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafat "ان شاءالله" atau lafat tersebut di tashghir-kan (pengecilan arti) atau lafat tersebut dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:"صدوق إن شاءالله" orang yang jujur insya Allah, "فلان ارجو بأن لابأس به" orang yang dianggap tsiqah, "فلان صويلح" orang sedikit kesalehan, "فلان مقبول حديثه" orang yang diterima haditsnya.
Dari tingkatan ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam ta’dil. Kekuatan hafalan, ketelitian serta kecermatan disatu sisi, dan kejujuran pada sisi yang lain.
Pertama, pada tingkatan yang tertinggi (tingkatan satu dan dua ) yang ditonjolkan adalah bahwa periwayat mempunyai kecerdasan, ketelitian, kecermatan dan kekuatan hafalan yang amat bagus. Orang diberi predikat semacam ini dipastikan memiliki kesetian yang amat tinggi terhadap agama, sekaligus kejujuranya tidak diragukan lagi. Begitu ketahuan bahwa periwayat itu tidak jujur kendati kecerdasanya luar biasa, maka ia akan jatuh dan tidak dapat masuk kedalam kelompok orang adil di tingkat manapun.
Kedua, pada tingakatan Ta’dil yang paling ringan kadarnya ( tingkat empat dan lima ) terlihat bahwa periwayat diberi predikat sebagai orang jujur, setia terhadap agama tetapi disana tidak dilaporkan kecerdasanya dan kekuatan hafalanya. Artinya, periwayat pada tingkat ini memang tidak menonjol kecerdasan, ketelitian dan kekuatan hafalan. Kalau demikian ada dua hal yang di tekankan dalam al-Ta’dil, kecerdasan dan kejujuran.41
Para ahli hadits mengunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujah, sedangkan hadits-hadits para perawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain.42
b)Tingkatan-tingkatan Tajrih
1.Kata-kata yang menunjukkan kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafat-lafat yang mubalaghah (intensitas maksimal) dalam hal Tajrih dengan bentuk af’al at-Tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya. Misalnya: "اوضع الناس" orang yang paling dusta, "اكذب الناس" orang yang paling bohong.
2.Menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafat berbentuk mubalaghah, tetapi masih di bawah tngkatan pertama. Misalnya: "كذاب" orang yang pembohong, "دجال" orang yang penipu.43
3.Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagai pendusta, pemalsu atau yang sejenis. Misalnya: "فلان متهن بالكذب" orang yang dituduh dusta, "متهن بالوضع" orang yang dituduh dusta. Disamakan dengan tingkatan ini adalah kata-kata yang menunjukkan ditinggalkan haditsnya. Misalnya: "فلان متروك الحديث" orang yang ditinggal haditsnya.
4.Dengan kata-kata yang menunjukkan ke-dla’ifa-n yang sangat. "ضعيف جدا" sangat lemah, "رد حديثه" haditsnya ditolak, "طرح حديثه" haditsnya dilempar.
5.Kata-kata yang menunjukkan penilaian dla’if atas perawi atau kerancuan hafalannya. Misalny: " ضعيف" orang yang lemah, "له مناكير" ia memiliki hadits yang munkar, "مضطرب الحديث" kacau haditsnya, "لايحتج به" haditsnya tidak dapat dibuat hujah.44
6.Menyifati perawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, akan tetapi sifat tersebut dekat dengan ta’dil. Misalnya: "ضعف حديثه" dilemahkan haditsnya, " فلان مقال فيه" orang yang diperbincangkan, " فلان ليس بالحجه" orang yang haditsnya tidak dapat digunakan hujjah.45
Dalam hal jarh, terdapat juga dua hal yang penting. Diman kadar jarh yang terberat (peringkat satu dan dua), menonjolkan kedustaan bahkan yang berlebihan. Tampak di sini bahwa ukuran utama akurasi berita adalah kejujuran atau kedustaan. Orang yang tidak menonjol dustanya dihukumi jarh dengan kadar agak ringan. Orang yang tidak kelihatan pendusta tetapi lemah hafalannya dan kurang teliti dijatuhi hukum jarh dengan kadar lebih ringan lagi, mendekati ta’dil dengan kadar yang rigan juga.
Dengan demikian, sebenarnya ta’di dengan kadar yang ringan (tingkat lima) itu berhimpitan dengan jarh dengan kadar ringan pula (tingkat lima). Dalam kasus yang seperti ini sebuah hadits naik derajatnya apabila menurut hasil penelitian, hadits tersebut dikuatkan oleh hadits yang sama melalui jalur yang berbeda. Kalau tadinya hadits hasan, maka dapat naik menjadi shahih li ghairihi, kalu tadinya dha’if menjadi hasan li ghairihi.46
Orang-orang yang yang di-tajrih menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Sedangkan orang-orang yang di-tajrih menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya dapat dipakai sebagai i’tibar.47

I.Pertentangan Antara Jarh dan Ta’dil
Kadang-kadang pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama kadang saling bertentangan. Sebagaiman men-tajriha-nya, sedang sebagian yang lain men-ta’dil-kan. Bila demikian, maka diperlukan penelitian yang lebih lanjut. Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan ulama.
Pertama, mendahulukan jarh daripada ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak daripada yang mentajrih. Karena yang mentajrih mengetahui apa yang tidak dapat diketahui oleh yang menta’dil. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama.
Kedua, tajrih didahulukan daripada jarh, bila yang men-ta’dil lebih banyak. Karena banyaknyanya yang men-ta’dil dapat mengukuhkan keadaan perawi-perawi yang bersangkutan. Pendapat ini tidak dapat diterima, sebab yang men-ta’dil meski lebih banyak jumlahnya tidak memberitahukan apa yang dapat menyanggah pernyataan yang men-tajrih.
Ketiga, bila jarh dan ta’dil bertentangan, maka salah satunya tidak dapat didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya. Yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.
Pendapat yang pertamalah yang digunakan oleh ahli-ahli hadits, baik mutaqadimin maupun mutaakhirin.48

J.Kritik ( al-Jarh wa at-ta'dil) Terhadap Shahabat
Persoalan pokok dalam bahasan ini adalah, apakah penilaian cacat (al-jarh) seperti diatas apakah dapat di terapkan kepada para sahabat rasulullah menginggat banyaknya ayat-ayat dan hadits nabi yang memuji mereka. Ternyata ada berbagai pendapat yang menarik untuk di perhatikan.
Pertama, menurut Jumhur ulama hadits, para sahabat itu semuanya adil. Itu artinya mereka tidak perlu di kritik. Sia-sia dan kualat mengkritik sahabat Nabi.
Kedua,Qaum mu'tazilah berpendapat bahwa semua sahabat itu adil kecuali mereka yang terlibat perang sifin. Pendapat ini di yakini oleh Wasil ibn Atha', Abu al-Huszail, al-Jahizh, dan lain-lain. Kaum khowarij juga mengaku bahwa tidak semua sahabat itu adil. Hanya sahabat yang sejalan dengan sikap politik mereka yang dipandang adil. Begitu juga kaum syi'ah, mereka hanya mengakui keadilan sahabat yang secara politis mereka pandang tidak mengangu keberadaan Sayyidina Ali ra. Sebagai penganti nabi (al-wshi)
Ketiga,sebagian kecil ulama berpendapat bahwa semua sahabat boleh diuji keadilanya. Kebanyakan mereka ulam muta'ahir, seperti Muhammad Abduh, Sayyid Ridha, mahmud Abu Rayyah, dan lainya. Menurut mereka sahabat itu masih manusia biasa, yang boleh jadi alpa.49

KESIMPULAN

Ilmu jarh wa ta’dil yaitu Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka. Sedangakan hukum mencela keadaan perawi baik dia masih hidup ataupun sesudah meninggal dibolehkan karena ada sesuatu kepentingan agama.
Para ulama sependapat atas kewajiban terpenuhinya syarat-syarat bagi pen-ta’dil dan pen-tajrih adalah Adil, Islam, baligh, berakal, dan selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk, mengetahui sebab-sebab jarh dan sebab-sebab tazkiah (ta’dil), bertakwa, wira’I, jujur. tidak ta'ashub (fanatik).
Keadilan seorang perawi dapat diketahui melalui satu diantara dua hal: Pertama, dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu seperti Sufyan ats-Tsauri, asy-Syafi’I, Imam Ahmad dan yang lainnya. Kedua, dengan tazkiah (penilaian positif), yaitu pen-ta’dil-an orang yang terbukti adil terhadap orang yang belum dikenal keadilannya. Jarh juga dapat ditetapkan berdasarkan keterpopuleran. Orang yang dikenal kefasikanya, kedustaannya, atau sifat sejenis dan hal itu telah dikenal luas. Jarh dapat juga ditetapkan berdasarkan tajrih yang diberikan oleh seorang yang adil yang mengetahui betul sebab-sebab jarh.


DAFTAR PUSTAKA

ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Hasim, Ahmad Umar. Qawaid al-Usul al-Hadits. Kairo: Dar al-Fikr, t.t..
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis TelaahKritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. Ushul Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama,1998.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: al-Ma’arif, 1974.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis Dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003
Zein, Muhammad Ma’sum. Ulum Hadits Wa Musthalah Hadits. Jombang: Darul Hikmah, 2008.
Tafsyir ath-Thabari. (CD-ROM: Maktabah Syamilah 2).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"saran dan kritikan anda adalah kemajuan bagi kami"

Pengikut